Terima kasih untuk Good Reader yang telah mendukung karya ini. Kak Emah Mah, Kak Mauli Dina, Kak Charmaiyetti, Kak Widi Apriani, Kak Tati, Kak Selamet Sulastri, Kak Winarni Rahmat, Kak Anna, Kak Lely Marlina, Kak Hetin Herawati. Aku sangat apreciate dengan pemberian gem-nya. Sekali lagi terima kasih atas semangatnya untuk membawa novel ini menuju plot yang lebih keren lagi. Masih banyak kakak2 yang akan aku mention di chapter berikutnya. Terima kasih Good reader. Love you all -Ans-
"Jika kau percaya mata adalah jendela jiwa, maka sehebat apa pun kau menyembunyikannya, kesedihan dan kesepian itu akan tetap terlihat di wajahmu.” Begitu saja, lalu Andre berjalan dan pergi. Dia masuk ke salah satu pavilyun yang tidak jauh dari pavilyun yang aku tempati. Mataku terpaku melihat Andre sampai dia menghilang di balik pintu kayu. Keadaan seketika kembali sepi. Hanya ada aku yang sedang berdiri sendiri. Kesedihan dan kesepian, dua kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Semua tentang diriku seolah hilang arti. Aku gagal dalam pernikahan tiga tahun lalu. Terlepas dari fakta bahwa Kalila yang menggoda Fattan, nyatanya dia berpaling dariku. El Khairi Company berada di tangan yang tepat, Tara dan Vivian. Lalu Anaya bahagia bersama Kalila, Fattan dan anak lelaki mereka. Tidak salah jika kemudian aku mempertanyakan apa peranku di bumi ini. Apakah aku telah kehilangan arti dari nyawaku sendiri? Ketika yang bisa kuberikan pada orang lain hanyalah bencana. Mataha
"Ini adalah perjalanan pertamaku ke Indonesia. Aku bertemu dengan banyak orang yang ramah. Kau adalah orang pertama yang terlihat menjengkelkan.” Aku sesaat terpukau. Memang betul, aku tidak dalam keadaan baik-baik saja untuk ramah pada orang asing. Dengan ribuan beban di bahu dan hatiku, bagaimana aku bisa menjadi baik dengan satu atau dua sapaan. Seharusnya itu bukan berarti aku juga bisa menjengkelkan pada orang yang baru kutemui. Sekali lagi, harga diriku menarik sikapku lebih tinggi. Tidak mengijinkan aku untuk merendah dan meminta maaf. Alih-alih mengakui kesalahan sikap, aku lebih senang meneruskan kesombongan. “Sikap ramah yang kau lihat itu hanyalah bagian kecil dari Indonesia. Kami memang ramah, tapi kami tahu cara melindungi diri.” “Wait! Apa kau mau mengatakan bahwa aku terlihat berbahaya?” Tentu saja tidak. Pria ini tampan dan ramah. Di sini satu-satunya yang berbahaya adalah hatiku sendiri. Apakah ini saatnya untuk sedikit melunak tentang sebuah batasan. Ketika aku s
"Secara resmi, aku tidak bisa membantumu,” Felix membuatku kecewa. “Tapi, sebagai teman aku bisa. Apakah kau tertarik untuk berteman denganku?” Berteman dengan seorang pria. Itu terdengar menakutkan. Kalau kutaik ke belakang, betapa banyak hal yang berubah dalam diriku. Sejak kelulusanku dari salah satu Universitas ternama di Madinah lebih dari sepuluh tahun lalu, aku hanya mengenal Fattan yang kemudian menjadi suamiku. Lalu saat badai perceraian memaksaku untuk terdampar di kehidupan yang berbeda, aku tertambat pada satu pria yaitu Aslan. Pria yang menjadi pedukung utama kebangkitanku. Tanpa kusadari bahwa Fattan juga menjadi pria yang telah mengajarkan aku banyak hal. Sekaligus menjadi orang yang menjembatani aku masuk ke dunia baru. Lalu dalam beberapa hari aku sudah berkenalan dengan dua pria asing. Seperti terlempar dari dalam kotak yang menyimpanku selama ini. Apakah ini salah? Aku hanya memikirkan tentang berdamai pada hatiku sendiri. “Tentu saja, kita bisa menjadi teman,”
"Maaf, Nadine. Aku tidak bermaksud….” “Pergilah!” usir Nadine kasar. Seketika aku menutup pintu dan berjalan cepat menuju ke pavilyun tempat tinggalku. Beberapa langkah aku mendengar suara pintu dibanting di belakangku. Nadine atau pria itu jelas kaget dan marah dengan kehadiranku. Telingaku memanas dan dadaku bergemuruh. Nyaris seperti berlari tanpa melihat lagi jalan yang aku lewati. Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Beruntung orang itu secepat kilat menangkapku dengan tangan kokohnya sehingga kami tidak terjatuh. Aku semakin gemetar. Ini jelas tangan seorang pria. Tapi, dia tenang dan tidak berbahaya. Sesaat kumantapkan berdiriku dan berusaha menjauh perlahan. “Ssst! Kembalilah ke pavilyunmu dan beristirahat.” Suaranya perlahan tapi menenangkan. “Andre?” “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Tapi, ini adalah Bali, Adina. Kota di mana malam pun berisi banyak kesenangan. Jaga dirimu baik-baik.” “Aku… aku baik-baik saja di luar sana. Justru aku terkejut karena meli
"Ketika aku mengatakan padamu bahwa kematian adalah tentang kematian dan bukan tentang orang lain yang menyebabkan, aku serius tentang itu, Adina.” Mata Nadine kosong menatap botol susu yang ada di hadapannya. Aku melihat ke arah yang sama. Sulit menebak apa yang sedang dia pikirkan. Tapi, mata itu jelas menggambarkan apa yang dia rasakan. Sebuah kesakitan dan penderitaan. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dia teriakan tentang kebahagiaan dan kebebasan. Ada sebuah penjara di hati Nadine. Sesuatu yang berusaha dia tutupi dengan kepalsuan. Sekarang Nadine justru berbicara tentang kematian. Ini sangat membingungkan. Orang seperti Nadine seharusnya tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu. Mereka hanya peduli dengan kehidupan dan bukan kehidupan setelah kematian. Nadine meneguk habis susu di depannya dan berdiri. Dia mengusap cepat butiran air di sudut matanya. “Di pavilyun ini tidak ada dapur. Hanya mesin pembuat kopi, microwave dan kulkas. Jika kau ingin memas
"Hey! Pertanyaan apa itu?! Bukankah itu terlalu pribadi untuk ditanyakan?” aku memasang pagar. Sebenarnya itu adalah usaha untuk menutupi kebodohanku yang barusan. Aku harap Andre melupakan itu. Reaksiku jelas membuatnya bisa membaca diriku dalam sekejap mata. Reflek yang timbul karena luka masa lalu memang selalu luar biasa. Andre tersenyum dan berusaha untuk tidak membahas apa yang baru saja kami bicarakan. “Aku pikir kita akan berteman baik untuk beberapa waktu. Kau tinggal di sekitarku dan mungkin untuk waktu lama kita akan sering bertemu.” “Bukan berarti kau boleh tahu urusan-urusan pribadiku.” Aku bersikeras. “Ok… ok! Adina, aku tidak ingin memulai perdebatan denganmu tentang hal ini.” Andrea mengalah agar pembicaraan kami tidak semakin tegang. Aku ssadar betul bahwa satu per satu peristiwa hidup di masa lalu telah mengubah banyak hal tentang diriku. Sikap waspada atau yang lebih tepat disebut curiga menjadi bagian terbesar dalam mengambil alih emosiku. Apakah memang itu y
"Pak Andre, Nona Adina sudah datang.” Seorang sekretaris mengantarku ke ruangan Andre. Setelah pertemuan kami tadi malam, aku akhirnya memutuskan untuk datang ke kantor Andre pagi ini. Ini terasa canggung. Kami bertemu tadi malam, Andre tinggal di seberang pavilyunku dan kami bertemu di kantor secara resmi. Aku kehabisan kata dan tidak tahu harus memulai dari mana. Sekretaris yang membawaku ke ruangan Andre tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk. Lalu menarik sebuah kursi hitam yang ada di depan Andre. Sementara Andre sama sekali tidak bergeming. Dia tetap sibuk bekerja di laptopnya. Hanya sesaat mengerling dan menganggukkan kepala. Hah?! Reaksi macam apa itu? Kenapa dia seolah melihat orang asing? Sikapnya sangat resmi seolah kami baru pertama kali bertemu. Aku menoleh bingung pada sekretaris Andre. Gadis itu hanya tersenyum, sedikit mengangkat bahu. Setelah aku duduk, dia bahkan meninggalkan ruang kerja Andre. “Hi, selamat datang di kantorku.” Tiba-tiba Andre menyapa ceria.
"Silahkan, Nona,” Maria mengamitku karena aku sempat berhenti. “Oh, iya.” Kami pun menuju ke lantai lain tempat test akan dilakukan. Sebelum masuk ke dalam lift, aku sempat menyapukan pandangan di lantai itu. Sepertinya lantai itu dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Tidak banyak karyawan di lantai itu seperti lantai yang lainnya. Sementara Maria terus berjalan cepat menuju ke lift. Aku mempercepat langkah agar tidak tertinggal. Rok panjangku yang jatuh di sekitar kaki bergerak seiring ayunan langkah yang kulakukan. Seperti biasa, sepatu flat menjadi kebangganku. Lagi pula aku tidak membawa banyak pakaian ke Bali. Tidak pernah terlintas bahwa aku akan memulai sebuah pekerjaan di sini. Mungkin jika nanti aku mulai bekerja di tempat ini, aku harus membeli beberapa pakaian. “Silahkan duduk, Nona. Aku akan meminta salah satu staff memberikan kertas tesmu. Lakukan saja dengan baik.” “Tentu, Bu Maria. Terima kasih,” ujarku pada wanita paruh baya itu. “Aku tidak yakin kita butuh te