Ngadi2 Bu Maria. Kok pertanyaanya jadi pribadi banget.
"Apakah ini bagian dari interview yang harus saya jawab?” tanyaku. “Maaf, jika membuatmu tidak nyaman. Aku perlu mengetahui beberapa hal. Kau boleh saja tidak menjawabnya. Satu hal yang harus kutekankan padamu, bahwa kami bekerja keras dan sangat profesional di kantor ini.” Aku merasa Maria tidak menyukaiku. Entah kenapa, kami baru pertama kali bertemu dengan durasi singkat. Bisakah seseorang tidak menyukai orang lainnya hanya dalam hitungan jam? Apakah dalam mata seorang HRD ada sebuah kesaktian utuk melihat dengan cara yang berbeda? Satu-satunya kemungkinan adalah karena Maria melihat statusku sebagai seorang janda. Ini adalah Indonesia, dimana stigma janda membawa sebuah arti buruk dan menyakitkan. Tentang wanita yang suka menggoda. Mereka bahkan tidak mau repot untuk mengenal dan tahu pribadinya. Hanya dengan satu status, cukup untuk membuat seorang janda dibingkai dalam penilaian negatif. “Baiklah, semua test dan interviewmu berjalan dengan baik. Pak Andre memintamu untuk mula
"Kenapa kau terlihat ketakutan? Apakah diperlakukan special terdengar mengerikan?” tanya Andre. “Ya, itu terdengar menakutkan. Bekerja sebagai karyawan special akan membuatku mendapat banyak penolakan. Sejak awal aku sudah menegaskan padamu, bahwa jika aku menerima tawaran kerja ini, maka aku ingin semuanya berjalan dengan resmi dan sesuai prosedur yang ada.” Tatapan mata Andre semakin sulit dimengerti. Matanya yang hitam terlihat dalam dan lurus ke arahku. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Apa?! Bukankah aku hanya mengucapkan hal yang biasa? Aku tidak ingin apa yang terjadi padaku ketika bekerja dengan Aslan terulang lagi di perusahaan ini. Dianggap menempati sebuah posisi karena hubungan semata adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Jika Andre selalu mengatakan bahwa aku butuh validasi, ya memang aku butuh validasi. Itulah dasar awal karir yang akan membuatku percaya diri. Mungkin Andre berpikir ini terlalu serius untuk pekerjaan yang kuambil untuk sekedar mengisi kekosong
"Tidak, aku tidak suka mendengar rahasia orang lain,” tukasku cepat. Aku pun menyelesaikan makananku. Setelah mengambil kotak yang berada di depan Andre an memasukkan ke kantong putih semula, aku berdiri dan berjalan ke sudut halaman. Plastik berisi sampah itu mendarat dengan sempurna di tong sampah besar yang ada di sana. Sesaat aku menoleh pada Andre. Inginku langsung masuk ke dalam rumah untuk menghindarinya. Andre adalah pria dengan pesona yang luar biasa. Terlalu lama di dekatnya, bisa membuatku kehilangan kendali hati. Bahkan hanya dengan berbincang pun, Andre terasa begitu mendominasi. Tapi, demi melihat wajahnya yang merah padam karena kepedasan, bukankah aku menjadi terlihat terlalu kejam? Aku masuk ke dalam rumah dan mengambil dua botol air mineral. Lalu kembali dan menyerahkan satu pada Andre. Entah kenapa aku justru duduk lagi di kursi yang sama. “Aku tidak menceritakan rahasia. Apa yang akan dirahasiakan dari sebuah kegagalan,” ucap Andre setelah meneguk air mineral b
"Jika kau tidak ingin mengatakan, maka lupakan,” saat itu aku melihat Andre goyah. Dia tidak pernah begitu. Sebagai teman, Andre selalu menampilkan sisi dirinya yang ceria. Sebagai Atasan, dia adalah orang yang sangat berwibawa. Sebuah kata sempurna tentang bagaimana seorang pria menyikapi dan menempatkan dirinya. Kali ini melihatnya ragu, rasanya hatiku ikut ngilu. Luka itu pasti terlalu dalam. Kesakitan itu pasti sangat membebaninya. Hingga dia perlu diam beberapa saat sebelum merangkai kata. Temaram lampu teras tidak bisa menyembunyikan kegalauan yang Andre rasakan. Senyum yang biasanya selalu menghias wajahnya, sepenuhnya hilang. Dalam beberapa helaan nafas, Andre menguatkan diri untuk mengatakan lanjutan ceritanya. Apakah seperti yang dia katakan bahwa cerita itu akan sangat berguna untukku? Atau sebenarnya dia hanya ingin berbagi dengan seseorang. Aku tahu, masalah seperti ini tidak bisa dibagikan pada sembarang orang. Bahkan yang berada terdekat sekali pun. “Naura mengataka
"Anaya?!” Wajah ceria itu membuat mataku berkaca-kaca. Aku tidak bisa mengenali perasaanku saat ini. Apakah mataku menangis karena merindukannya atau sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja melihat senyum Anaya. Dia bahagia, jelas Anaya bahagia. Ada sudut terdalam di hatiku yang berteriak. ‘Anaya bahagia meski tanpa aku.’ Dan itu membuatku pilu. Apa yang harus kulakukan sekarang. Apakah aku harus menangis dan merusak kebahagiaan Anaya hanya karena egoku? Atau aku bisa bahagia dengan bahagianya? Mungkin ini saat yang tepat untuk kami. Anaya melihat sisi hidupnya yang lain. Lalu aku memiliki kesempatan memiliki diriku seutuhnya. Saat ini waktu dan tenaga bisa kufokuskan untuk membuatku berdiri lagi, menjadi wanita yang kuat dan berhasil. Semua bisa kulakukan dengan murni tanpa embel-embel pewaris atau pendamping. Sementara di sana, Anaya tetap bahagia. Dengan ketegaran hati, aku menjawab suara imut itu. “Anaya, apa kabar, Nak?” “Anaya sehat, Bunda. Bunda di mana? Tadi siang Om
"Waalaikumsalam. Bunda, itu siapa?” tanya Anaya. Sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan Andre. Pertama karena kami juga belum lama saling mengenal. Kedua, aku dan Anaya masih dalam masa membangun diri kami masing-masing. Anaya bahagia dan itu membuatku sedikit lega dengan segala kesesakkanya. Aku tidak ingin Anaya memikirkan sesuatu yang lain. Tapi, sekarang Andre sudah terlanjur muncul. Lucunya lagi, tidak ada ketegangan di antara mereka berdua. Andre tersenyum lebar dan Anaya tersenyum tipis. Anaya memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Andre lebih jelas. Wajah Andre hanya muncul sebagian di layar ponsel karena dia berdiri di belakangku dan agar tertutup oleh kepalaku. Melihat rasa penasaran di wajah Anaya, aku memiringkan kepalaku dan memberi ruang lebih agar Andre muncul dikamera. Senyum Anaya melebar. Ternyata ini jauh lebih baik dari dugaanku. “Hai, Naya. Ini Om Andre, teman Bunda.” Andre memperkenalkan diri dengan ramah. “Om Andre? Anaya belum pernah de
"Siapa sebenarnya orang yang terus mengirimiku pesan ini. Sudah bertahun-tahun dan dia sama sekali tidak menampakkan wajah.” Pesan-pesan itu tidak terlalu menggangguku. Aku terbiasa dengan ujaran kebencian. Sepertinya aku sekarang lebih kuat dari yang pernah kupikirkan. Setelah melirik pada sudut ponsel, aku segera berkemas. Tepat jam tujuh pagi, aku sudah berada di kantor. Orang pertama yang aku temui untuk memulai pekerjaanku adalah Maria. Dia menyodorkan beberapa kertas perjanjian kerja dan segala peraturannya. Aku membacanya selintas lalu dan kemudian menandatangani. Aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Lalu Maria menunjukkan ruang kerjaku. Sebuha ruangan manager yang rapi, wangi dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Tidak seluas milik Andre tentu saja. Rungan ini berada di lantai yang sama dengan Direktur dan CEO. Maria membawaku berkeliling dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Sampai kami tiba di ruangan dengan tulisan ‘Direktur Keuangan’. Setelah me
"Entah apa yang sedang anda lemparkan pada saya. Anda bahkan meragukan kemampuan dan pengalaman saya, tapi anda memberikan saya sebuah tantangan.” Aku tetap berani di depan Karen. Senyum sinis terukir di wajah cantik wanita itu. Seperi melempar umpan yang akhirnya tidak berhasil menjaring ikan. Mungkin dengan kata-katanya, Karena berharap aku mundur. Atau ketakutan, menyerah dan memohon ampunan. Mungkin juga dia ingin aku bernegosiasi dengan waktu. Maaf, Karen! Itu tidak akan berhasil. Aku telah menerjang badai dalam hidupku. Kalau sekarang kau sekedar menghembuskan angin musim panas, percayalah! Itu tidak akan membuatku goyah. Aku hanya ingin tahu apa sebenarnya yang ada di balik kata-katanya. Sangat mengherankan ketika seseorang bisa membenci orang yang baru pertama mereka temui. Bukan membenci, lebih tepatnya, saat ini Karen seperti sedang mengibarkan bendera perang. “Tantangan itu bukan tanpa alasan. Kau masuk ke kantor ini melalui kedekatanmu dengan Andre. Meski ya… kaumelew