Kenapa itu Nadine?!
"Maaf, Nadine. Aku tidak bermaksud….” “Pergilah!” usir Nadine kasar. Seketika aku menutup pintu dan berjalan cepat menuju ke pavilyun tempat tinggalku. Beberapa langkah aku mendengar suara pintu dibanting di belakangku. Nadine atau pria itu jelas kaget dan marah dengan kehadiranku. Telingaku memanas dan dadaku bergemuruh. Nyaris seperti berlari tanpa melihat lagi jalan yang aku lewati. Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Beruntung orang itu secepat kilat menangkapku dengan tangan kokohnya sehingga kami tidak terjatuh. Aku semakin gemetar. Ini jelas tangan seorang pria. Tapi, dia tenang dan tidak berbahaya. Sesaat kumantapkan berdiriku dan berusaha menjauh perlahan. “Ssst! Kembalilah ke pavilyunmu dan beristirahat.” Suaranya perlahan tapi menenangkan. “Andre?” “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Tapi, ini adalah Bali, Adina. Kota di mana malam pun berisi banyak kesenangan. Jaga dirimu baik-baik.” “Aku… aku baik-baik saja di luar sana. Justru aku terkejut karena meli
"Ketika aku mengatakan padamu bahwa kematian adalah tentang kematian dan bukan tentang orang lain yang menyebabkan, aku serius tentang itu, Adina.” Mata Nadine kosong menatap botol susu yang ada di hadapannya. Aku melihat ke arah yang sama. Sulit menebak apa yang sedang dia pikirkan. Tapi, mata itu jelas menggambarkan apa yang dia rasakan. Sebuah kesakitan dan penderitaan. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dia teriakan tentang kebahagiaan dan kebebasan. Ada sebuah penjara di hati Nadine. Sesuatu yang berusaha dia tutupi dengan kepalsuan. Sekarang Nadine justru berbicara tentang kematian. Ini sangat membingungkan. Orang seperti Nadine seharusnya tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu. Mereka hanya peduli dengan kehidupan dan bukan kehidupan setelah kematian. Nadine meneguk habis susu di depannya dan berdiri. Dia mengusap cepat butiran air di sudut matanya. “Di pavilyun ini tidak ada dapur. Hanya mesin pembuat kopi, microwave dan kulkas. Jika kau ingin memas
"Hey! Pertanyaan apa itu?! Bukankah itu terlalu pribadi untuk ditanyakan?” aku memasang pagar. Sebenarnya itu adalah usaha untuk menutupi kebodohanku yang barusan. Aku harap Andre melupakan itu. Reaksiku jelas membuatnya bisa membaca diriku dalam sekejap mata. Reflek yang timbul karena luka masa lalu memang selalu luar biasa. Andre tersenyum dan berusaha untuk tidak membahas apa yang baru saja kami bicarakan. “Aku pikir kita akan berteman baik untuk beberapa waktu. Kau tinggal di sekitarku dan mungkin untuk waktu lama kita akan sering bertemu.” “Bukan berarti kau boleh tahu urusan-urusan pribadiku.” Aku bersikeras. “Ok… ok! Adina, aku tidak ingin memulai perdebatan denganmu tentang hal ini.” Andrea mengalah agar pembicaraan kami tidak semakin tegang. Aku ssadar betul bahwa satu per satu peristiwa hidup di masa lalu telah mengubah banyak hal tentang diriku. Sikap waspada atau yang lebih tepat disebut curiga menjadi bagian terbesar dalam mengambil alih emosiku. Apakah memang itu y
"Pak Andre, Nona Adina sudah datang.” Seorang sekretaris mengantarku ke ruangan Andre. Setelah pertemuan kami tadi malam, aku akhirnya memutuskan untuk datang ke kantor Andre pagi ini. Ini terasa canggung. Kami bertemu tadi malam, Andre tinggal di seberang pavilyunku dan kami bertemu di kantor secara resmi. Aku kehabisan kata dan tidak tahu harus memulai dari mana. Sekretaris yang membawaku ke ruangan Andre tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk. Lalu menarik sebuah kursi hitam yang ada di depan Andre. Sementara Andre sama sekali tidak bergeming. Dia tetap sibuk bekerja di laptopnya. Hanya sesaat mengerling dan menganggukkan kepala. Hah?! Reaksi macam apa itu? Kenapa dia seolah melihat orang asing? Sikapnya sangat resmi seolah kami baru pertama kali bertemu. Aku menoleh bingung pada sekretaris Andre. Gadis itu hanya tersenyum, sedikit mengangkat bahu. Setelah aku duduk, dia bahkan meninggalkan ruang kerja Andre. “Hi, selamat datang di kantorku.” Tiba-tiba Andre menyapa ceria.
