"Aww... Sakit!" lengkuhnya memegangi perut.
"Adek!" teriak Abi segera mendekat, aku dan Adik kedua mendekat. Dari bawah gamisnya terlihat darah segar mengalir.
"Ayo, Umi. Bantu Abi, ayo, Dek!" ajaknya juga pada Nita. Kami mengangguk dan segera membawa Ratini keluar, memanggil supir yang dengan sigap langsung membukakan pintu.
Aku duduk dengan memangku kepala Ratini, dia masih melengkuh kesakitan. Sedangkan Abi meminta kunci karena dia yang akan membawa mobilnya. Duduk di depan bersama Nita.
Abi melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kami sendiri was-was. Bahkan terlihat tegang pada wajah Nita yang duduk di depan.
"Abi... Sakit!" lengkuh Ratini, dalam kondisi seperti ini saja masih manja.
"Istihfarr, Dik!" ucapku sambil menenangkan tapi tetap. Saja dia tak mau diam, justru tanganya menggapai-gapai jok dimana Abi duduk.
"Sus!" panggilku pada seorang perawat yang mengecek keadaan Ratini."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya dengan sopan."Cuma mau nanya kenapa pasien terus merancau ya?""Ohh... Itu karena dia masih di bawah alam sadar, Bu. Layaknya kita tidur dan kita sedang bermimpi. Terbawa oleh semua kehidupan sehari-hari yang ada di pikirannya!"Aku mengangguk mengerti, setelahnya suster izin meninggalkan ruangan. Kupandangi wajah Ratini yang masih dengan tenangnya terpejam.Ketika aku menjalankan salat, Ratini siuman. Abi lah nama pertama dia cari, aku segera menyelesaikan salatku dan langsung menghampiri Ratini yang telah membuka mata."Mbak, di mana Abi?" tanyanya penasaran."Abi pulang, Dik Nita kurang enak badan!" jawabku.Seketika wajahnya cemberut, menandakan ketidak sukaannya. Dia men
Sampai rumah lumayan sudah agak malam, karena kami sempat mampir di sebuah rumah makan sederhana. Kenapa tak di restoran? Itulah uniknya Abi, walau uang melimpah, harta di mana-mana tak membuat dia sombong dan angkuh pada pengusaha kecil. Baginya lebih baik makan di rumah makan biasa asal higenis. Bukan karena pelit, tapi baginya dari pada makan di restoran yang kadang menunya sama tapi harganya lebih tinggi. Lebih baik membantu usaha kecil untuk terus berkembang dengan membelinya."Umi!" panggilnya ketika aku hendak naik keatas."Iya, Bi?" aku menghentikan langkahku."Apa Umi jadi bicara sama Abi?" tanyanya."Kalau Abi punya waktu dan ngga menganggu waktu istirahat Abi.""Nggak kok, Mi! Ayo...!" ajaknya yang langsung merangkul pundakku."Malam ini Abi tidur tempat Umi, Adek tidur aja dulu ya!" perintah Abi pada Nita yang b
"Siapa dia, Umi?" tanya Nita."Entahlah, yang jelas kamu harus waspada, Ratini perempuan licik, dia bagai belut yang sulit di tangkap jadi tak menutup kemungkinan kalau Hendi juga suruhannya bahkan kaki tangannya untuk menyingkirkan kita dari rumah ini. Kita harus berhati-hati!""Iya, Umi.""Baik, aku keluar dulu menemuinya, pergilah istirahat kekamar!" Nita mengangguk dan langsung naik kelantai atas, aku bergegas kedepan untuk menemui Hendi.Seorang laki-laki tinggi dengan postur tergap tengah berdiri dengan tangan di pinggang."Seperti bos saja!" pikirku."Assalamualaikum... Ada yang bisa bantu?" tanyaku basa-basi."Wa-Waalaikumsalam," jawabnya tergagap. Kaget seperti melihat hantu saja!"Aku di sini mau bertemu dengan nyonya di sini!" jawabnya tanpa rasa sungkan.&nb
Sampai rumah Ami hari sudah malam, aku merasa benar-benar letih dan langsung membersihkan diri. Kemudian tidur, bahkan Ami membuatkan wedang jahe saja lupa kumunim hingga pagi menjelang."Assalamualaikum, Abi," sapaku lewat seberang telfon."Waalaikumsalam, Gimana Umi. Apa Abah dan Ami sehat?" tanya Abi."Alhamdulilahh, mereka sehat, Bi. Abi ngga ada masalah kan?" tanyaku."Ngga ada Umi, selesaikan dulu urusanmu, lancar kan tanpa kendali? ""Alhamdulilahh lancar, Abi. Semua bisa Umi atasi. Sore ini Umi pulang."Kudengar dari sebrang sana bagaimana Ratini dengan suara manja, seolah menunjukan bahwa dia begitu romantis ketika tak ada aku di sana. Bahkan kudengar dia juga meminta secepatnya untuk menyelesaikan telfonnya."Abi, Umi mau bicara penting. Apa Abi bisa menjauh dulu dari Dik R
"Baik, Pak! Semua sudah diatur, sekarang Bapak tinggal tunggu saja di resto yang sudah disepakati!" ucap Dirga--Asisten kepercayaanku. Hari ini ada klien yang ingin bertemu membahas saham, meminta agar lebih nyaman untuk bertemu sambil makan siang."Ayo kita berangkat!" ucapku setelah melihat jam menunjukan pukul sebelas siang.Setelah sampai tak berapa lama klienku datang, hasilnya sangat memuaskan, tanpa pikir panjang mereka yang selaku perusahaan Internasional dengan mudah menyetujui semua yang kami tawarkan."Baik, Pak Usman. Saya pergi dulu." kami saling berjabat tangan dan kemudian pergi meninggalkan resto."Dir, tolong beresi semua berkas, saya mau ketoilet dulu!" Dirga mengangguk dan langsung mengerjakan apa yang aku suruh. Baru beberapa langkah aku meninggalkan meja tanpa sengaja aku yang tengah bermain HP menabrak seorang perempuan.Brukk..
"Ada apa, Dik? Katakan!" bujukku pada Nita yang masih dengan wajah ketakutan, Ratini masuk dan ikut nimbrung duduk di sebelah kiri Nita. Kulihat Nita melirik Ratini juga."Katakan, Dik. Ada Umi di sini, Kalau ada orang yang mau jahatin kamu, Umi lah orang pertama yang akan bertindak!" ucapku seraya mengengam tangan Nita agar ketakutannya berkurang."Ta-takut, Umi! Hikz... Hikz.... " sepertinya Nita masih ketakutan, akupun tak ingin memaksanya, kubiarkan dulu agar dia tenang. Kuajak dia Ratini juga keluar, aku tak ingin dia juga menganggu Nita, setidaknya biarkan dia berfikir jernih.Sore hari aku sengaja membuatkan teh aroma therapy untuk Nita, kuketuk pintu. Terlihat dia sudah sedikit agak tenang."Minumlah, ini bisa merilekskan tubuh serta pikiranmu!" kusodorkan padanya.Dia menerima dengan mengucapkan terima kasih, aku sedikit lega melihat dia sudah aga
Aku masih terus mengamati mereka, dari gerak tubuh, Hendi sedang menjelaskan sesuatu, sedangkan Ratini sedang posisi seolah marah. Tak lama kemudian Hendi memegang tangan Ratini, aku kaget dan hanya dapat menutup mulut. Semenit kemudian Hendi merengkuh tubuh Ratini dalam pelukannya."Bagaimana mungkin kakak sepupu semesra itu?" pikirku. Sejurus kemudian aku berinisiatif untuk mengambil ponsel dan merekam tindakan yang di luar nalar itu.Ketika kembali kebalkon, aku tak menemukan lagi kedua sosok itu, sepertinya mereka sudah kembali."Ah! Aku terlambat, harusnya aku dapat bukti bahwa kedekatan mereka bukan kakak beradik tapi sepasang kekasih."***"Umi, nanti malam kita hadiri pesta pernikahan rekan bisnis Abi. Kita berangkat pukul tujuh ya!" ucap Abi saat kami tengah sarapan."Baik, Bi.""Dandan yang cantik permaisuriku!" ucap A
Aku masuk kekamar, siap-siap mendengar apa yang akan terjadi, semoga Abi dapat menemukan orang lain di kamar Ratini. Semenit kemudian masih sepi, aku melangkah maju untuk melepas hijab ketika tiba-tiba pintu tertutup dengan sedikit keras."Astahfirullah...!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kepintu, urung menaikan jilbab."Hendi! Ngapain kamu kesini?!" sergahku, hatiku berdegup kencang, rasanya ingin marah dan mengumpat padanya!Dengan senyum santai di berjalan mendekat kearahku! Aku mundur ketika ia makin dekat. Pikiranku kacau dan tak dapat berfikir jernih, apa yang akan dia lakukan padaku, Ya Allahhh... Berilah perlindungan-Mu."Jangan macam-macam kamu, Hendi!" hardikku lagi sebelum dia melangkah lebih dekat."Tenang, Umi. Kita cuma akan berbicara tentang kesepakatan saja! Aku tahu semua di sini mendapat pengaruh besar di dirimu termasu