"Bi, bagaimana? Sudah izin Dik Ratini kah?" tanyaku saat sarapan bertiga, Mbok Sumi masih mondar mandir untuk menyiapkan makanan.
Terlihat wajah penasaran Ratini atas apa yang aku katakan kentara.
"Maaf, Umi. Belum," jawab Abi pelan.
"Kenapa? Abi takut, apa perlu Umi yang bicara dengan Dik Ratini!"
Abi terdiam mungkin dia berat ataupun takut, aku tersemyum sinis, dalam hati kenapa dulu Abi tak takut mengatakan untuk poligami padaku bahkan membawanya kemari saat aku baru saja melahirkan!
"Ada apa ini? Ada apa, Umi?" tanya Ratini penasaran. Aku tak segera menjawab.
"Mbok, mana nasi gorengku?" tanyaku pada Mbok Sumi. Dia bergegas kebelakang dan mengambilkan apa permintaanku.
"Monggo, Cah Ayu!" Mbok Sumi menghidangkan satu piring penuh nasi goreng yang masih panas. Aromanya pun langsung merebak memenuhi ruangan.
"Dek Ayu juga mau?" tanya Mbok Sumi bertanya pada Ratini.
Uueekk... Tiba-tiba Ratini mual-mual, dan langsung berlari menuju kamar mandi. Abi hampir beranjak ketika tanganku langsung menahannya.
"Abi sudah kesiangan, biar Umi saja!" aku langsung berdiri, sedangkan Abi duduk kembali untuk menyantap makanannya.
Sesuai expetasiku, kalau Ratini pasti akan mual kalau bau bumbu yang menyengat, itulah kenapa aku sengaja meminta Mbok Sumi memasakan aku nasi goreng dengan menambahkan bawang putih lebih banyak.
Kuuyel-uyel lehernya untuk meredakan mualnya, dia masih memegangi perutnya.
"Mbak dan Abi mau ngomong apaan si?" tanya dia ketika sudah berhenti muntah.
"Nanti saja, lebih baik kamu istirahat dulu!" perintahku langsung di anggukan. Apa yang aku katakan tak akan boleh dia membantahnya! Itu kupinta sejak aku kembali dari rumah sakit dan Abi pun menyetujuinya hingga sampai saat ini ketika Ratini bertanya sekali jawabanku tak akan ia pertanyakan lagi, walau mungkin dia belum puas.
Aku kembali kemeja makan, Abi sudah selesai dan beranjak dari duduknya.
"Gimana, Mi. Udah sembuh Adek?" tanya Abi.
"Udah aku suruh Istirahat, Bi. Biasalah namannya saja orang ngidam. Abi tak perlu khawatir, Umi selalu memantaunya."
Abi mengangguk, aku mengantarnya sampai kedepan, bersama kupanggil Arjuna yang tengah di gendong suster.
Abi mencium gemas pipi Arjuna, "Jadi jagoan Abi ya, Sayang! Sebentar lagi Juna punya teman."
Setelah itu Abi masuk mobil dan berjalan menjauh dari rumah. Kubalikkan badan dan melihat Ratini berlari menuju kedepan.
"Abi udah berangkat, lebih baik masuk saja!" ucapku ketus sambil berlalu melewatinya. Membawa Arjuna masuk juga.
****
"Kamu sudah pastikan kan Nita mau?" tanyaku pada Mia lewat sebrang telfon.
"Pasti, Lah. Orang tuanya saja sudah setuju. Lagian dia itu mantan anak ngga bener. Walau usianya masih muda tapi dia itu sudah lepas dan bergaul bebas."
"Oke! Baik, bilang saja padanya. Secepatnya aku akan menjemputnya!"
"Baik, Salma. Tapi... Bagaimana tentang penampilanya. Apa Usman mau kalau dia melihat Nita dengan pakaian yang tak tertutup!" Mia bertanya penuh keraguan.
