Uhuy! Waktunya pendekatan Nih...
"Hey! Pertanyaan apa itu?! Bukankah itu terlalu pribadi untuk ditanyakan?” aku memasang pagar. Sebenarnya itu adalah usaha untuk menutupi kebodohanku yang barusan. Aku harap Andre melupakan itu. Reaksiku jelas membuatnya bisa membaca diriku dalam sekejap mata. Reflek yang timbul karena luka masa lalu memang selalu luar biasa. Andre tersenyum dan berusaha untuk tidak membahas apa yang baru saja kami bicarakan. “Aku pikir kita akan berteman baik untuk beberapa waktu. Kau tinggal di sekitarku dan mungkin untuk waktu lama kita akan sering bertemu.” “Bukan berarti kau boleh tahu urusan-urusan pribadiku.” Aku bersikeras. “Ok… ok! Adina, aku tidak ingin memulai perdebatan denganmu tentang hal ini.” Andrea mengalah agar pembicaraan kami tidak semakin tegang. Aku ssadar betul bahwa satu per satu peristiwa hidup di masa lalu telah mengubah banyak hal tentang diriku. Sikap waspada atau yang lebih tepat disebut curiga menjadi bagian terbesar dalam mengambil alih emosiku. Apakah memang itu y
"Pak Andre, Nona Adina sudah datang.” Seorang sekretaris mengantarku ke ruangan Andre. Setelah pertemuan kami tadi malam, aku akhirnya memutuskan untuk datang ke kantor Andre pagi ini. Ini terasa canggung. Kami bertemu tadi malam, Andre tinggal di seberang pavilyunku dan kami bertemu di kantor secara resmi. Aku kehabisan kata dan tidak tahu harus memulai dari mana. Sekretaris yang membawaku ke ruangan Andre tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk. Lalu menarik sebuah kursi hitam yang ada di depan Andre. Sementara Andre sama sekali tidak bergeming. Dia tetap sibuk bekerja di laptopnya. Hanya sesaat mengerling dan menganggukkan kepala. Hah?! Reaksi macam apa itu? Kenapa dia seolah melihat orang asing? Sikapnya sangat resmi seolah kami baru pertama kali bertemu. Aku menoleh bingung pada sekretaris Andre. Gadis itu hanya tersenyum, sedikit mengangkat bahu. Setelah aku duduk, dia bahkan meninggalkan ruang kerja Andre. “Hi, selamat datang di kantorku.” Tiba-tiba Andre menyapa ceria.
"Silahkan, Nona,” Maria mengamitku karena aku sempat berhenti. “Oh, iya.” Kami pun menuju ke lantai lain tempat test akan dilakukan. Sebelum masuk ke dalam lift, aku sempat menyapukan pandangan di lantai itu. Sepertinya lantai itu dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Tidak banyak karyawan di lantai itu seperti lantai yang lainnya. Sementara Maria terus berjalan cepat menuju ke lift. Aku mempercepat langkah agar tidak tertinggal. Rok panjangku yang jatuh di sekitar kaki bergerak seiring ayunan langkah yang kulakukan. Seperti biasa, sepatu flat menjadi kebangganku. Lagi pula aku tidak membawa banyak pakaian ke Bali. Tidak pernah terlintas bahwa aku akan memulai sebuah pekerjaan di sini. Mungkin jika nanti aku mulai bekerja di tempat ini, aku harus membeli beberapa pakaian. “Silahkan duduk, Nona. Aku akan meminta salah satu staff memberikan kertas tesmu. Lakukan saja dengan baik.” “Tentu, Bu Maria. Terima kasih,” ujarku pada wanita paruh baya itu. “Aku tidak yakin kita butuh te
"Apakah ini bagian dari interview yang harus saya jawab?” tanyaku. “Maaf, jika membuatmu tidak nyaman. Aku perlu mengetahui beberapa hal. Kau boleh saja tidak menjawabnya. Satu hal yang harus kutekankan padamu, bahwa kami bekerja keras dan sangat profesional di kantor ini.” Aku merasa Maria tidak menyukaiku. Entah kenapa, kami baru pertama kali bertemu dengan durasi singkat. Bisakah seseorang tidak menyukai orang lainnya hanya dalam hitungan jam? Apakah dalam mata seorang HRD ada sebuah kesaktian utuk melihat dengan cara yang berbeda? Satu-satunya kemungkinan adalah karena Maria melihat statusku sebagai seorang janda. Ini adalah Indonesia, dimana stigma janda membawa sebuah arti buruk dan menyakitkan. Tentang wanita yang suka menggoda. Mereka bahkan tidak mau repot untuk mengenal dan tahu pribadinya. Hanya dengan satu status, cukup untuk membuat seorang janda dibingkai dalam penilaian negatif. “Baiklah, semua test dan interviewmu berjalan dengan baik. Pak Andre memintamu untuk mula
