"Ya udah, Nduk! Kita selesaikan masak dulu, masih ada waktu untuk kita ngobrol!" Ami berkata setelah melepas pelukannya dan menghapus airmata.
Aku mengangguk dan tersenyum, bagaimanapun dia wanita yang telah menguatkanku selama ini, menjadi pribadi yang tangguh walau belum setangguh para wanita rosulluloh.
Kami berdua menikmati masak bersama, hal yang kurindukan beberapa tahun belakangan ini. Yah... Aku sangat merindukan bau asap kompor dan masakanku sendiri. Di rumah Abi, jangankan mau masak, pergi kedapur saja di larang oleh Mbok Sumi dan di protes oleh Abi.
"Umi... Ngapain kamu kedapur? Tugas Umi itu melayani Abi di kasur." Kata itulah yang selalu ia katakan ketika aku izin untuk kedapur membantu Mbok Sumi. Abi memperlakukanku bak permaisuri, begitu memanjakan apa keinginanku bahkan sampai saat ini. Hanya saja hatiku sudah kelu ketika harus di madu pasca melahirkan.
"Ayo, Nduk. Makan!" teriak Ibu dari arah meja makan. Aku tersenyak kaget karena tengah melamun. Segera kuberanjak menuju arah panggilan.
"Assalamualaikum... " dari luar terdengar suara salam, aku yakin itu Bik Sani, adik Ami yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami.
"Waalaikumsalam.... "
"Bik Sani!" benar dugaanku kalau dia adalah Bik Sani, membawa rantang yang entah isinya apa.
"Salma, Bibik lihat kamu tadi pulang jadi ini bibik bawakan masakan kesukaan kamu! Sayur kulit mlinjo dengan teri." Di bukanya rantang yang tertutup itu.
"Ya Allah, terima kasih, Bik! Di sana ngga pernah masak kaya gini!" ucapku sambil langsung mengambil sendok.
"Ya jelas! Di sana kan kelas sultan, mana mau masak kaya gitu!"
Aku mengangguk-anguk saja karena mulutku sudah di penuhi oleh makanan.
"Enak, Bik. Makasih ya... " aku menyendok lagi dan menyuapkan satu sendok penuh nasi.
"Oh... Ya, Bik. Abdul di rumah nggak?" tanyaku dengan tetap mengunyah.
"Ada tuh di rumah, kenapa?"
"Bilangin nanti jam sebelasan antar aku kesuatu tempat ya!"
"Wah mau di ajak jalan-jalan ini!" ucap Bik Sani.
Aku tersenyum kemudian kembali melahap makanan yang belum habis.
"Nggak kok, Bik. Cuma ada kepentingan sedikit saja!" jawabku kembali.
"Mau kemana toh, Nduk?" kali ini Ami yang bertanya.
"Ada urusan sebentar, Mi. Salma nanti izin pergi ya, mungkin pulang agak malam."
Ami hanya mengangguk, dia kadang pengertian tak mau terlalu ikut campur dalam soal kemana dan di mana aku pergi. Intinya hanya supaya hati-hati dan mendo'akanku, itulah yang lebih penting menurutnya.
****
"Ayo, Dul. Kita berangkat!" perintahku ketika melihat Abdul sudah bersiap. Segera ia meraih kunci mobil dan mulai menghidupkan mesin.
"Mau ketempat siapa kita, Mbak?" tanya Abdul penasaran.
"Kerumah teman, Dul! Kamu ingat Mila kan teman sekolahku dulu?" ia mengangguk.
Sebelumnya aku telah mengabari Mila bahwa aku akan sampai ketika waktu dhuhur. Dia pun bilang kalau keluarga Nita sudah siap menerima kedatanganku.
"Udah Adzan, mampir dulu kalau ada masjid atau mushala." Abdul mengangguk mengerti.
"Assalamualaikum... " ucapku pada sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah Mila.
"Waalaikumsalam, Neng Salma, Ya?" tanya perempuan separuh baya.
