Nah kan...
"Kenapa kau terlihat ketakutan? Apakah diperlakukan special terdengar mengerikan?” tanya Andre. “Ya, itu terdengar menakutkan. Bekerja sebagai karyawan special akan membuatku mendapat banyak penolakan. Sejak awal aku sudah menegaskan padamu, bahwa jika aku menerima tawaran kerja ini, maka aku ingin semuanya berjalan dengan resmi dan sesuai prosedur yang ada.” Tatapan mata Andre semakin sulit dimengerti. Matanya yang hitam terlihat dalam dan lurus ke arahku. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Apa?! Bukankah aku hanya mengucapkan hal yang biasa? Aku tidak ingin apa yang terjadi padaku ketika bekerja dengan Aslan terulang lagi di perusahaan ini. Dianggap menempati sebuah posisi karena hubungan semata adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Jika Andre selalu mengatakan bahwa aku butuh validasi, ya memang aku butuh validasi. Itulah dasar awal karir yang akan membuatku percaya diri. Mungkin Andre berpikir ini terlalu serius untuk pekerjaan yang kuambil untuk sekedar mengisi kekosong
"Tidak, aku tidak suka mendengar rahasia orang lain,” tukasku cepat. Aku pun menyelesaikan makananku. Setelah mengambil kotak yang berada di depan Andre an memasukkan ke kantong putih semula, aku berdiri dan berjalan ke sudut halaman. Plastik berisi sampah itu mendarat dengan sempurna di tong sampah besar yang ada di sana. Sesaat aku menoleh pada Andre. Inginku langsung masuk ke dalam rumah untuk menghindarinya. Andre adalah pria dengan pesona yang luar biasa. Terlalu lama di dekatnya, bisa membuatku kehilangan kendali hati. Bahkan hanya dengan berbincang pun, Andre terasa begitu mendominasi. Tapi, demi melihat wajahnya yang merah padam karena kepedasan, bukankah aku menjadi terlihat terlalu kejam? Aku masuk ke dalam rumah dan mengambil dua botol air mineral. Lalu kembali dan menyerahkan satu pada Andre. Entah kenapa aku justru duduk lagi di kursi yang sama. “Aku tidak menceritakan rahasia. Apa yang akan dirahasiakan dari sebuah kegagalan,” ucap Andre setelah meneguk air mineral b
"Jika kau tidak ingin mengatakan, maka lupakan,” saat itu aku melihat Andre goyah. Dia tidak pernah begitu. Sebagai teman, Andre selalu menampilkan sisi dirinya yang ceria. Sebagai Atasan, dia adalah orang yang sangat berwibawa. Sebuah kata sempurna tentang bagaimana seorang pria menyikapi dan menempatkan dirinya. Kali ini melihatnya ragu, rasanya hatiku ikut ngilu. Luka itu pasti terlalu dalam. Kesakitan itu pasti sangat membebaninya. Hingga dia perlu diam beberapa saat sebelum merangkai kata. Temaram lampu teras tidak bisa menyembunyikan kegalauan yang Andre rasakan. Senyum yang biasanya selalu menghias wajahnya, sepenuhnya hilang. Dalam beberapa helaan nafas, Andre menguatkan diri untuk mengatakan lanjutan ceritanya. Apakah seperti yang dia katakan bahwa cerita itu akan sangat berguna untukku? Atau sebenarnya dia hanya ingin berbagi dengan seseorang. Aku tahu, masalah seperti ini tidak bisa dibagikan pada sembarang orang. Bahkan yang berada terdekat sekali pun. “Naura mengataka
"Anaya?!” Wajah ceria itu membuat mataku berkaca-kaca. Aku tidak bisa mengenali perasaanku saat ini. Apakah mataku menangis karena merindukannya atau sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja melihat senyum Anaya. Dia bahagia, jelas Anaya bahagia. Ada sudut terdalam di hatiku yang berteriak. ‘Anaya bahagia meski tanpa aku.’ Dan itu membuatku pilu. Apa yang harus kulakukan sekarang. Apakah aku harus menangis dan merusak kebahagiaan Anaya hanya karena egoku? Atau aku bisa bahagia dengan bahagianya? Mungkin ini saat yang tepat untuk kami. Anaya melihat sisi hidupnya yang lain. Lalu aku memiliki kesempatan memiliki diriku seutuhnya. Saat ini waktu dan tenaga bisa kufokuskan untuk membuatku berdiri lagi, menjadi wanita yang kuat dan berhasil. Semua bisa kulakukan dengan murni tanpa embel-embel pewaris atau pendamping. Sementara di sana, Anaya tetap bahagia. Dengan ketegaran hati, aku menjawab suara imut itu. “Anaya, apa kabar, Nak?” “Anaya sehat, Bunda. Bunda di mana? Tadi siang Om