"Kenapa kau terlihat ketakutan? Apakah diperlakukan special terdengar mengerikan?” tanya Andre. “Ya, itu terdengar menakutkan. Bekerja sebagai karyawan special akan membuatku mendapat banyak penolakan. Sejak awal aku sudah menegaskan padamu, bahwa jika aku menerima tawaran kerja ini, maka aku ingin semuanya berjalan dengan resmi dan sesuai prosedur yang ada.” Tatapan mata Andre semakin sulit dimengerti. Matanya yang hitam terlihat dalam dan lurus ke arahku. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Apa?! Bukankah aku hanya mengucapkan hal yang biasa? Aku tidak ingin apa yang terjadi padaku ketika bekerja dengan Aslan terulang lagi di perusahaan ini. Dianggap menempati sebuah posisi karena hubungan semata adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Jika Andre selalu mengatakan bahwa aku butuh validasi, ya memang aku butuh validasi. Itulah dasar awal karir yang akan membuatku percaya diri. Mungkin Andre berpikir ini terlalu serius untuk pekerjaan yang kuambil untuk sekedar mengisi kekosong
"Tidak, aku tidak suka mendengar rahasia orang lain,” tukasku cepat. Aku pun menyelesaikan makananku. Setelah mengambil kotak yang berada di depan Andre an memasukkan ke kantong putih semula, aku berdiri dan berjalan ke sudut halaman. Plastik berisi sampah itu mendarat dengan sempurna di tong sampah besar yang ada di sana. Sesaat aku menoleh pada Andre. Inginku langsung masuk ke dalam rumah untuk menghindarinya. Andre adalah pria dengan pesona yang luar biasa. Terlalu lama di dekatnya, bisa membuatku kehilangan kendali hati. Bahkan hanya dengan berbincang pun, Andre terasa begitu mendominasi. Tapi, demi melihat wajahnya yang merah padam karena kepedasan, bukankah aku menjadi terlihat terlalu kejam? Aku masuk ke dalam rumah dan mengambil dua botol air mineral. Lalu kembali dan menyerahkan satu pada Andre. Entah kenapa aku justru duduk lagi di kursi yang sama. “Aku tidak menceritakan rahasia. Apa yang akan dirahasiakan dari sebuah kegagalan,” ucap Andre setelah meneguk air mineral b
"Jika kau tidak ingin mengatakan, maka lupakan,” saat itu aku melihat Andre goyah. Dia tidak pernah begitu. Sebagai teman, Andre selalu menampilkan sisi dirinya yang ceria. Sebagai Atasan, dia adalah orang yang sangat berwibawa. Sebuah kata sempurna tentang bagaimana seorang pria menyikapi dan menempatkan dirinya. Kali ini melihatnya ragu, rasanya hatiku ikut ngilu. Luka itu pasti terlalu dalam. Kesakitan itu pasti sangat membebaninya. Hingga dia perlu diam beberapa saat sebelum merangkai kata. Temaram lampu teras tidak bisa menyembunyikan kegalauan yang Andre rasakan. Senyum yang biasanya selalu menghias wajahnya, sepenuhnya hilang. Dalam beberapa helaan nafas, Andre menguatkan diri untuk mengatakan lanjutan ceritanya. Apakah seperti yang dia katakan bahwa cerita itu akan sangat berguna untukku? Atau sebenarnya dia hanya ingin berbagi dengan seseorang. Aku tahu, masalah seperti ini tidak bisa dibagikan pada sembarang orang. Bahkan yang berada terdekat sekali pun. “Naura mengataka
"Anaya?!” Wajah ceria itu membuat mataku berkaca-kaca. Aku tidak bisa mengenali perasaanku saat ini. Apakah mataku menangis karena merindukannya atau sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja melihat senyum Anaya. Dia bahagia, jelas Anaya bahagia. Ada sudut terdalam di hatiku yang berteriak. ‘Anaya bahagia meski tanpa aku.’ Dan itu membuatku pilu. Apa yang harus kulakukan sekarang. Apakah aku harus menangis dan merusak kebahagiaan Anaya hanya karena egoku? Atau aku bisa bahagia dengan bahagianya? Mungkin ini saat yang tepat untuk kami. Anaya melihat sisi hidupnya yang lain. Lalu aku memiliki kesempatan memiliki diriku seutuhnya. Saat ini waktu dan tenaga bisa kufokuskan untuk membuatku berdiri lagi, menjadi wanita yang kuat dan berhasil. Semua bisa kulakukan dengan murni tanpa embel-embel pewaris atau pendamping. Sementara di sana, Anaya tetap bahagia. Dengan ketegaran hati, aku menjawab suara imut itu. “Anaya, apa kabar, Nak?” “Anaya sehat, Bunda. Bunda di mana? Tadi siang Om