Wahh.. kayanya akan ada perang besar antara Adina dan Karen. Hmm... siapa sebenarnya Karen ini ya?
"Cantik sekali karangan bunga ini. Golden Rose. Bunga yang sangat mahal dan jarang ditemui.” “Pasti pengirimnya adalah orang kaya atau orang papan atas. Hebat!” “Hey! Dan ini adalah coklat Belgia yang mahal. Ahh… kenapa di meja ini kenapa tidak di mejaku.” Suara riuh terdengar ketika aku baru saja memasuki ruangan. Beberapa karyawan wanita tampak sedang berkerumun di sekitar mejaku. Mereka sepertinya sedang melihat dan mengagumi sesuatu. Decak-decak kagum ditambah ekspresi tersipu malu, membuatku mengerutkan kening. Beberapa karyawati meletakkan tangan di dada sambil memejamkan mata. Seolah mereka sedang berimajinasi bahwa apa yang mereka lihat adalah miliknya. Semburat wajah bahagia bak perawan yang sedang jatuh cinta tampak di wajah mereka. Aku mendekat tanpa mereka menyadarinya. Lalu melihat apa yang sedang mereka ributkan. Ternyata itu adalah sebuah karangan bunga dan sekotak coklat yang berada di atas mejaku. Sampai seorang dari mereka berbisik kepada yang lainnya. “Hust! Bu
‘Tidak, semua baik-baik saja. Aku bisa menanganinya. Jangan khawatir.’ Tidak ingin memperpanjang masalah. Aku membalas pesan Andre. Bagiku ini hanya urusan sepele dan tidak perlu memakai tangan orang lain untuk menyelesaikannya. Termasuk jika tangan yang terulur itu adalah tangan Andre. Semua hanya akan membuat keadaan semakin rumit. Jika Andre ikut campur dalam masalahku, maka kata-kata Karen akan menjadi benar. Aku menggunakan kedekatanku dengannya untuk membangun sebuah pengaruh dalam perusahaan. Dan aku tidak mau itu. Sejak awal masuk ke perusahaan ini, aku ingin dilihat sebagai diriku. Aku dengan segala kemampuan dan kapasitas yang kumiliki. Ternyata jawabanku tidak memuaskan Andre. Terbukti setelah itu, dia langsung menelpon ke ponselku. “Datanglah ke ruanganku!” tanpa basa basi. Seketika langsung mematikan sambungan. Mataku berkedip cepat melihat ke layar ponsel yang tidak lagi menyala. Apa-apaan ini? Sebuah perintah?! Tunggu! Aku menormalkan pikiran. Andre tentu berhak me
”Maksudku, aku mau kau tetap bekerja di sini. Lagi pula kau bekerja untuk anakmu. Kau membutuhkan pekerjaan ini.”Diam-diam aku menarik nafas lega. Saat ini aku sama sekali tidak berpikir untuk menaikkan sebuah hubungan menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Jika yang Andre katakan tentang hubungan pribadi, mungkin itu justru akan menjadi beban lain bagiku.Syukurlah ini hanya tentang ikatan kerja. Sejauh ini, Andre masih percaya bahwa aku benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. Padahal sebenarnya yang kubutuhkan saat ini adalah sebuah tantangan. Untuk membuktikan kemampuan diriku sendiri.“Aku akan melakukan yang terbaik. Kau tahu bahwa aku bukan orang yang bisa mundur begitu saja,” jawabku mantap.“Kau tidak akan pernah mengecewakanku. Aku percaya itu,” ucap Andre.Detaik setelahnya, Andre terlihat rileks dengan tangan dan pandangannya. Aku bersiap pergi ketika ternyata Andre belum selesai dengan acara pemanggilan hari ini.“Malam ini akan ada pertemuan di salah satu hotel lain. Acara m
”Adina….” Andre menggenggam erat tanganku. Dia tampak mulai khawatir jika ternyata aku bertindak terlalu jauh. Menantang seorang pengusaha senior seperti Peter bukankah urusan sepele. Dari kursinya, Andre tertawa. “Peter… kau lucu, untuk apa seorang pemilik perusahaan sepertimu mengajukan tantangan pada manajer seperti gadis ini?” Ardi tampak menciutkan segalanya yang berubah menjadi besar seketika. “Ayolah Ardi. Kita semua tahu, bahwa meski kita berkumpul dan tertawa bersama di meja ini. Kebenarannya adalah kita sebenarnya saling menusuk. Aku hanya mengajak semua orang untuk masuk dalam permainan yang lebih kotor lagi. Kali ini dengan Andre dan managernya.” Aku melepaskan tanganku dari genggaman Andre. Kali ini aku tidak akan membiarkan Peter lolos. Mereka bahkan tidak tahu siapa aku. Aslan dan Tara telah menempaku menjadi seekor singa dalam industri bisnis. Mustahil untuk mundur dari sebuah tantangan kecil yang tidak ada artinya. Semakin mereka meremehkanku, semakin besar tekadk