"Iya, Bu." Kucium tangan beliau.
"Salma kamu sudah sampai!" dari luar terdengar suara Mila yang baru saja masuk rumah.
"Iya, Ini baru saja!" jawabku.
"Ayo, Neng. Sini masuk!" kembali wanita itu menyuruhku masuk.
"Panggil dia Umi, Bik!" kata Mila.
"Oh maaf, Umi. Abis masih muda banget masih pantes di panggil Neng!"
"Ngga papa, Bu! Suka-suka Ibu saja panggil saya siapa! Lah wong sama saja cuma manusia biasa, kok!" jawabku sambil tersenyum.
"Oh ya kita bahas saja apa yang membuat kami datang kesini! Pasti Mila sudah memberi tahukan kepentingan saya datang!"
"Iya... Sudah sedikit banyak Mila memberi tahu, saya pikir semua hanya lelucon saja! Sungguh kami sudah bingung, hidup di lilit hutang akibat sakit-sakitan suami." Kulihat mata Ibunya Nita mulai berembun.
"Dia meninggal tiga bulan yang lalu, semua karena Nita yang menambah sakit Bapaknya!" ada nada emosi di matanya.
"Maksud Ibu?"
"Suamiku itu stres melihat kelakuan Nita yang makin liar! Tak terkendali dalam bergaul, membuat kami malu, apalagi sakit bapaknya itu lambung kronis yang nggak boleh terlalu banyak pikiran!"
Aku menghela nafas berat, bagaimanapun orang tua akan kecewa melihat anak perempuannya sudah tak terkendali.
"Jadi sebelum, Umi mengambil langkah untuk menjadikan dia madu Umi, alangkah lebih baik dipikirkan dulu!" kali ini si Ibu tertunduk. Ada raut kebingungan.
"Apa saya boleh bertemu dengan Nita? Ibu sudah bicarakan perihal ini kan?"
"Silahkan, Umi. Dia sedang berada di kamar, dia sih sudah setuju. Semenjak Bapaknya meninggal dan kami meninggalkan hutang banyak tiap hari kupojokan untuk mencari pekerjaan! Ya hasilnya seperti itu, dia frustasi hingga kadang hanya mengurung diri di kamarnya."
Aku mengangguk mengerti, inilah kenapa Mila menyarankan dia ketika aku menyuruh mencarikan madu lagi untuk Abi.
Kumasuk kamar yang terlihat begitu sempit, hanya ada tempat tidur kecil nan usang yang terlihat begitu ringkih.
"Nita!" sapaku pada gadis dengan tubuh kecil namun cukup tinggi. Dia menoleh.
Kami berbincang cukup lama, mengenal dan mendalami sosok Nita, sebenarnya dia gadis yang polos. Hanya saja aku rasa dia sudah bergaul dengan bebas.
"Hanya itu syarat yang harus aku penuhi, Mbak?" tanyanya ketika aku selesai memberi arahan dan aturan yang akan dia lakukan ketika sudah menjadi maduku.
"Iya, mudah bukan? Tapi kita akan ada perjanjian semua itu, hitam di atas putih!" dia mengangguk setuju.
Aku kembali kedepan di mana ada Ibunya Nita, kuletakkan uang yang sudah kubawa untuk membayar hutang-hutang keluarga Nita. Tak lupa juga uang untuk mempersiapkan pernikahannya. Semua berjumplah total 100 juta. Masalah mahar dan lain-lain nanti akan jadi urusan Abi.
Binar bahagia terlihat dari wajah Ibunya Nita, bahkan berterima kasih sampai hampir bersujud. Aku justru merasa tak enak hati. Seolah aku malaikat penolong. Ya... Malaikat penolong yang meminta imbalan membalas dendam atas perlakuan maduku itu!
Kusuruh Mila untuk membelikan beberapa baju syari'i. Tak perlu bercadar karena Abi Usman juga tak menyuruh istri-istrinya untuk menggunakannya. Aku menggunakan semua atas keinginanku sendiri.
