Ini kenapa sedih begini ya....
"Jika kau tidak ingin mengatakan, maka lupakan,” saat itu aku melihat Andre goyah. Dia tidak pernah begitu. Sebagai teman, Andre selalu menampilkan sisi dirinya yang ceria. Sebagai Atasan, dia adalah orang yang sangat berwibawa. Sebuah kata sempurna tentang bagaimana seorang pria menyikapi dan menempatkan dirinya. Kali ini melihatnya ragu, rasanya hatiku ikut ngilu. Luka itu pasti terlalu dalam. Kesakitan itu pasti sangat membebaninya. Hingga dia perlu diam beberapa saat sebelum merangkai kata. Temaram lampu teras tidak bisa menyembunyikan kegalauan yang Andre rasakan. Senyum yang biasanya selalu menghias wajahnya, sepenuhnya hilang. Dalam beberapa helaan nafas, Andre menguatkan diri untuk mengatakan lanjutan ceritanya. Apakah seperti yang dia katakan bahwa cerita itu akan sangat berguna untukku? Atau sebenarnya dia hanya ingin berbagi dengan seseorang. Aku tahu, masalah seperti ini tidak bisa dibagikan pada sembarang orang. Bahkan yang berada terdekat sekali pun. “Naura mengataka
"Anaya?!” Wajah ceria itu membuat mataku berkaca-kaca. Aku tidak bisa mengenali perasaanku saat ini. Apakah mataku menangis karena merindukannya atau sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja melihat senyum Anaya. Dia bahagia, jelas Anaya bahagia. Ada sudut terdalam di hatiku yang berteriak. ‘Anaya bahagia meski tanpa aku.’ Dan itu membuatku pilu. Apa yang harus kulakukan sekarang. Apakah aku harus menangis dan merusak kebahagiaan Anaya hanya karena egoku? Atau aku bisa bahagia dengan bahagianya? Mungkin ini saat yang tepat untuk kami. Anaya melihat sisi hidupnya yang lain. Lalu aku memiliki kesempatan memiliki diriku seutuhnya. Saat ini waktu dan tenaga bisa kufokuskan untuk membuatku berdiri lagi, menjadi wanita yang kuat dan berhasil. Semua bisa kulakukan dengan murni tanpa embel-embel pewaris atau pendamping. Sementara di sana, Anaya tetap bahagia. Dengan ketegaran hati, aku menjawab suara imut itu. “Anaya, apa kabar, Nak?” “Anaya sehat, Bunda. Bunda di mana? Tadi siang Om
"Waalaikumsalam. Bunda, itu siapa?” tanya Anaya. Sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan Andre. Pertama karena kami juga belum lama saling mengenal. Kedua, aku dan Anaya masih dalam masa membangun diri kami masing-masing. Anaya bahagia dan itu membuatku sedikit lega dengan segala kesesakkanya. Aku tidak ingin Anaya memikirkan sesuatu yang lain. Tapi, sekarang Andre sudah terlanjur muncul. Lucunya lagi, tidak ada ketegangan di antara mereka berdua. Andre tersenyum lebar dan Anaya tersenyum tipis. Anaya memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Andre lebih jelas. Wajah Andre hanya muncul sebagian di layar ponsel karena dia berdiri di belakangku dan agar tertutup oleh kepalaku. Melihat rasa penasaran di wajah Anaya, aku memiringkan kepalaku dan memberi ruang lebih agar Andre muncul dikamera. Senyum Anaya melebar. Ternyata ini jauh lebih baik dari dugaanku. “Hai, Naya. Ini Om Andre, teman Bunda.” Andre memperkenalkan diri dengan ramah. “Om Andre? Anaya belum pernah de
"Siapa sebenarnya orang yang terus mengirimiku pesan ini. Sudah bertahun-tahun dan dia sama sekali tidak menampakkan wajah.” Pesan-pesan itu tidak terlalu menggangguku. Aku terbiasa dengan ujaran kebencian. Sepertinya aku sekarang lebih kuat dari yang pernah kupikirkan. Setelah melirik pada sudut ponsel, aku segera berkemas. Tepat jam tujuh pagi, aku sudah berada di kantor. Orang pertama yang aku temui untuk memulai pekerjaanku adalah Maria. Dia menyodorkan beberapa kertas perjanjian kerja dan segala peraturannya. Aku membacanya selintas lalu dan kemudian menandatangani. Aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Lalu Maria menunjukkan ruang kerjaku. Sebuha ruangan manager yang rapi, wangi dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Tidak seluas milik Andre tentu saja. Rungan ini berada di lantai yang sama dengan Direktur dan CEO. Maria membawaku berkeliling dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Sampai kami tiba di ruangan dengan tulisan ‘Direktur Keuangan’. Setelah me
"Entah apa yang sedang anda lemparkan pada saya. Anda bahkan meragukan kemampuan dan pengalaman saya, tapi anda memberikan saya sebuah tantangan.” Aku tetap berani di depan Karen. Senyum sinis terukir di wajah cantik wanita itu. Seperi melempar umpan yang akhirnya tidak berhasil menjaring ikan. Mungkin dengan kata-katanya, Karena berharap aku mundur. Atau ketakutan, menyerah dan memohon ampunan. Mungkin juga dia ingin aku bernegosiasi dengan waktu. Maaf, Karen! Itu tidak akan berhasil. Aku telah menerjang badai dalam hidupku. Kalau sekarang kau sekedar menghembuskan angin musim panas, percayalah! Itu tidak akan membuatku goyah. Aku hanya ingin tahu apa sebenarnya yang ada di balik kata-katanya. Sangat mengherankan ketika seseorang bisa membenci orang yang baru pertama mereka temui. Bukan membenci, lebih tepatnya, saat ini Karen seperti sedang mengibarkan bendera perang. “Tantangan itu bukan tanpa alasan. Kau masuk ke kantor ini melalui kedekatanmu dengan Andre. Meski ya… kaumelew
"Felix?” “Hi, apa kabarmu? Aku tidak menyangka bisa melihatmu di sini.” Felix berjalan cepat mendekatiku. Pertemuan kami sebelumnya terjadi di tepi pantai Legian. Saat itu malam hari dan aku tidak begitu jelas melihat Felix. Kali ini kami bertemu di siang hari dan di tempat yang terang benderang. Wajah Eropa dan caucasian pastinya. Sepasang mata biru juga rambut pirang. Bentuk bule yang sebenarnya. Teriakannya berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Hanya sesaat lalu mereka kembali dengan kegiatan masing-masing. Dari tone suaranya, Felix terkejut dan gembira karena bertemu denganku. Sebuah kejutan dan aku pun merasa heran bisa bertemu dengannya di tempat ini. Senyum Felix merekah lebar begitu pula aku. Percakapan kami yang tidak panjang beberapa waktu lalu, adalah sesuatu yang menyenangkan. Mustinya, dia memang pria yang menyenangkan. “Felix, senang bertemu denganmu lagi.” “Begitu pula aku. Apa kau tinggal di hotel ini?” tanyanya. “Oh, tidak. Aku bekerja di sini.
"Apa? Maksudku, apa yang akan kulakukan di sana? Aku tidak punya pengalaman mengelola hal-hal seperti itu,” awabku gugup. Meski kata-kata Felix sudah kuperkirakan namun ternyata tidak semudah yang kuinginkan untuk menerimanya. Alih-laih tawaran kerja bukankah ini lebih terdengar seperti lamaran? “Aku tidak memintamu untuk mengelolanya. Aku memintamu bersamaku dan berada di sana.” “Pria selalu saja berpikir cepat dan taktis. Mereka tidak mempertimbangkan resiko.” “Pria adalah makhluk yang tidak banyak basa basi. Mereka bisa begitu saja mengambil keputusan atas apa yang mereka senangi dan mereka percayai.” “Bahkan ketika pertama kali kau melihatku, kau tahu bahwa aku adalah orang yang terluka. Kau ingin bersama wanita seperti itu?” Felix melihatku tanpa berkedip. Sepertinya dia sedang mencari keyakinan atas hatinya sendiri. Segelas kopi yang berkali terangkat dan dicecap tidak cukup untuk membuatnya mengakui dengan mudah. Dalam banyak hal pria adalah makhluk yang rumit. Namun dala
"Tidak ada yang tahu kapan takdir mempertemukan dan memisahkan seseorang,” jawabku. Memang rasanya seperti perpisahan. Namun entah kenapa jauh di dalam hatiku, aku percaya bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari nanti. Saat ini semua menjadi tidak tepat. Felix terlihat seperti pria yang cukup baik. Setelah semua yang kualami di amsa lalu, tampaknya Tuhan berbaik hati lalu mempertemukan aku dengan orang orang-orang baik. Satu per satu kepercayaan diriku yang hilang terbangun kembali. Kesibukanku pun perlahan menggeser pemikiran tentang Marisa dan Aslan. Seolah irama hidup mulai berjalan tepat seperti yang seharusnya dan yang aku inginkan. Walau di setiap prosesnya selalu ada tantangan. Malam itu, aku duduk di dalam kamar. Televisi di pavilyunku menyala tanpa alasan. Aku bahkan tidak tahu siaran apa yang sedang di sana. Lalu panggilan telepon memecah kesunyian. “Adina! Sangat lama… kenapa kau tidak menghubungi kami? Tara bersikeras tidak ingin menganggumu, tapi aku memaksa. Aku meng