”Nadine!” aku mengguncang tubuh Nadine. Entah apa yang kupikirkan, namun ketika melihat gerakan lemah di tangannya, nafasku mengalir. Ah, dia masih hidup. Belum pernah seumur hidup aku begitu bahagia melihat tangan bergerak sekecil itu. Mata Nadine terbuka tipis. Setipis senyum yang kemudian mengembang di wajahnya. Andre bertumpu pada satu lutut dan memeriksa keadaan Nadine. Tangannya memegang pergelangan tangan Nadine seolah sedang mengukur sesuatu. Matanya terlihat gelisah dan menularkan segera ke hatiku. “Apa dia baik-baik saja?” Aku ingin sebuah jawaban bukan hanya reaksi yang membingungkan. “Dia baik-baik saja. Hanya detak nadinya sangat lemah dan dia demam. Dan….” “Dan…?” Tuhan! Andre membuatku takut dengan tatapan misteriusnya. Sementara Nadine bergerak gelisah di bawah lampu temaram. Dingin malam semakin menggigit di antara deburan ombak yang terdengar di kejauhan. Hembusan angin malam ini membawa aroma kesedihan. Semua tentang hidup yang bergulir tanpa belas kasihan untu
”I am okay, Adina,” ujar Nadine sambil mengalihkan pandangannya. Dia menolak untuk bertemu mata denganku. Itu sebuah konfirmasi kalau dia tidak ok. Dia tidak baik-baik saja. Mataku enggan meninggalkan wajahnya. Kali ini aku menuntut sebuah penjelasan tanpa kata. Nadine mengusap butiran air yang mengalir di sudut matanya. Dia berusaha menyembunyikan segala perasaannya. Itu terlihat bodoh dan gagal. Aku tetap di sana menuntut penjelasan. Kami berdua terlihat menyebalkan, kali ini aku tidak akan mundur. Kekerasan fisik adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kutoleransi. Ini membuatku marah dan aku bisa mengobarkan perang pada siapa pun yang melakukan ini. Terlebih lagi itu terjadi pada, sahabatku. Tidak ada toleransi sekecil apa pun! “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan penjelasan.” Itu terdengar tegas dan tidak memberi celah penawaran. “Ya, Tuhan! Kau sangat keras kepala,” rengek Nadine. “Kau tahu aku tidak begitu. Aku bukan orang yang suka ikut campur urusan pribadi or
”Ok, aku pergi. Tapi kamu harus tahu, seburuk apa pun situasi yang sedang kamu hadapi. Aku masih temanmu dan akan membantumu kapanmu kamu butuhkan.” Setelahnya aku berdiri dan menoleh sekali lagi pada Nadine. Dia memalingkan wajah tidak peduli. Aku mulai kehabisan energi untuk bertahan. Mungkin kami butuh sedikit waktu untuk mulai membicarakan semua ini lagi. Bagaimana pun aku tidak berubah pikiran. Aku tetap ingin orang yang menganiaya Nadine mendapatkan hukuman. Siapa pun dia. Meninggalkan rumah Nadine, aku berpapasan dengan Andre. Dia sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sesaat aku melirik penampilanku sendiri. Aku masih menggunakan baju yang kemarin kupakai untuk menghadiri makan malam. Belum mandi, kusut dan sepertinya sedikit bau. Perlahan menelan ludah, ketika Andre menghampiriku. “Aku sudah sampaikan pada Maria bahwa kau hari ini tidak ke kantor.” “Terima kasih. Setelah apa yang terjadi, aku memang tidak yakin kalau aku akan ke kantor. Rasanya belum tidur sepanjang ma
”Kami akan mengatakan semuanya,” Kevin memberikan keberanian pada akhirnya. Setiap orang pada akhirnya harus berani untuk memilih. Lalu kemana hati akan membawa mereka itulah yang menentukan apakah kaki akan berpijak di kanan atau di kiri. Tidak untuk keduanya dan tidak sama sekali. Seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak ketika aku melihat Tara berdiri di depan pavilyunku. Hari masih terlalu pagi dan aku belum terjaga sepenuhnya. Ketika bel berbunyi, membuatku meninggalkan mimpi indah dan terpaksa membuka pintu. “Tara?” “Kau bahkan tidak repot untuk mengintip siapa yang datang. Jika aku seorang penjahat, maka saat ini nasibmu selesai.” “Jangan bodoh! Aku tahu tempat ini aman.” Tara melengos dan menyerbu masuk ke dalam pavilyun. Setelah sebuah kerutan dalam aku melihat sekeliling. Berharap menemukan seseorang bersamanya, dengan hasil nihil. Kunyalakan seluruh lampu agar bisa melihat wajah kesal Tara dengan jelas. Bukan hanya kesal tapi juga penuh ancaman. Entah apa yang me
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil