Siapa ituh?
"Felix?” “Hi, apa kabarmu? Aku tidak menyangka bisa melihatmu di sini.” Felix berjalan cepat mendekatiku. Pertemuan kami sebelumnya terjadi di tepi pantai Legian. Saat itu malam hari dan aku tidak begitu jelas melihat Felix. Kali ini kami bertemu di siang hari dan di tempat yang terang benderang. Wajah Eropa dan caucasian pastinya. Sepasang mata biru juga rambut pirang. Bentuk bule yang sebenarnya. Teriakannya berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Hanya sesaat lalu mereka kembali dengan kegiatan masing-masing. Dari tone suaranya, Felix terkejut dan gembira karena bertemu denganku. Sebuah kejutan dan aku pun merasa heran bisa bertemu dengannya di tempat ini. Senyum Felix merekah lebar begitu pula aku. Percakapan kami yang tidak panjang beberapa waktu lalu, adalah sesuatu yang menyenangkan. Mustinya, dia memang pria yang menyenangkan. “Felix, senang bertemu denganmu lagi.” “Begitu pula aku. Apa kau tinggal di hotel ini?” tanyanya. “Oh, tidak. Aku bekerja di sini.
"Apa? Maksudku, apa yang akan kulakukan di sana? Aku tidak punya pengalaman mengelola hal-hal seperti itu,” awabku gugup. Meski kata-kata Felix sudah kuperkirakan namun ternyata tidak semudah yang kuinginkan untuk menerimanya. Alih-laih tawaran kerja bukankah ini lebih terdengar seperti lamaran? “Aku tidak memintamu untuk mengelolanya. Aku memintamu bersamaku dan berada di sana.” “Pria selalu saja berpikir cepat dan taktis. Mereka tidak mempertimbangkan resiko.” “Pria adalah makhluk yang tidak banyak basa basi. Mereka bisa begitu saja mengambil keputusan atas apa yang mereka senangi dan mereka percayai.” “Bahkan ketika pertama kali kau melihatku, kau tahu bahwa aku adalah orang yang terluka. Kau ingin bersama wanita seperti itu?” Felix melihatku tanpa berkedip. Sepertinya dia sedang mencari keyakinan atas hatinya sendiri. Segelas kopi yang berkali terangkat dan dicecap tidak cukup untuk membuatnya mengakui dengan mudah. Dalam banyak hal pria adalah makhluk yang rumit. Namun dala
"Tidak ada yang tahu kapan takdir mempertemukan dan memisahkan seseorang,” jawabku. Memang rasanya seperti perpisahan. Namun entah kenapa jauh di dalam hatiku, aku percaya bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari nanti. Saat ini semua menjadi tidak tepat. Felix terlihat seperti pria yang cukup baik. Setelah semua yang kualami di amsa lalu, tampaknya Tuhan berbaik hati lalu mempertemukan aku dengan orang orang-orang baik. Satu per satu kepercayaan diriku yang hilang terbangun kembali. Kesibukanku pun perlahan menggeser pemikiran tentang Marisa dan Aslan. Seolah irama hidup mulai berjalan tepat seperti yang seharusnya dan yang aku inginkan. Walau di setiap prosesnya selalu ada tantangan. Malam itu, aku duduk di dalam kamar. Televisi di pavilyunku menyala tanpa alasan. Aku bahkan tidak tahu siaran apa yang sedang di sana. Lalu panggilan telepon memecah kesunyian. “Adina! Sangat lama… kenapa kau tidak menghubungi kami? Tara bersikeras tidak ingin menganggumu, tapi aku memaksa. Aku meng
"Cantik sekali karangan bunga ini. Golden Rose. Bunga yang sangat mahal dan jarang ditemui.” “Pasti pengirimnya adalah orang kaya atau orang papan atas. Hebat!” “Hey! Dan ini adalah coklat Belgia yang mahal. Ahh… kenapa di meja ini kenapa tidak di mejaku.” Suara riuh terdengar ketika aku baru saja memasuki ruangan. Beberapa karyawan wanita tampak sedang berkerumun di sekitar mejaku. Mereka sepertinya sedang melihat dan mengagumi sesuatu. Decak-decak kagum ditambah ekspresi tersipu malu, membuatku mengerutkan kening. Beberapa karyawati meletakkan tangan di dada sambil memejamkan mata. Seolah mereka sedang berimajinasi bahwa apa yang mereka lihat adalah miliknya. Semburat wajah bahagia bak perawan yang sedang jatuh cinta tampak di wajah mereka. Aku mendekat tanpa mereka menyadarinya. Lalu melihat apa yang sedang mereka ributkan. Ternyata itu adalah sebuah karangan bunga dan sekotak coklat yang berada di atas mejaku. Sampai seorang dari mereka berbisik kepada yang lainnya. “Hust! Bu
‘Tidak, semua baik-baik saja. Aku bisa menanganinya. Jangan khawatir.’ Tidak ingin memperpanjang masalah. Aku membalas pesan Andre. Bagiku ini hanya urusan sepele dan tidak perlu memakai tangan orang lain untuk menyelesaikannya. Termasuk jika tangan yang terulur itu adalah tangan Andre. Semua hanya akan membuat keadaan semakin rumit. Jika Andre ikut campur dalam masalahku, maka kata-kata Karen akan menjadi benar. Aku menggunakan kedekatanku dengannya untuk membangun sebuah pengaruh dalam perusahaan. Dan aku tidak mau itu. Sejak awal masuk ke perusahaan ini, aku ingin dilihat sebagai diriku. Aku dengan segala kemampuan dan kapasitas yang kumiliki. Ternyata jawabanku tidak memuaskan Andre. Terbukti setelah itu, dia langsung menelpon ke ponselku. “Datanglah ke ruanganku!” tanpa basa basi. Seketika langsung mematikan sambungan. Mataku berkedip cepat melihat ke layar ponsel yang tidak lagi menyala. Apa-apaan ini? Sebuah perintah?! Tunggu! Aku menormalkan pikiran. Andre tentu berhak me
”Maksudku, aku mau kau tetap bekerja di sini. Lagi pula kau bekerja untuk anakmu. Kau membutuhkan pekerjaan ini.”Diam-diam aku menarik nafas lega. Saat ini aku sama sekali tidak berpikir untuk menaikkan sebuah hubungan menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Jika yang Andre katakan tentang hubungan pribadi, mungkin itu justru akan menjadi beban lain bagiku.Syukurlah ini hanya tentang ikatan kerja. Sejauh ini, Andre masih percaya bahwa aku benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. Padahal sebenarnya yang kubutuhkan saat ini adalah sebuah tantangan. Untuk membuktikan kemampuan diriku sendiri.“Aku akan melakukan yang terbaik. Kau tahu bahwa aku bukan orang yang bisa mundur begitu saja,” jawabku mantap.“Kau tidak akan pernah mengecewakanku. Aku percaya itu,” ucap Andre.Detaik setelahnya, Andre terlihat rileks dengan tangan dan pandangannya. Aku bersiap pergi ketika ternyata Andre belum selesai dengan acara pemanggilan hari ini.“Malam ini akan ada pertemuan di salah satu hotel lain. Acara m
”Adina….” Andre menggenggam erat tanganku. Dia tampak mulai khawatir jika ternyata aku bertindak terlalu jauh. Menantang seorang pengusaha senior seperti Peter bukankah urusan sepele. Dari kursinya, Andre tertawa. “Peter… kau lucu, untuk apa seorang pemilik perusahaan sepertimu mengajukan tantangan pada manajer seperti gadis ini?” Ardi tampak menciutkan segalanya yang berubah menjadi besar seketika. “Ayolah Ardi. Kita semua tahu, bahwa meski kita berkumpul dan tertawa bersama di meja ini. Kebenarannya adalah kita sebenarnya saling menusuk. Aku hanya mengajak semua orang untuk masuk dalam permainan yang lebih kotor lagi. Kali ini dengan Andre dan managernya.” Aku melepaskan tanganku dari genggaman Andre. Kali ini aku tidak akan membiarkan Peter lolos. Mereka bahkan tidak tahu siapa aku. Aslan dan Tara telah menempaku menjadi seekor singa dalam industri bisnis. Mustahil untuk mundur dari sebuah tantangan kecil yang tidak ada artinya. Semakin mereka meremehkanku, semakin besar tekadk
”Nadine!” aku mengguncang tubuh Nadine. Entah apa yang kupikirkan, namun ketika melihat gerakan lemah di tangannya, nafasku mengalir. Ah, dia masih hidup. Belum pernah seumur hidup aku begitu bahagia melihat tangan bergerak sekecil itu. Mata Nadine terbuka tipis. Setipis senyum yang kemudian mengembang di wajahnya. Andre bertumpu pada satu lutut dan memeriksa keadaan Nadine. Tangannya memegang pergelangan tangan Nadine seolah sedang mengukur sesuatu. Matanya terlihat gelisah dan menularkan segera ke hatiku. “Apa dia baik-baik saja?” Aku ingin sebuah jawaban bukan hanya reaksi yang membingungkan. “Dia baik-baik saja. Hanya detak nadinya sangat lemah dan dia demam. Dan….” “Dan…?” Tuhan! Andre membuatku takut dengan tatapan misteriusnya. Sementara Nadine bergerak gelisah di bawah lampu temaram. Dingin malam semakin menggigit di antara deburan ombak yang terdengar di kejauhan. Hembusan angin malam ini membawa aroma kesedihan. Semua tentang hidup yang bergulir tanpa belas kasihan untu