"Waalaikumsalam. Bunda, itu siapa?” tanya Anaya. Sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan Andre. Pertama karena kami juga belum lama saling mengenal. Kedua, aku dan Anaya masih dalam masa membangun diri kami masing-masing. Anaya bahagia dan itu membuatku sedikit lega dengan segala kesesakkanya. Aku tidak ingin Anaya memikirkan sesuatu yang lain. Tapi, sekarang Andre sudah terlanjur muncul. Lucunya lagi, tidak ada ketegangan di antara mereka berdua. Andre tersenyum lebar dan Anaya tersenyum tipis. Anaya memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Andre lebih jelas. Wajah Andre hanya muncul sebagian di layar ponsel karena dia berdiri di belakangku dan agar tertutup oleh kepalaku. Melihat rasa penasaran di wajah Anaya, aku memiringkan kepalaku dan memberi ruang lebih agar Andre muncul dikamera. Senyum Anaya melebar. Ternyata ini jauh lebih baik dari dugaanku. “Hai, Naya. Ini Om Andre, teman Bunda.” Andre memperkenalkan diri dengan ramah. “Om Andre? Anaya belum pernah de
"Siapa sebenarnya orang yang terus mengirimiku pesan ini. Sudah bertahun-tahun dan dia sama sekali tidak menampakkan wajah.” Pesan-pesan itu tidak terlalu menggangguku. Aku terbiasa dengan ujaran kebencian. Sepertinya aku sekarang lebih kuat dari yang pernah kupikirkan. Setelah melirik pada sudut ponsel, aku segera berkemas. Tepat jam tujuh pagi, aku sudah berada di kantor. Orang pertama yang aku temui untuk memulai pekerjaanku adalah Maria. Dia menyodorkan beberapa kertas perjanjian kerja dan segala peraturannya. Aku membacanya selintas lalu dan kemudian menandatangani. Aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Lalu Maria menunjukkan ruang kerjaku. Sebuha ruangan manager yang rapi, wangi dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Tidak seluas milik Andre tentu saja. Rungan ini berada di lantai yang sama dengan Direktur dan CEO. Maria membawaku berkeliling dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Sampai kami tiba di ruangan dengan tulisan ‘Direktur Keuangan’. Setelah me
"Entah apa yang sedang anda lemparkan pada saya. Anda bahkan meragukan kemampuan dan pengalaman saya, tapi anda memberikan saya sebuah tantangan.” Aku tetap berani di depan Karen. Senyum sinis terukir di wajah cantik wanita itu. Seperi melempar umpan yang akhirnya tidak berhasil menjaring ikan. Mungkin dengan kata-katanya, Karena berharap aku mundur. Atau ketakutan, menyerah dan memohon ampunan. Mungkin juga dia ingin aku bernegosiasi dengan waktu. Maaf, Karen! Itu tidak akan berhasil. Aku telah menerjang badai dalam hidupku. Kalau sekarang kau sekedar menghembuskan angin musim panas, percayalah! Itu tidak akan membuatku goyah. Aku hanya ingin tahu apa sebenarnya yang ada di balik kata-katanya. Sangat mengherankan ketika seseorang bisa membenci orang yang baru pertama mereka temui. Bukan membenci, lebih tepatnya, saat ini Karen seperti sedang mengibarkan bendera perang. “Tantangan itu bukan tanpa alasan. Kau masuk ke kantor ini melalui kedekatanmu dengan Andre. Meski ya… kaumelew
"Felix?” “Hi, apa kabarmu? Aku tidak menyangka bisa melihatmu di sini.” Felix berjalan cepat mendekatiku. Pertemuan kami sebelumnya terjadi di tepi pantai Legian. Saat itu malam hari dan aku tidak begitu jelas melihat Felix. Kali ini kami bertemu di siang hari dan di tempat yang terang benderang. Wajah Eropa dan caucasian pastinya. Sepasang mata biru juga rambut pirang. Bentuk bule yang sebenarnya. Teriakannya berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Hanya sesaat lalu mereka kembali dengan kegiatan masing-masing. Dari tone suaranya, Felix terkejut dan gembira karena bertemu denganku. Sebuah kejutan dan aku pun merasa heran bisa bertemu dengannya di tempat ini. Senyum Felix merekah lebar begitu pula aku. Percakapan kami yang tidak panjang beberapa waktu lalu, adalah sesuatu yang menyenangkan. Mustinya, dia memang pria yang menyenangkan. “Felix, senang bertemu denganmu lagi.” “Begitu pula aku. Apa kau tinggal di hotel ini?” tanyanya. “Oh, tidak. Aku bekerja di sini.
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil