"Di-dia siapa, Bi?" tanyaku pada suamiku dengan terbata. Wanita dengan gamis panjang tapi tanpa nibar. Dia tersenyum manis padaku mengenalkan dirinya yang bernama Ratini.
"Dia itu yang pernah Abi ceritakan, Mi. Bukankah Umi sudah setuju Abi nikah lagi?" jawaban enteng dari Abi membuat perih luka ini.
Aku tak menyangka bakal secepat ini, terlebih saat ini aku baru saja melahirkan anak pertama kami, lima hari yang lalu.
"Dia akan membantu Umi mengurus dedek bayi kita, juga mengurus Abi. Jadi biar lebih cepat, besok Abi akan menikah dengannya. Makanya malam ini Abi bawa dia kesini, karena pernikahannya kita adakan di sini agar Umi juga ikut menyaksikan!"
Perih! Rasa hati ini begitu perih, bahkan luka caesar saja belum benar-benar kering, berjalan masih dibantu Mbok Sumi, ART yang juga menjabat sebagai dukun bayi.
Aku tak dapat lagi berkata, bahkan air mata pun telah kering karena sakitnya yang begitu tiba-tiba. Memang Mas Usman pernah bilang akan menikah lagi, tapi... Aku pikir tak secepat ini, kupikir nanti ketika aku telah sedikit lemah karena menua.
"Loh, Cah ayu. Kok nangis?" tanya Mbok Sumi ketika masuk kekamarku untuk memandikan Arjuna--bayiku.
"Nggak baik habis melahirkan menangis, terlebih Cah Ayu lahiran lewat caesar, bisa-bisa lukanya nggak cepat kering loh!" lagi, Mbok Sumi berkata. Tak kuindahkan sedikitpun ucapannya.
"Udah toh, Diem, Cah Ayu! Eman-eman Ayumu nggo nangis koyo ngono!"
"Sakit, Mbok! Sakit... "
"Mana yang sakit, Cah Ayu?" Mbok Sumi meraba bagian tubuhku.
"Di sini, Mbok!" aku menunjuk pada hatiku, ngilu sekali hati ini.
"Aduh!" seketika aku merasakan bekas jahitan operasiku berdenyut nyeri, saat kupegangi terlihat basah.
"Darah!" Aku dan Mbok Sumi sama-sama berkata.
"Ya Allah, Cah Ayu!" Bik Sumi berteriak, rasa sakit di bagian itu kian bertambah. Aku semakin pusing dan berat. Rasanya pandangan mulai kabur, bumi perputar, aku tak tahan sekali, semakin gelap dan gelap hingga akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.
****
Nitt... Nitt... Nitt....
Terdengar berbagai alat nyaring ditelingaku, mataku ingin terbuka tapi rasanya susah sekali, lengket seperti lem.
"Dokter, lihat ini!" entah suara siapa aku sendiri tak mengenalinya, deru langkah sepatu mendekat.
"Dia tadi bergerak, Dok."
Ada sesuatu dingin menempel di dadaku.
"Alhamdulilahhh... Setelah tiga minggu akhirnya bisa melewati masa kritisnya."
"Iya, Dok!"
"Nanti kabari keluarganya, ini kabar yang baik!"
"Baik, Dok!"
Tiga minggu, aku terbaring tak berdaya selama tiga minggu? Aku tak habis pikir, aku kira hanya pingsan beberapa saat. Teringat jelas tentang kejadian.
"Apakah Abi membatalkan pernikahannya karena aku koma?" pikiran itu berkecambuk dalam hati.
Jika benar Abi membatalkan pernikahannya, aku sangat bersyukur telah melewati masa koma ini. Setidaknya dengan koma aku tak jadi di madu.
Pintu dibuka, terdengar langkah kaki masuk kedalam ruangan.
"Alhamdulilahh... Akhirnya Salma bisa melewati masa kritisnya ya, Dek! Semoga ia secepatnya sadar." suara yang sangat aku hafal. Ya itu suara Abi, tapi... Siapa yang ia panggil Dek!
Aku sengaja tak ingin membuka mata, biar mereka tahu kalau kondisiku sudah normal tapi tak tahu kalau aku bisa mendengar dan sadar.
"Iya, Bi. Semoga Mbak Salma cepat sadar dan sehat kembali hingga kita bisa pergi honeymoon ke Raja Ampat. Udah tiga minggu honeymoon kita ketunda!"
Jederrr!
Jadi saat aku terbaring koma, Abi tak membatalkan rencana pernikahannya itu! Sungguh, sangata keterlaluan mereka, di saat aku meregang nyawa mereka malah melaksanakan hari bahagia! Ya Allah... Kenapa tak kau cabut saja nyawaku waktu itu!
Sekuat tenaga aku tahan agar sampai aku mengeluarkan air mata. Hatiku kelu, menahan gejolak sakitnya belati menikam hati menoreh luka semakin dalam. Setelah kurasa mereka keluar akhirnya aku tumpahkan sesaknya dada, aku menangis dalam ranjang rumah sakit.
Segera aku berhenti dan menghapus air mataku. Aku tak boleh selemah ini! Kamu punya Juna yang masih butuh sosok Ibu. Aku harus berlapang dada menerima semua ini tapi... Aku pastikan kalau aku akan membuat dia merasakan apa yang aku rasa. Lihatlah, maduku, akan kuberikan manisnya madu untukmu tanpa terkecuali, seperti apa yang telah kamu lakukan terhadapku.
❤❤❤
Beberapa bulan kemudian
"Bi, lihat ini!" kutunjukan gadis cantik yang kukenal, dia adalah sepupu temanku. Masih muda umurnya baru sekitar 16 tahun.
"Iya, Umi. Kenapa?" tanya Abi yang masih terlihat memegang gadget-nya.
"Abi nggak ingin nikah lagi?" tanyaku dengan mata menyempit.
Seketika Abi menatapku dalam, seolah sedang mencari seongok keyakinan bahwa apa yang aku katakan tidaklah main-main.
"Abi takut tak bisa adil kalau nambah istri lagi, Umi. Sedangkan ini saja Umi dan Dek Ratini masih sering belum adil!" jawab Abi, tapi aku yakin dia hanya butuh sedikit paksaan.
"Kata siapa Abi belum bisa adil? Abi sudah adil kok, cuma kan kalau masalah nafkah batin memang kemauan Umi yang belum siap di sentuh Abi!"
Aku memang belum melayani Abi di ranjang kembali, bukan apa? Aku sudah merasa hilang nafsu dalam melayani suamiku saat aku tahu mereka menikah di saat aku kritis. Tak bisa kah Abi menundanya sebentar saja menunggu aku siuman, bahkan dia tak mengulurnya satu haripun! Itulah yang membuat aku muak padanya untuk melayani urusan itu. Hatiku telah mati dan beku!
"Bi, Umi lihat akhir-akhir ini kan Dik Ratini sakit-sakitan, sedangkan Umi tak bisa menunaikan tugas Umi karena masih trauma atas bekas operasi yang membuat Umi koma selama tiga minggu, jadi... "
"Tapi Dek Ratini kan sakit karena sedang mengandung, Mi."
"Iya Umi tahu, Bi. Tapi Umi lihat dia itu ngidamnya aneh! Nggak mau bau keringat Abi, iya kan? Abi kuat nunggu sampai lahiran! Nggak kan, ya udah sekarang Abi nikahi saja dia. Dia wanita sholehah loh, Bi. Umi mengenalnya."
Akhirnya dengan pelan Abi mengganguk. Yes! Akhirnya pembalasan akan di mulai.
"Abi izin dulu tapi sama Dek Ratini, Ya?"
Aku mengangguk setuju dan tersenyum senang penuh kemenangan, ini saatnya kamu merasakan apa yang kurasa. Tinggal aku mengatur Nita untuk menjadi bonekaku.
~~~•
"Bi, bagaimana? Sudah izin Dik Ratini kah?" tanyaku saat sarapan bertiga, Mbok Sumi masih mondar mandir untuk menyiapkan makanan.Terlihat wajah penasaran Ratini atas apa yang aku katakan kentara."Maaf, Umi. Belum," jawab Abi pelan."Kenapa? Abi takut, apa perlu Umi yang bicara dengan Dik Ratini!"Abi terdiam mungkin dia berat ataupun takut, aku tersemyum sinis, dalam hati kenapa dulu Abi tak takut mengatakan untuk poligami padaku bahkan membawanya kemari saat aku baru saja melahirkan!"Ada apa ini? Ada apa, Umi?" tanya Ratini penasaran. Aku tak segera menjawab."Mbok, mana nasi gorengku?" tanyaku pada Mbok Sumi. Dia bergegas kebelakang dan mengambilkan apa permintaanku."Monggo, Cah Ayu!" Mbok Sumi menghidangkan satu piring penuh nasi goreng yang masih panas. Aromanya pun langsung merebak memenuhi ruangan.&
"Pagi, Abi... " sapaku ketika berada di meja makan, dia tengah sibuk mengembil roti dengan selai coklat tanpa duduk."Pagi," jawabnya singkat sambil terus mengoleskan roti.Aku mengambil tempat duduk, "Abi mau sarapan di jalan?" tanyaku melihat dia yang tengah sibuk tanpa duduk, tak biasanya."Nggak kok, Mi. Ini Abi ambilkan buat Adek, dia ngga mau turun, mau makan di kamar saja katanya.""Owalah, kok Abi nggak ngomong. Sini biar Umi ambilin, Abi kan mesti siap-siap. Kenapa juga masih merepotkan Abi?""Nggak papa, Umi. Biar Abi saja!""Abi yakin? Nanti kalau Abi yang ngantar malah nggak jadi makan lagi karena bau keringat Abi!"Sejenak Abi mencium kanan kiri tubuhnya, wangi sih aroma tubuh Abi, tapi entah kenapa dia akan mual bila berdekatan dengan Suaminya itu! Mungkin itu hukuman atas apa yang telah ia perbuat. Akhirny
"Kok... Kok, Abi nggak ngomong sama Adek dari kemarin?" protes Ratini.Aku hanya tersenyum, berbeda dengan Abi yang sedikit gelagapan. Aku duduk di tepi ranjang, tepat si sebelah kaki Ratini. Kupijit pelan kakinya."Sebenarnya aku sudah suruh Abi bilang dari kemarin, waktu aku tanya itu loh!" ucapku. Ratini terlihat mengangguk."Ih! Abi, kenapa nggak bilang dari kemarin? Terus Abi mau keluar kota berapa hari?" tanyanya lagi.Abi hanya menggaruk kepala."Kan tadi pagi, Umi juga sudah bilang! Kalau Abi itu sibuk. Ya kan, Bi?""I-Iya, Umi. Maafkan Abi ya, Dik!" ucap Abi."Ya udah kalau gitu Umi berangkat dulu ya," pamitku."Abi nganter Umi sebentar!" pamit Abi pada Ratini.Dia seketika mengekor di belakangku. Hingga sampai kedepan.&n
"Ya udah, Nduk! Kita selesaikan masak dulu, masih ada waktu untuk kita ngobrol!" Ami berkata setelah melepas pelukannya dan menghapus airmata.Aku mengangguk dan tersenyum, bagaimanapun dia wanita yang telah menguatkanku selama ini, menjadi pribadi yang tangguh walau belum setangguh para wanita rosulluloh.Kami berdua menikmati masak bersama, hal yang kurindukan beberapa tahun belakangan ini. Yah... Aku sangat merindukan bau asap kompor dan masakanku sendiri. Di rumah Abi, jangankan mau masak, pergi kedapur saja di larang oleh Mbok Sumi dan di protes oleh Abi."Umi... Ngapain kamu kedapur? Tugas Umi itu melayani Abi di kasur." Kata itulah yang selalu ia katakan ketika aku izin untuk kedapur membantu Mbok Sumi. Abi memperlakukanku bak permaisuri, begitu memanjakan apa keinginanku bahkan sampai saat ini. Hanya saja hatiku sudah kelu ketika harus di madu pasca melahirkan."Ayo, Nduk. M
Sampai rumah Ami hari sudah malam, aku merasa benar-benar letih dan langsung membersihkan diri. Kemudian tidur, bahkan Ami membuatkan wedang jahe saja lupa kumunim hingga pagi menjelang."Assalamualaikum, Abi," sapaku lewat seberang telfon."Waalaikumsalam, Gimana Umi. Apa Abah dan Ami sehat?" tanya Abi."Alhamdulilahh, mereka sehat, Bi. Abi ngga ada masalah kan?" tanyaku."Ngga ada Umi, selesaikan dulu urusanmu, lancar kan tanpa kendali? ""Alhamdulilahh lancar, Abi. Semua bisa Umi atasi. Sore ini Umi pulang."Kudengar dari sebrang sana bagaimana Ratini dengan suara manja, seolah menunjukan bahwa dia begitu romantis ketika tak ada aku di sana. Bahkan kudengar dia juga meminta secepatnya untuk menyelesaikan telfonnya."Abi, Umi mau bicara penting. Apa Abi bisa menjauh dulu dari Dik Ratini!
Kuberanjak masuk kedalam rumah, di depan tangga Ratini masih berdiri disana."Kenapa, Dik! Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika di depannya. Dengan santai ia melipat tangan diatas perut."Aku mau jalan-jalan, Mbak. Antar aku ya, sekalian kita shoping! Bukankah keuangan Mbak yang pegang?" tanpa Basa-basi dia meminta.Memang keuangan rumah ini aku yang handle, Abi mempercayakan semuanya padaku atas apa yang keluar masuk tentang uang dari rumah ini."Ini semua tugas Umi, sekalian biar Umi punya kesibukan. Walau itu hanya menghitung pengeluaran dan pemasukan dirumah ini." itulah kata-kata Abi dulu."Tapi, Bi... Aku takut tak amanah!" protesku.Dengan mengusap lembut mayangku yang tak tertutup jilbab karena posisi di kamar bersama Abi, "Aku yakin Umi sangat amanah dan tak kuragukan lagi tentang itu! Abi percaya seratus perse
"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku."Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami."Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu."Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu."Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!""Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tena
"Mbak... Kenapa ya Abi susah sekali di hubungi?" Ratini mendekat kearah di mana aku duduk. Dengan kepala masih tertutup handuk."Kamu ini, Abi kan berangkat untuk urusan bisnis. Kali aja lagi rapat atau apalah! Udahlah ngga usah ganggu konsentrasi Abi. Toh di sini kamu nyaman dan tak kekurangan suatu apapun!" cetusku."Tapi kan aku kepengen VC, Mbak. Nunjukin kalau aku sedang berusaha cantik untuknya nanti ketika pulang!""Ya udah dari pada VC mending cantikmu itu untuk surprise saja! Bagaimana?" ucapku meyakinkannya, "Kalau kamu foto atau VC sama Abi berarti nanti Abi pulang nggak terkejut dong!"Kali ini kutatap tajam manik Ratini, dia berfikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dan tersenyum."Benar juga ya, Mbak! Ya udah deh aku kembali lagi untuk melanjutkan perawatan." dia kembali berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku menggeleng kepala.&nb