"Baik, akan aku laksanakan sesuai permintaanmu, akan kuubah dia menjadi layaknya bidadari agar terpesona dengan Nita saat awal jumpa nanti!" Mila antusias.
"Sip... Aku percaya sama kamu, kalau kurang nanti aku tranfer." Aku merogoh tas kecilku mengeluarkan sesuatu.
"Berikan ini pada Nita! Jangan sampai lupa saat malam pertama mereka!"
Mila tersenyum mengerti. Akupun beranjak pulang kerumah karena sudah larut malam. Besok sore harus sudah kembali.
Semoga semua lancar sesuai keinginanku!
~~~~~
Sampai rumah Ami hari sudah malam, aku merasa benar-benar letih dan langsung membersihkan diri. Kemudian tidur, bahkan Ami membuatkan wedang jahe saja lupa kumunim hingga pagi menjelang."Assalamualaikum, Abi," sapaku lewat seberang telfon."Waalaikumsalam, Gimana Umi. Apa Abah dan Ami sehat?" tanya Abi."Alhamdulilahh, mereka sehat, Bi. Abi ngga ada masalah kan?" tanyaku."Ngga ada Umi, selesaikan dulu urusanmu, lancar kan tanpa kendali? ""Alhamdulilahh lancar, Abi. Semua bisa Umi atasi. Sore ini Umi pulang."Kudengar dari sebrang sana bagaimana Ratini dengan suara manja, seolah menunjukan bahwa dia begitu romantis ketika tak ada aku di sana. Bahkan kudengar dia juga meminta secepatnya untuk menyelesaikan telfonnya."Abi, Umi mau bicara penting. Apa Abi bisa menjauh dulu dari Dik Ratini!
Kuberanjak masuk kedalam rumah, di depan tangga Ratini masih berdiri disana."Kenapa, Dik! Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika di depannya. Dengan santai ia melipat tangan diatas perut."Aku mau jalan-jalan, Mbak. Antar aku ya, sekalian kita shoping! Bukankah keuangan Mbak yang pegang?" tanpa Basa-basi dia meminta.Memang keuangan rumah ini aku yang handle, Abi mempercayakan semuanya padaku atas apa yang keluar masuk tentang uang dari rumah ini."Ini semua tugas Umi, sekalian biar Umi punya kesibukan. Walau itu hanya menghitung pengeluaran dan pemasukan dirumah ini." itulah kata-kata Abi dulu."Tapi, Bi... Aku takut tak amanah!" protesku.Dengan mengusap lembut mayangku yang tak tertutup jilbab karena posisi di kamar bersama Abi, "Aku yakin Umi sangat amanah dan tak kuragukan lagi tentang itu! Abi percaya seratus perse
"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku."Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami."Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu."Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu."Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!""Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tena
"Mbak... Kenapa ya Abi susah sekali di hubungi?" Ratini mendekat kearah di mana aku duduk. Dengan kepala masih tertutup handuk."Kamu ini, Abi kan berangkat untuk urusan bisnis. Kali aja lagi rapat atau apalah! Udahlah ngga usah ganggu konsentrasi Abi. Toh di sini kamu nyaman dan tak kekurangan suatu apapun!" cetusku."Tapi kan aku kepengen VC, Mbak. Nunjukin kalau aku sedang berusaha cantik untuknya nanti ketika pulang!""Ya udah dari pada VC mending cantikmu itu untuk surprise saja! Bagaimana?" ucapku meyakinkannya, "Kalau kamu foto atau VC sama Abi berarti nanti Abi pulang nggak terkejut dong!"Kali ini kutatap tajam manik Ratini, dia berfikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dan tersenyum."Benar juga ya, Mbak! Ya udah deh aku kembali lagi untuk melanjutkan perawatan." dia kembali berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku menggeleng kepala.&nb
Malam semakin larut, aku yang terbangun dan melaksanakan salat malam, tiba-tiba merasa haus dan kebetulan poci yang biasa aku isi dengan air putih ternyata tandas habis. Mau tak mau aku harus turun kebawah mengambilnya. Sebenarnya malas tapi haus ini mendorongku untuk segera turun.Tepat ketika lewat di dekat kamar Ratini, aku mendengar jelas suara musik dugem. Sejenak berhenti untuk menajamkan pendengaran. Tak salahkah yang aku dengar! Aduh, bisa-bisanya dia melalukan semua ini di rumah. Apa kata Abi kalau mendengar musik yang bikin kepala tambah pening itu mengalun keras dirumahnya. Keterlaluan!Aku memilih untuk turun saja dulu, siapa tau ketika kembali Ratini sudah mematikannya. Kuteguk beberapa gelas air putih kemudian mengisi poci dengan penuh. Kembali naik keatas untuk beristirahat. Ternyata nihil, ketika kembali pun suara itu masih terdengar keras, bahkan kali ini di iringi suara tawa dari Ratini. Segera aku ketuk pintuny
Aku masih menunggu di kamar, pasti nanti Ratini akan datang kesini karena mengira Abi ada di kamarku. Setengah jam berlalu belum ada yang ketuk pintu, aku keluar dan kaget ketika melihat Ratini hanya mondar mandir didepan pintu."Kamu ngapain, Dek! Kaya gosokan gitu. Bolak balik di depan pintu kamarku?" tanyaku penasaran."Aku mau ketemu Abi, tapi takut menganggu makanya aku tunggu saja sampai keluar," jawabnya sambil melonggok kekamarku,"Umi, aku sudah cantik belum?"Dia bertanya sambil membenarkan kerudungnya dan merapikan gamis serta sedekit kemudian memegang bulu matanya yang kurasa dia seperti tak enak memakainya."Cantik... Cantik sekali, karena pada kodratnya wanita dilahirkan cantik." aku tersenyum menjawabnya."Alhamdulilahh... Di mana Abi, Umi! Aku sudah sangat merindukannya. Umi jangan egois karena sudah dari tadi pag
"Aww... Sakit!" lengkuhnya memegangi perut."Adek!" teriak Abi segera mendekat, aku dan Adik kedua mendekat. Dari bawah gamisnya terlihat darah segar mengalir."Ayo, Umi. Bantu Abi, ayo, Dek!" ajaknya juga pada Nita. Kami mengangguk dan segera membawa Ratini keluar, memanggil supir yang dengan sigap langsung membukakan pintu.Aku duduk dengan memangku kepala Ratini, dia masih melengkuh kesakitan. Sedangkan Abi meminta kunci karena dia yang akan membawa mobilnya. Duduk di depan bersama Nita.Abi melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kami sendiri was-was. Bahkan terlihat tegang pada wajah Nita yang duduk di depan."Abi... Sakit!" lengkuh Ratini, dalam kondisi seperti ini saja masih manja."Istihfarr, Dik!" ucapku sambil menenangkan tapi tetap. Saja dia tak mau diam, justru tanganya menggapai-gapai jok dimana Abi duduk.
"Sus!" panggilku pada seorang perawat yang mengecek keadaan Ratini."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya dengan sopan."Cuma mau nanya kenapa pasien terus merancau ya?""Ohh... Itu karena dia masih di bawah alam sadar, Bu. Layaknya kita tidur dan kita sedang bermimpi. Terbawa oleh semua kehidupan sehari-hari yang ada di pikirannya!"Aku mengangguk mengerti, setelahnya suster izin meninggalkan ruangan. Kupandangi wajah Ratini yang masih dengan tenangnya terpejam.Ketika aku menjalankan salat, Ratini siuman. Abi lah nama pertama dia cari, aku segera menyelesaikan salatku dan langsung menghampiri Ratini yang telah membuka mata."Mbak, di mana Abi?" tanyanya penasaran."Abi pulang, Dik Nita kurang enak badan!" jawabku.Seketika wajahnya cemberut, menandakan ketidak sukaannya. Dia men