"Itu aku urus nanti! Aku akan merubahnya menjadi wanita yang terlihat shalehah."
"Baik! Sampai bertemu." Mia menutup telfonnya.
Aku tersenyum, semua sudah sesuai keinginanku. Kita lihat saja, bagaimana kamu merasakan pahitnya madu. Jangan cuma jadi madu, rasakan juga bagaimana rasanya di madu.
Malam hari ketika Abi masuk kekamarku, terlihat dia begitu kuyu, sedang memendam hasrat. Aku yakin dia baru saja mendapat penolakan dari Adik maduku.
"Kenapa, Bi? Kok mukanya kusut gitu!" selidikku.
"Abi tidur di sini ya, Mi. Adek ngga mau tidur bareng Abi. Katanya mual!"
"Ohh.... Tentu, silahkan Abi tidur." Aku langsung memasang tubuh membelakanginya.
"Mi.... "
"Hemm.... "
"Apa Umi masih takut hingga.... "
Sekejab aku dapat menangkap bahwa dia menginginkan sesuatu. Aku segera berbalik dan langsung menarik tubuhku untuk duduk.
"Bi, Abi tahukan bagaimana Umi tergeletak sampai tiga minggu. Bahkan membuat Abi harus menunda honeymoon hanya karena Abi khawatir kalau-kalau Umi hilang nyawa!"
Kulihat nafas berat terhembus dari hidungnya.
"Lagian Abi di kasih solusi nggak mau! Sekarang kaya gini, bagaimana lagi! Padahal dia sudah mau dan orang tuanya setuju. Umi kasian pada keluarganya, Bi. Dia itu kurang mampu, dari pada dia salah jalan memilih jalan pintas tak ada salahnya kan kalau kita menolong. Dapat dua pahala loh, Abi!" sengaja aku buat dia berfikir sejenak.
"Pahala menolong orang miskin dan juga pahala menjauhkan dia dari dosa yang kemungkinan dia lakukan ketika salah jalan! Bukankah tujuan poligami Abi bukan semata karena kecantikan perempuan itu yang artinya karena nafsu!"
Kali ini terlihat Abi menatapku tajam, mungkin dia sudah mulai berfikir.
"Abi kenapa sih takut banget sama Adik Ratini! Lagian tuh yah, Umi nikahkan Abi dengan ABG loh bukan janda tua!" aku pura-pura memanyunkan bibir.
"Bu-bukan begitu, Mi, tapi Abi pernah janji sama Adek kalau Abi tak akan mencarikan madu lain untuknya selain Umi."
Cuihh! Seromantis itukah gombalan Suamiku pada Ratini! Seolah dia tuan putri yang tak mau sakit hati. Bukankah dia hanya seperti selir. Kedudukannya tetap akulah yang tertinggi di rumah ini.
"Terserah Abi! Umi capek!" segera aku tarik selimut untuk menutupi wajahku.
"I-Iya deh, Umi. Abi setuju, tapi bilang sama Adek Ratininya setelah calon pengantinnya di bawa kesini saja, ya. Seperti dulu saat..." aku segera menempelkan telunjuk pada bibir suamiku.
"Oke, Bi. Umi setuju. Besok Umi kesana menjemputnya. Jangan lupa kasih Umi uang cas untuk keluarga mereka agar mempersiapkan segala sesuatunya!"
"Secepat itu, Umi?"
"Bukankah Abi juga sudah tak tahan. Apa Abi mau itunya karatan hingga tak dapat tidur lagi karena kelamaan tak tersalurkan!"
"Ya enggak lah, Mi. Nanti Abi di tinggal dong sama istri-istri Abi!"
"Ya udah nurut atuh! Pokoknya besok Umi langsung On The Way menjemput calon adik madu Umi."
Abi tersenyum tipis, "Terima kasih, Umi!" dikecupnya keningku.
"Sama-sama, Abi. Ini semua awal dari penderitaanmu karena memilih poligami!" tentunya kata-kata itu hanya aku katakan dalam hatiku.
"Selamat malam, Abi!"
~~~~
"Pagi, Abi... " sapaku ketika berada di meja makan, dia tengah sibuk mengembil roti dengan selai coklat tanpa duduk."Pagi," jawabnya singkat sambil terus mengoleskan roti.Aku mengambil tempat duduk, "Abi mau sarapan di jalan?" tanyaku melihat dia yang tengah sibuk tanpa duduk, tak biasanya."Nggak kok, Mi. Ini Abi ambilkan buat Adek, dia ngga mau turun, mau makan di kamar saja katanya.""Owalah, kok Abi nggak ngomong. Sini biar Umi ambilin, Abi kan mesti siap-siap. Kenapa juga masih merepotkan Abi?""Nggak papa, Umi. Biar Abi saja!""Abi yakin? Nanti kalau Abi yang ngantar malah nggak jadi makan lagi karena bau keringat Abi!"Sejenak Abi mencium kanan kiri tubuhnya, wangi sih aroma tubuh Abi, tapi entah kenapa dia akan mual bila berdekatan dengan Suaminya itu! Mungkin itu hukuman atas apa yang telah ia perbuat. Akhirny
"Kok... Kok, Abi nggak ngomong sama Adek dari kemarin?" protes Ratini.Aku hanya tersenyum, berbeda dengan Abi yang sedikit gelagapan. Aku duduk di tepi ranjang, tepat si sebelah kaki Ratini. Kupijit pelan kakinya."Sebenarnya aku sudah suruh Abi bilang dari kemarin, waktu aku tanya itu loh!" ucapku. Ratini terlihat mengangguk."Ih! Abi, kenapa nggak bilang dari kemarin? Terus Abi mau keluar kota berapa hari?" tanyanya lagi.Abi hanya menggaruk kepala."Kan tadi pagi, Umi juga sudah bilang! Kalau Abi itu sibuk. Ya kan, Bi?""I-Iya, Umi. Maafkan Abi ya, Dik!" ucap Abi."Ya udah kalau gitu Umi berangkat dulu ya," pamitku."Abi nganter Umi sebentar!" pamit Abi pada Ratini.Dia seketika mengekor di belakangku. Hingga sampai kedepan.&n
"Ya udah, Nduk! Kita selesaikan masak dulu, masih ada waktu untuk kita ngobrol!" Ami berkata setelah melepas pelukannya dan menghapus airmata.Aku mengangguk dan tersenyum, bagaimanapun dia wanita yang telah menguatkanku selama ini, menjadi pribadi yang tangguh walau belum setangguh para wanita rosulluloh.Kami berdua menikmati masak bersama, hal yang kurindukan beberapa tahun belakangan ini. Yah... Aku sangat merindukan bau asap kompor dan masakanku sendiri. Di rumah Abi, jangankan mau masak, pergi kedapur saja di larang oleh Mbok Sumi dan di protes oleh Abi."Umi... Ngapain kamu kedapur? Tugas Umi itu melayani Abi di kasur." Kata itulah yang selalu ia katakan ketika aku izin untuk kedapur membantu Mbok Sumi. Abi memperlakukanku bak permaisuri, begitu memanjakan apa keinginanku bahkan sampai saat ini. Hanya saja hatiku sudah kelu ketika harus di madu pasca melahirkan."Ayo, Nduk. M
Sampai rumah Ami hari sudah malam, aku merasa benar-benar letih dan langsung membersihkan diri. Kemudian tidur, bahkan Ami membuatkan wedang jahe saja lupa kumunim hingga pagi menjelang."Assalamualaikum, Abi," sapaku lewat seberang telfon."Waalaikumsalam, Gimana Umi. Apa Abah dan Ami sehat?" tanya Abi."Alhamdulilahh, mereka sehat, Bi. Abi ngga ada masalah kan?" tanyaku."Ngga ada Umi, selesaikan dulu urusanmu, lancar kan tanpa kendali? ""Alhamdulilahh lancar, Abi. Semua bisa Umi atasi. Sore ini Umi pulang."Kudengar dari sebrang sana bagaimana Ratini dengan suara manja, seolah menunjukan bahwa dia begitu romantis ketika tak ada aku di sana. Bahkan kudengar dia juga meminta secepatnya untuk menyelesaikan telfonnya."Abi, Umi mau bicara penting. Apa Abi bisa menjauh dulu dari Dik Ratini!
Kuberanjak masuk kedalam rumah, di depan tangga Ratini masih berdiri disana."Kenapa, Dik! Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika di depannya. Dengan santai ia melipat tangan diatas perut."Aku mau jalan-jalan, Mbak. Antar aku ya, sekalian kita shoping! Bukankah keuangan Mbak yang pegang?" tanpa Basa-basi dia meminta.Memang keuangan rumah ini aku yang handle, Abi mempercayakan semuanya padaku atas apa yang keluar masuk tentang uang dari rumah ini."Ini semua tugas Umi, sekalian biar Umi punya kesibukan. Walau itu hanya menghitung pengeluaran dan pemasukan dirumah ini." itulah kata-kata Abi dulu."Tapi, Bi... Aku takut tak amanah!" protesku.Dengan mengusap lembut mayangku yang tak tertutup jilbab karena posisi di kamar bersama Abi, "Aku yakin Umi sangat amanah dan tak kuragukan lagi tentang itu! Abi percaya seratus perse
"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku."Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami."Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu."Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu."Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!""Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tena
"Mbak... Kenapa ya Abi susah sekali di hubungi?" Ratini mendekat kearah di mana aku duduk. Dengan kepala masih tertutup handuk."Kamu ini, Abi kan berangkat untuk urusan bisnis. Kali aja lagi rapat atau apalah! Udahlah ngga usah ganggu konsentrasi Abi. Toh di sini kamu nyaman dan tak kekurangan suatu apapun!" cetusku."Tapi kan aku kepengen VC, Mbak. Nunjukin kalau aku sedang berusaha cantik untuknya nanti ketika pulang!""Ya udah dari pada VC mending cantikmu itu untuk surprise saja! Bagaimana?" ucapku meyakinkannya, "Kalau kamu foto atau VC sama Abi berarti nanti Abi pulang nggak terkejut dong!"Kali ini kutatap tajam manik Ratini, dia berfikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dan tersenyum."Benar juga ya, Mbak! Ya udah deh aku kembali lagi untuk melanjutkan perawatan." dia kembali berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku menggeleng kepala.&nb
Malam semakin larut, aku yang terbangun dan melaksanakan salat malam, tiba-tiba merasa haus dan kebetulan poci yang biasa aku isi dengan air putih ternyata tandas habis. Mau tak mau aku harus turun kebawah mengambilnya. Sebenarnya malas tapi haus ini mendorongku untuk segera turun.Tepat ketika lewat di dekat kamar Ratini, aku mendengar jelas suara musik dugem. Sejenak berhenti untuk menajamkan pendengaran. Tak salahkah yang aku dengar! Aduh, bisa-bisanya dia melalukan semua ini di rumah. Apa kata Abi kalau mendengar musik yang bikin kepala tambah pening itu mengalun keras dirumahnya. Keterlaluan!Aku memilih untuk turun saja dulu, siapa tau ketika kembali Ratini sudah mematikannya. Kuteguk beberapa gelas air putih kemudian mengisi poci dengan penuh. Kembali naik keatas untuk beristirahat. Ternyata nihil, ketika kembali pun suara itu masih terdengar keras, bahkan kali ini di iringi suara tawa dari Ratini. Segera aku ketuk pintuny