Aku berusaha bersikap biasa, Abi masih diam. Tak ada banyak kata seperti biasa, bahkan dia memilih menghindar dariku. Mungkin saja dia masih kecewa atas apa yang telah aku lakukan. Terlebih tenyata Nita memang sudah benar-benar bercerai, aku tahu karena Nita memberitahuku lewat sambungan telfon.
"Sal! Usman akan pergi keluar kota, coba kamu ikutlah!" perintah Umi Sepuh saat kami makan malam.
Kutatap Abi yang masih sibuk makan tanpa terganggu dengan apa yang baru saja disampaikan Umi Sepuh.
"Tapi, Umi... Salma tak ingin jauh dengan Juna dalam waktu lama. Lagian takut juga menganggu Abi." aku tertunduk, masih ada rasa segan pada Abi.
"Usman!" kali ini Umi Sepuh beralih pada Abi.
"Iya, Umi."
"Ajaklah istrimu untuk liburan, honeymoon kedua mungkin!"
"Nanti saja, Umi. Aku pergi untuk urusan bisnis, kalau sampai na
Aku terbengong ketika Abi mengatakan bahwa kemarin sempat bersitegang merebutkan Nita. Kenapa Abi tak mengatakannya? Apakah ini yang membuat Abi semarah itu padaku, hingga merasa aku tak patut di maafkan! Aku menatap satu persatu dari Mila, Nita sampai Abi. Tak terkecuali Bagus. Mereka hanya terdiam dan lebih banyak mengangguk ketika Abi berkata."Sekarang kalau kamu tak percaya, tanyakan saja pada istriku yang merencanakan semua ini jika sungguh aku tak tahu apa-apa!" Abi menatapku."Maaf, Abi! Aku juga minta maaf, kemarin aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai abdi negara dan melindungi Nita yang notabennya masih di bawah umur. Jadi saat aku ketahui bahwa Nita sudah menikah di usianya yang masih belum genap 17 tahun, kami melakukan investigasi."Jadi Bagus ini seorang polisi? Pantas saja tubuh dia begitu atletis."Sekali lagi maafkanku, Bi! Yang menyeret kedalam rana hukum."
"Sudah... Ayo kita pergi mengantar Ami dulu, nanti kita bicarakan setelah pulang!" Abi kali ini berkata tenang. Mungkin hanya menutupi saja, aku yakin dia sedang tak baik-baik saja.Aku mengangguk dan keluar, semua sudah siap untuk pergi mengantar Ami kepembaringan terakhir. Bahkan Abi meminta untuk mengantikan orang yang telah siap menopang keranda Ami.Aku dipapah Bik Sani yang juga tak surut tangisnya mengantar kepergian Ami. Sungguh aku tak kuat melihat Ami untuk terakhir kalinya. Saat tubuh Ami dimasukan keliang lahat, aku kembali tergugu, rasanya sesak sekali melihat orang yang telah merawatku dari kecil kini pergi untuk selamanya. Belum lagi aku sempat membalas jasa-jasanya.Abah terlihat tegar, walau aku tahu dia juga sangat kehilangan Ami. Karena selama ini dialah yang telah menemani hari-harinya. Sedangkan aku? Anak satu-satunya jauh darinya. Hingga kadang mereka mengeluh kesepian. Ya Allahhh.
Dengan rasa berdebar aku masih terus memandang pada mobil Abi yang baru datang, karena memang semua kaca yang hitam membuat kami tak tahu apakah Abi sendiri atau orang lain.Pak Sobri keluar lebih dulu dari sisi kemudi. Kalau Pak Sobri saja sudah boleh pulang berarti?Pak Sobri membuka pintu sisi belakang, dari samping ada Bagus yang keluar dan belakang Bagus Abi-lah yang menampakan wajahnya."Umi sepuh!" pekiku melihat wanita yang baru saja pintunya dibukakan oleh Pak Sobri.Aku langsung berlari mendekat, rasa haruku tak dapat kutahan lagi."Umi Sepuh baik-baik saja?" tanyaku khawatir pada wanita itu.Dia tersenyum, "aku baik-baik saja, Sal.""Syukurlah, Umi. Salma sangat khawatir.""Tentulah seperti itu, orang yang sudah menganggap Umi sebagai orang tuanya pasti akan sangat mengkh