"Silahkan, Nona,” Maria mengamitku karena aku sempat berhenti. “Oh, iya.” Kami pun menuju ke lantai lain tempat test akan dilakukan. Sebelum masuk ke dalam lift, aku sempat menyapukan pandangan di lantai itu. Sepertinya lantai itu dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Tidak banyak karyawan di lantai itu seperti lantai yang lainnya. Sementara Maria terus berjalan cepat menuju ke lift. Aku mempercepat langkah agar tidak tertinggal. Rok panjangku yang jatuh di sekitar kaki bergerak seiring ayunan langkah yang kulakukan. Seperti biasa, sepatu flat menjadi kebangganku. Lagi pula aku tidak membawa banyak pakaian ke Bali. Tidak pernah terlintas bahwa aku akan memulai sebuah pekerjaan di sini. Mungkin jika nanti aku mulai bekerja di tempat ini, aku harus membeli beberapa pakaian. “Silahkan duduk, Nona. Aku akan meminta salah satu staff memberikan kertas tesmu. Lakukan saja dengan baik.” “Tentu, Bu Maria. Terima kasih,” ujarku pada wanita paruh baya itu. “Aku tidak yakin kita butuh te
"Apakah ini bagian dari interview yang harus saya jawab?” tanyaku. “Maaf, jika membuatmu tidak nyaman. Aku perlu mengetahui beberapa hal. Kau boleh saja tidak menjawabnya. Satu hal yang harus kutekankan padamu, bahwa kami bekerja keras dan sangat profesional di kantor ini.” Aku merasa Maria tidak menyukaiku. Entah kenapa, kami baru pertama kali bertemu dengan durasi singkat. Bisakah seseorang tidak menyukai orang lainnya hanya dalam hitungan jam? Apakah dalam mata seorang HRD ada sebuah kesaktian utuk melihat dengan cara yang berbeda? Satu-satunya kemungkinan adalah karena Maria melihat statusku sebagai seorang janda. Ini adalah Indonesia, dimana stigma janda membawa sebuah arti buruk dan menyakitkan. Tentang wanita yang suka menggoda. Mereka bahkan tidak mau repot untuk mengenal dan tahu pribadinya. Hanya dengan satu status, cukup untuk membuat seorang janda dibingkai dalam penilaian negatif. “Baiklah, semua test dan interviewmu berjalan dengan baik. Pak Andre memintamu untuk mula
"Kenapa kau terlihat ketakutan? Apakah diperlakukan special terdengar mengerikan?” tanya Andre. “Ya, itu terdengar menakutkan. Bekerja sebagai karyawan special akan membuatku mendapat banyak penolakan. Sejak awal aku sudah menegaskan padamu, bahwa jika aku menerima tawaran kerja ini, maka aku ingin semuanya berjalan dengan resmi dan sesuai prosedur yang ada.” Tatapan mata Andre semakin sulit dimengerti. Matanya yang hitam terlihat dalam dan lurus ke arahku. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Apa?! Bukankah aku hanya mengucapkan hal yang biasa? Aku tidak ingin apa yang terjadi padaku ketika bekerja dengan Aslan terulang lagi di perusahaan ini. Dianggap menempati sebuah posisi karena hubungan semata adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Jika Andre selalu mengatakan bahwa aku butuh validasi, ya memang aku butuh validasi. Itulah dasar awal karir yang akan membuatku percaya diri. Mungkin Andre berpikir ini terlalu serius untuk pekerjaan yang kuambil untuk sekedar mengisi kekosong
"Tidak, aku tidak suka mendengar rahasia orang lain,” tukasku cepat. Aku pun menyelesaikan makananku. Setelah mengambil kotak yang berada di depan Andre an memasukkan ke kantong putih semula, aku berdiri dan berjalan ke sudut halaman. Plastik berisi sampah itu mendarat dengan sempurna di tong sampah besar yang ada di sana. Sesaat aku menoleh pada Andre. Inginku langsung masuk ke dalam rumah untuk menghindarinya. Andre adalah pria dengan pesona yang luar biasa. Terlalu lama di dekatnya, bisa membuatku kehilangan kendali hati. Bahkan hanya dengan berbincang pun, Andre terasa begitu mendominasi. Tapi, demi melihat wajahnya yang merah padam karena kepedasan, bukankah aku menjadi terlihat terlalu kejam? Aku masuk ke dalam rumah dan mengambil dua botol air mineral. Lalu kembali dan menyerahkan satu pada Andre. Entah kenapa aku justru duduk lagi di kursi yang sama. “Aku tidak menceritakan rahasia. Apa yang akan dirahasiakan dari sebuah kegagalan,” ucap Andre setelah meneguk air mineral b
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil