"Selamat datang, Adina. Kamu masih ingat namaku setelah puluhan tahun." Senyum merekah di wajah cantik berusia tiga puluhan tahun itu.Dengan celana pendek dan tshirt putihnya, Nadine terlihat santai. Penampilan yang sama sekali tidak mempengaruhi kecantikannya.Wajah Eropa yang kental dengan mata coklat terang."Kesulitan selalu membawa kita pada orang-orang yang kita lupakan," ujarku kecut.Nadine segera mengambil tas troly yang aku pegang. Dia memelukku dan menangkup pipiku. Wajahnya masih sama seperti lima belas tahun lalu ketika kami baru mengenal satu sama lain.Saat itu, kami baru saja masuk menjadi siswa Sekolah Menengah Islam terfavorit di Jakarta. Wajah Belanda yang dimilikinya membuat Nadine terlihat menonjol di antara teman-teman yang lain. "Itulah kenapa kita tidak boleh melupakan masa lalu," ujar Nadine sambil tersenyum."Aku tidak pernah melupakanmu. Karena kita memilih jalan berbeda, maka semua membuat kita jauh.""Lupakan. Ayo, masuklah."Nadine menuju ke mobil bagia
"Kembalilah ke Jakarta. Ambil semua yang menjadi milikmu.” Nadien mengatakan dengan tatapan mata tajam. Apakah dia sedang mencoba menyemangatiku atau dia sedang mencoba membunuhku. Ini keterlaluan. Bagaimana mungkin dia memberika saran seperti itu. Susah payah aku berusaha keluar dari kota Jakarta dan sekarang dia memintaku kembali dengan ucapan seringan kapas. Hmm… atau sebenarnya Nadine memang keberatan jika aku bersamanya. Kehidupan bebas yang Nadine miliki mungkin akan terasa terbatas dengan keberadaanku. Meski secara keseluruhan, aku mengenal Nadine sebagai orang yang tidak peduli dengan pandangan orang lain. Dia akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Setelah menghabiskan seluruh the yangmenjadi bagianku, aku berdiri. Tidak ingin berdebat dengan Nadine. Sampai beberapa waktu, aku merasa tempat ini cukup aman untukku beristirahat dan melepaskan penat. Setidaknya sampai aku tahu apa yang menjadi tujuanku. “Apa kau punya kamar untukku?” “Kau akan tinggal di pavilyun yan
"Siapa kau?” tanyaku. “Kenapa melihatku seperti hantu? Apaka kau tidak pernah melihat manusia sebelumnya?” suara pria itu terdengar renyah dan ramah. “Bukan itu… maksudku… aku….” Aku tidak menggunakan hijab. Karena kupikir ini adalah tempat yang sepi. Nadine bilang ini bukan musim liburan sehingga pavilyun-pavilyun miliknya cenderung kosong. Suasana memang terasa sunyi. Karena itulah aku memutuskan mmbuka hijab yang membuatku merasa gerah di hari yang panas. Lalu tiba-tiba saja pria ini muncul di depanku seperti hantu. Ak bahkan tidan mendengar langkah atau gerakan sebelumnya. Pria dengan wajah khas Indonesia yang tampan. Rambutnya hitam pekat dan bulu mata lebat membingkai matanya dengan warna senada. Tampan khas Indonesia! Dalam kegalauanku, wajah tampan ini bahkan tidak bisa menarik perhatianku. Aku sedikit gugup karena berdiri berhadapan dengannya tanpa hijab. Atau mungkin dia juga tidak tahu bahwa sebenarnya aku berhijab. Tatapan pria itu lurus ke arahku dan matanya sedikit m
"Jika kau percaya mata adalah jendela jiwa, maka sehebat apa pun kau menyembunyikannya, kesedihan dan kesepian itu akan tetap terlihat di wajahmu.” Begitu saja, lalu Andre berjalan dan pergi. Dia masuk ke salah satu pavilyun yang tidak jauh dari pavilyun yang aku tempati. Mataku terpaku melihat Andre sampai dia menghilang di balik pintu kayu. Keadaan seketika kembali sepi. Hanya ada aku yang sedang berdiri sendiri. Kesedihan dan kesepian, dua kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Semua tentang diriku seolah hilang arti. Aku gagal dalam pernikahan tiga tahun lalu. Terlepas dari fakta bahwa Kalila yang menggoda Fattan, nyatanya dia berpaling dariku. El Khairi Company berada di tangan yang tepat, Tara dan Vivian. Lalu Anaya bahagia bersama Kalila, Fattan dan anak lelaki mereka. Tidak salah jika kemudian aku mempertanyakan apa peranku di bumi ini. Apakah aku telah kehilangan arti dari nyawaku sendiri? Ketika yang bisa kuberikan pada orang lain hanyalah bencana. Mataha
"Ini adalah perjalanan pertamaku ke Indonesia. Aku bertemu dengan banyak orang yang ramah. Kau adalah orang pertama yang terlihat menjengkelkan.” Aku sesaat terpukau. Memang betul, aku tidak dalam keadaan baik-baik saja untuk ramah pada orang asing. Dengan ribuan beban di bahu dan hatiku, bagaimana aku bisa menjadi baik dengan satu atau dua sapaan. Seharusnya itu bukan berarti aku juga bisa menjengkelkan pada orang yang baru kutemui. Sekali lagi, harga diriku menarik sikapku lebih tinggi. Tidak mengijinkan aku untuk merendah dan meminta maaf. Alih-alih mengakui kesalahan sikap, aku lebih senang meneruskan kesombongan. “Sikap ramah yang kau lihat itu hanyalah bagian kecil dari Indonesia. Kami memang ramah, tapi kami tahu cara melindungi diri.” “Wait! Apa kau mau mengatakan bahwa aku terlihat berbahaya?” Tentu saja tidak. Pria ini tampan dan ramah. Di sini satu-satunya yang berbahaya adalah hatiku sendiri. Apakah ini saatnya untuk sedikit melunak tentang sebuah batasan. Ketika aku s
"Secara resmi, aku tidak bisa membantumu,” Felix membuatku kecewa. “Tapi, sebagai teman aku bisa. Apakah kau tertarik untuk berteman denganku?” Berteman dengan seorang pria. Itu terdengar menakutkan. Kalau kutaik ke belakang, betapa banyak hal yang berubah dalam diriku. Sejak kelulusanku dari salah satu Universitas ternama di Madinah lebih dari sepuluh tahun lalu, aku hanya mengenal Fattan yang kemudian menjadi suamiku. Lalu saat badai perceraian memaksaku untuk terdampar di kehidupan yang berbeda, aku tertambat pada satu pria yaitu Aslan. Pria yang menjadi pedukung utama kebangkitanku. Tanpa kusadari bahwa Fattan juga menjadi pria yang telah mengajarkan aku banyak hal. Sekaligus menjadi orang yang menjembatani aku masuk ke dunia baru. Lalu dalam beberapa hari aku sudah berkenalan dengan dua pria asing. Seperti terlempar dari dalam kotak yang menyimpanku selama ini. Apakah ini salah? Aku hanya memikirkan tentang berdamai pada hatiku sendiri. “Tentu saja, kita bisa menjadi teman,”
"Maaf, Nadine. Aku tidak bermaksud….” “Pergilah!” usir Nadine kasar. Seketika aku menutup pintu dan berjalan cepat menuju ke pavilyun tempat tinggalku. Beberapa langkah aku mendengar suara pintu dibanting di belakangku. Nadine atau pria itu jelas kaget dan marah dengan kehadiranku. Telingaku memanas dan dadaku bergemuruh. Nyaris seperti berlari tanpa melihat lagi jalan yang aku lewati. Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Beruntung orang itu secepat kilat menangkapku dengan tangan kokohnya sehingga kami tidak terjatuh. Aku semakin gemetar. Ini jelas tangan seorang pria. Tapi, dia tenang dan tidak berbahaya. Sesaat kumantapkan berdiriku dan berusaha menjauh perlahan. “Ssst! Kembalilah ke pavilyunmu dan beristirahat.” Suaranya perlahan tapi menenangkan. “Andre?” “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Tapi, ini adalah Bali, Adina. Kota di mana malam pun berisi banyak kesenangan. Jaga dirimu baik-baik.” “Aku… aku baik-baik saja di luar sana. Justru aku terkejut karena meli
"Ketika aku mengatakan padamu bahwa kematian adalah tentang kematian dan bukan tentang orang lain yang menyebabkan, aku serius tentang itu, Adina.” Mata Nadine kosong menatap botol susu yang ada di hadapannya. Aku melihat ke arah yang sama. Sulit menebak apa yang sedang dia pikirkan. Tapi, mata itu jelas menggambarkan apa yang dia rasakan. Sebuah kesakitan dan penderitaan. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dia teriakan tentang kebahagiaan dan kebebasan. Ada sebuah penjara di hati Nadine. Sesuatu yang berusaha dia tutupi dengan kepalsuan. Sekarang Nadine justru berbicara tentang kematian. Ini sangat membingungkan. Orang seperti Nadine seharusnya tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu. Mereka hanya peduli dengan kehidupan dan bukan kehidupan setelah kematian. Nadine meneguk habis susu di depannya dan berdiri. Dia mengusap cepat butiran air di sudut matanya. “Di pavilyun ini tidak ada dapur. Hanya mesin pembuat kopi, microwave dan kulkas. Jika kau ingin memas