Abi berhenti sejenak, melihat di mana tengah berdiri Ratini dan Hendi. Sedangkan Umi Sepuh terlihat duduk dengan tatapan sendu.Ada apa lagi ini? Batinku. Abi melangkah dengan pelan. Mendekat pada Umi Sepuh yang tengah terduduk."Akhirnya Abi pulang juga! Hai... Mba, gimana kabarnya?" Ratini berbasa basi menanyaiku. Aku sangat yakin jika mereka berdua ada maksud tertentu."Mau apa kamu kesini?" cetus Abi dengan tatapan tak suka.Ratini justru tersenyum, dia seolah sedang mengejek dengan pertanyaan Abi."Senang ya... Sekarang jadi istri satu-satunya Abi Usman sang Sultan!" Ratini berjalan mengitariku. Apa maunya?"Katakan, ada apa kalian datang kesini!" kali ini aku bersuara sedikit lantang."Duh...duh.... Sepertinya dua pasang suami istri ini sudah tak sabar untuk berganti nasib!" Dengan sombong R
Kami melangkah menuju mushala rumah sakit, Umi Sepuh terus saja mengandeng tanganku tanpa terlepas."Kita akan berdo'a disana, meminta pada sang pencipta agar Usman baik-baik saja!" Umi Sepuh berkata yang aku jawab dengan anggukan saja.Setelah salat dan berdo'a, Umi Sepuh membalikan badannya. Dia menatapku sendu."Apa kamu menyesal telah menikah dengan anakku, Sal?" tanya Umi Sepuh tiba-tiba.Aku menggelengkan kepala, "tidak sama sekali, Umi. Salma yakin semua yang terjadi pada Salma adalah garis tuhan yang telah tertuliskan bahkan sebelum Salma lahir.""Selama ini Usman tak pernah memberimu kebahagian, mungkin semua inilah karmanya. Aku sendiri begitu sedih dengan semua ini, apalagi kamu yang telah tersakiti.""Sedih itu manusiawi, Umi. Namun bukan berarti menyesal dan merutuki nasib. Salma ikhlas menjalani semua ini."
"Di-dia siapa, Bi?" tanyaku pada suamiku dengan terbata. Wanita dengan gamis panjang tapi tanpa nibar. Dia tersenyum manis padaku mengenalkan dirinya yang bernama Ratini."Dia itu yang pernah Abi ceritakan, Mi. Bukankah Umi sudah setuju Abi nikah lagi?" jawaban enteng dari Abi membuat perih luka ini.Aku tak menyangka bakal secepat ini, terlebih saat ini aku baru saja melahirkan anak pertama kami, lima hari yang lalu."Dia akan membantu Umi mengurus dedek bayi kita, juga mengurus Abi. Jadi biar lebih cepat, besok Abi akan menikah dengannya. Makanya malam ini Abi bawa dia kesini, karena pernikahannya kita adakan di sini agar Umi juga ikut menyaksikan!"Perih! Rasa hati ini begitu perih, bahkan luka caesar saja belum benar-benar kering, berjalan masih dibantu Mbok Sumi, ART yang juga menjabat sebagai dukun bayi.Aku tak dapa
"Bi, bagaimana? Sudah izin Dik Ratini kah?" tanyaku saat sarapan bertiga, Mbok Sumi masih mondar mandir untuk menyiapkan makanan.Terlihat wajah penasaran Ratini atas apa yang aku katakan kentara."Maaf, Umi. Belum," jawab Abi pelan."Kenapa? Abi takut, apa perlu Umi yang bicara dengan Dik Ratini!"Abi terdiam mungkin dia berat ataupun takut, aku tersemyum sinis, dalam hati kenapa dulu Abi tak takut mengatakan untuk poligami padaku bahkan membawanya kemari saat aku baru saja melahirkan!"Ada apa ini? Ada apa, Umi?" tanya Ratini penasaran. Aku tak segera menjawab."Mbok, mana nasi gorengku?" tanyaku pada Mbok Sumi. Dia bergegas kebelakang dan mengambilkan apa permintaanku."Monggo, Cah Ayu!" Mbok Sumi menghidangkan satu piring penuh nasi goreng yang masih panas. Aromanya pun langsung merebak memenuhi ruangan.&
"Pagi, Abi... " sapaku ketika berada di meja makan, dia tengah sibuk mengembil roti dengan selai coklat tanpa duduk."Pagi," jawabnya singkat sambil terus mengoleskan roti.Aku mengambil tempat duduk, "Abi mau sarapan di jalan?" tanyaku melihat dia yang tengah sibuk tanpa duduk, tak biasanya."Nggak kok, Mi. Ini Abi ambilkan buat Adek, dia ngga mau turun, mau makan di kamar saja katanya.""Owalah, kok Abi nggak ngomong. Sini biar Umi ambilin, Abi kan mesti siap-siap. Kenapa juga masih merepotkan Abi?""Nggak papa, Umi. Biar Abi saja!""Abi yakin? Nanti kalau Abi yang ngantar malah nggak jadi makan lagi karena bau keringat Abi!"Sejenak Abi mencium kanan kiri tubuhnya, wangi sih aroma tubuh Abi, tapi entah kenapa dia akan mual bila berdekatan dengan Suaminya itu! Mungkin itu hukuman atas apa yang telah ia perbuat. Akhirny