Kuberanjak masuk kedalam rumah, di depan tangga Ratini masih berdiri disana.
"Kenapa, Dik! Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika di depannya. Dengan santai ia melipat tangan diatas perut.
"Aku mau jalan-jalan, Mbak. Antar aku ya, sekalian kita shoping! Bukankah keuangan Mbak yang pegang?" tanpa Basa-basi dia meminta.
Memang keuangan rumah ini aku yang handle, Abi mempercayakan semuanya padaku atas apa yang keluar masuk tentang uang dari rumah ini.
"Ini semua tugas Umi, sekalian biar Umi punya kesibukan. Walau itu hanya menghitung pengeluaran dan pemasukan dirumah ini." itulah kata-kata Abi dulu.
"Tapi, Bi... Aku takut tak amanah!" protesku.
Dengan mengusap lembut mayangku yang tak tertutup jilbab karena posisi di kamar bersama Abi, "Aku yakin Umi sangat amanah dan tak kuragukan lagi tentang itu! Abi percaya seratus persen."
Jawaban Abi membuat aku tak mampu menolaknya. Bahkan brangkas dan kuncinya saja aku yang pegang.
"Memang mau jalan kemana kita?" tanyaku pada Ratini. Mungkin tak ada salahnya untuk menurutinya.
"Aku kepengen beli perhiasan dan beberapa baju, saat nikah Abi nggak kasih banyak perhiasan karena gugup!" pintanya membuat aku mengkerutkan kening.
"Gugup!" hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Kenapa Abi menikahi Ratini dengan gugup. Aku jadi berfikir yang tidak-tidak, apa mungkin Abi telah melakukan zina? Rasanya tak mungkin Abi melakukan itu. Abi paham betul hukum dan haramnya berbuat zina.
"Ayolah, Mbak! Bukankah itu sudah tugasmu untuk menjagaku juga memenuhi semua keinginanku!"
"Kata siapa?" tanyaku penasaran.
"Kata Abi! Gimana mbak masih mau menolak!"
Aku berfikir sejenak, mungkin tak ada salahnya untuk menuruti keinginannya. Mungkin besok dia tak akan lagi dapat menikmati suasana seperti ini dengan mudah.
"Oke, Aku ganti baju dulu ya!" ucapanku di anggukan Ratini yang ikut naik keatas masuk kekamar masing-masing.
Setengah jam kemudian aku keluar, dengan tetap mengunakan gamis syari'i tentunya dengan cadar. Aku kaget ketika Ratini keluar, bukan dia kenakan gamis panjang yang syari'i tapi justru menggunakan celana dan kaos yang mencetak jelas bagian tubuhnya. Juga kerudung yang hanya berada di atas dada.
"Ka-kamu benar mau memakai baju itu, Dek?" tanyaku dengan pandangan heran.
"Ia, Mbak. Memang kenapa? Bukankah ini juga sama berhijab. Tubuh kita masih terbalut pakaian dan tak terexpose!"
Aku mengeleng pelan! Tak mengangka kalau maduku ini minim agama.
"Kalau pakaianmu seperti itu! Itu namanya berhijab tapi telanj@ng, kamu nggak sayang ya sama Abi? Dia itu sekarang suamimu! Kalau kamu saja tak mau menjaga auratmu yang ada nanti kamu menyeret suamimu masuk neraka. Lagian kalau seperti itu penampilanmu, kehormatan Abi dipertaruhkan olehmu." Kukatakan panjang lebar agar dia mengerti, dia hanya memanyunkan bibirnya lima senti.
"Padahal ini keinginan orok loh, Mbak! Bukan keinginanku." Dia berdengus kesal.
"Aku nggak percaya itu keinginan debay, mungkin itu karena memang kamu dulu suka berpenampilan seperti itu! Bahkan mungkin lebih." jawabku asal dan meninggalkan dia yang berdiri didekat kamar. Aku memilih untuk turun dulu.
"Aku tunggu di mobil, ganti bajumu dan jangan lama-lama!"
Aku berjalan menyusuri tangga, memikirkan akan ulah maduku ini yang sudah benar-benar memalukan. Kalau saja Umi sepuh tahu bahwa menantu keduanya berpenampilan seperti itu pasti sudah kena semprot dan keluarlah hadist-hadist yang aku sendiri kadang sampai bosan dengarnya.
"Mbak, Nggak panas ya. Berpenampilan seperti itu hanya matanya saja yang kelihatan!" tanyanya ketika sampai di parkiran mobil. Aku tersenyum.
"Aku saja yang hanya seperti ini sudah gerah, Ace mobil dan Ace Mall sama sekali tidak membuatku dingin." dia masih saja terus berargumen.
"Mending merasakan panas di dunia, Dik! Dari pada nanti merasakan panasnya api neraka. Lagian bagiku ini cukup sejuk kok! Kamu kepanasan karena terlalu banyak dosa kali."
Makkjleb pasti kata-kataku. Kulirik wajahnya berubah merah padam, mungkin ingin sekali memakiku, tapi apa yang aku katakan bukankah benar.
Kuturuti saja kemana maunya Ratini pergi, dari mulai ketempat toko baju. Dia membeli sebuah lingerie yang sengaja dia pamerkan keaku. Pikirnya aku akan tergoda dan juga ikut membelinya, dikira aku akan berusaha bersaing dengannya tentang urusan ranjang. Ahh! Kamu Dik, besok sainganmu yang sesungguhnya baru akan datang. Aku tak mau mengotori kehormatanku untuk sekedar caper ke Abi dengan bersaing panas.
Aku diperlakukan bagai kacung, dia menyuruhku membawakan belanjaanya sedangkan dia berbelanja sesuka hati. Aku mencoba diam saja dan menuruti apa kemauannya.
"Mbak aku lapar, kita makan dulu ya!" aku mengangguk saja. Kutelfon Pak Sobri untuk menjemput belanjaan yang kubawa agar di masukan kedalam bagasi dulu.
Kami duduk saling berhadapan dan memesan dua menu yang dimakan di sini juga satu menu untuk di bungkus.
"Gila kamu, Mbak. Kurus-kurus doyan makan juga!" celoteh Ratini ketika aku memesan yang di bungkus.
"Mbak, tolong yang di bungkus didahulukan ya!" perintahku pada pelayan yang langsung dianggukan. Aku tersenyum pada Ratini yang terlihat wajah kebingungan.
Tepat pas makanan yang di bungkus datang Pak Sobri juga sampai. Setelah aku memberikan tas belanjaan, aku juga memberikan makanan itu untuk Pak Sobri.
"Mbak ini! Supir aja di kasih makanan mahal, buang-buang uang saja! Bukankah dia juga sudah dapat gaji." gerutu Ratini.
"Kata siapa buang-buang uang! Tak ada salahnya kita bersedekah. Terlebih dia kan bekerja untuk kita!"
Kali ini Ratini diam, makanan sudah datang. Dia langsung melahapnya. Aku hanya memandang dengan heran.
"Susah bener ya orang bercadar, makan aja belibet begitu!" rancaunya ketika melihat aku yang menyuapkan makanan dengan satu tangan berusaha mengangkat cadar.
Tak kuhiraukan ucapannya, aku cuma berusaha untuk tetap fokus makan. Ketika makan selesai kami beranjak berdiri kemudian tanpa sengaja menabrak seorang perempuan yang tengah berjalan.
"Ma-maaf, ukhti," ucapnya sambil menangkupkan tangan.
"Kamu punya mata nggak si!" tiba-tiba Ratini membentak perempuan tadi.
"Udah-udah, jangan begitu. Ini juga salahku yang sedikit meleng."
"Umi Salma!" pekik perempuan itu. Mungkin mengenaliku dari suaranya.
Aku menyempitkan kening! Berfikir mungkin aku mengenalnya.
"Aku Ratna, Umi. Anaknya tukang londri!"
Sekarang aku baru ingat kalau dia sering datang kerumah untuk mengantar cucian berat. Beberapa kali aku bertemu dengannya.
"Oh! Anaknya Bude ya?" aku biasa memanggil ibunya dengan sebutan Bude.
Dia mengangguk cepat, kemudian tersemyum lebar padaku dan kembali minta maaf.
"Umi sama siapa kesini, cuma sama pelayan itu!" ucapnya sambil menunjuk ke Ratini. Seketika Ratini melebarkan matanya sampai keluar.
"Maaf, Ratna. Dia bukan pelayan, dia adik maduku." Aku berusaha menjelaskan.
"Ohh... Adik madu, tapi kenapa yah berbeda sekali dengan Umi. Mungkin benar kilau berlian tak akan bisa disamakan dengan kilau batu kaca. Upss...! Maaf Umi keceplosan."
==========
"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku."Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami."Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu."Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu."Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!""Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tena
"Mbak... Kenapa ya Abi susah sekali di hubungi?" Ratini mendekat kearah di mana aku duduk. Dengan kepala masih tertutup handuk."Kamu ini, Abi kan berangkat untuk urusan bisnis. Kali aja lagi rapat atau apalah! Udahlah ngga usah ganggu konsentrasi Abi. Toh di sini kamu nyaman dan tak kekurangan suatu apapun!" cetusku."Tapi kan aku kepengen VC, Mbak. Nunjukin kalau aku sedang berusaha cantik untuknya nanti ketika pulang!""Ya udah dari pada VC mending cantikmu itu untuk surprise saja! Bagaimana?" ucapku meyakinkannya, "Kalau kamu foto atau VC sama Abi berarti nanti Abi pulang nggak terkejut dong!"Kali ini kutatap tajam manik Ratini, dia berfikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dan tersenyum."Benar juga ya, Mbak! Ya udah deh aku kembali lagi untuk melanjutkan perawatan." dia kembali berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku menggeleng kepala.&nb
Malam semakin larut, aku yang terbangun dan melaksanakan salat malam, tiba-tiba merasa haus dan kebetulan poci yang biasa aku isi dengan air putih ternyata tandas habis. Mau tak mau aku harus turun kebawah mengambilnya. Sebenarnya malas tapi haus ini mendorongku untuk segera turun.Tepat ketika lewat di dekat kamar Ratini, aku mendengar jelas suara musik dugem. Sejenak berhenti untuk menajamkan pendengaran. Tak salahkah yang aku dengar! Aduh, bisa-bisanya dia melalukan semua ini di rumah. Apa kata Abi kalau mendengar musik yang bikin kepala tambah pening itu mengalun keras dirumahnya. Keterlaluan!Aku memilih untuk turun saja dulu, siapa tau ketika kembali Ratini sudah mematikannya. Kuteguk beberapa gelas air putih kemudian mengisi poci dengan penuh. Kembali naik keatas untuk beristirahat. Ternyata nihil, ketika kembali pun suara itu masih terdengar keras, bahkan kali ini di iringi suara tawa dari Ratini. Segera aku ketuk pintuny
Aku masih menunggu di kamar, pasti nanti Ratini akan datang kesini karena mengira Abi ada di kamarku. Setengah jam berlalu belum ada yang ketuk pintu, aku keluar dan kaget ketika melihat Ratini hanya mondar mandir didepan pintu."Kamu ngapain, Dek! Kaya gosokan gitu. Bolak balik di depan pintu kamarku?" tanyaku penasaran."Aku mau ketemu Abi, tapi takut menganggu makanya aku tunggu saja sampai keluar," jawabnya sambil melonggok kekamarku,"Umi, aku sudah cantik belum?"Dia bertanya sambil membenarkan kerudungnya dan merapikan gamis serta sedekit kemudian memegang bulu matanya yang kurasa dia seperti tak enak memakainya."Cantik... Cantik sekali, karena pada kodratnya wanita dilahirkan cantik." aku tersenyum menjawabnya."Alhamdulilahh... Di mana Abi, Umi! Aku sudah sangat merindukannya. Umi jangan egois karena sudah dari tadi pag
"Aww... Sakit!" lengkuhnya memegangi perut."Adek!" teriak Abi segera mendekat, aku dan Adik kedua mendekat. Dari bawah gamisnya terlihat darah segar mengalir."Ayo, Umi. Bantu Abi, ayo, Dek!" ajaknya juga pada Nita. Kami mengangguk dan segera membawa Ratini keluar, memanggil supir yang dengan sigap langsung membukakan pintu.Aku duduk dengan memangku kepala Ratini, dia masih melengkuh kesakitan. Sedangkan Abi meminta kunci karena dia yang akan membawa mobilnya. Duduk di depan bersama Nita.Abi melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kami sendiri was-was. Bahkan terlihat tegang pada wajah Nita yang duduk di depan."Abi... Sakit!" lengkuh Ratini, dalam kondisi seperti ini saja masih manja."Istihfarr, Dik!" ucapku sambil menenangkan tapi tetap. Saja dia tak mau diam, justru tanganya menggapai-gapai jok dimana Abi duduk.
"Sus!" panggilku pada seorang perawat yang mengecek keadaan Ratini."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya dengan sopan."Cuma mau nanya kenapa pasien terus merancau ya?""Ohh... Itu karena dia masih di bawah alam sadar, Bu. Layaknya kita tidur dan kita sedang bermimpi. Terbawa oleh semua kehidupan sehari-hari yang ada di pikirannya!"Aku mengangguk mengerti, setelahnya suster izin meninggalkan ruangan. Kupandangi wajah Ratini yang masih dengan tenangnya terpejam.Ketika aku menjalankan salat, Ratini siuman. Abi lah nama pertama dia cari, aku segera menyelesaikan salatku dan langsung menghampiri Ratini yang telah membuka mata."Mbak, di mana Abi?" tanyanya penasaran."Abi pulang, Dik Nita kurang enak badan!" jawabku.Seketika wajahnya cemberut, menandakan ketidak sukaannya. Dia men
Sampai rumah lumayan sudah agak malam, karena kami sempat mampir di sebuah rumah makan sederhana. Kenapa tak di restoran? Itulah uniknya Abi, walau uang melimpah, harta di mana-mana tak membuat dia sombong dan angkuh pada pengusaha kecil. Baginya lebih baik makan di rumah makan biasa asal higenis. Bukan karena pelit, tapi baginya dari pada makan di restoran yang kadang menunya sama tapi harganya lebih tinggi. Lebih baik membantu usaha kecil untuk terus berkembang dengan membelinya."Umi!" panggilnya ketika aku hendak naik keatas."Iya, Bi?" aku menghentikan langkahku."Apa Umi jadi bicara sama Abi?" tanyanya."Kalau Abi punya waktu dan ngga menganggu waktu istirahat Abi.""Nggak kok, Mi! Ayo...!" ajaknya yang langsung merangkul pundakku."Malam ini Abi tidur tempat Umi, Adek tidur aja dulu ya!" perintah Abi pada Nita yang b
"Siapa dia, Umi?" tanya Nita."Entahlah, yang jelas kamu harus waspada, Ratini perempuan licik, dia bagai belut yang sulit di tangkap jadi tak menutup kemungkinan kalau Hendi juga suruhannya bahkan kaki tangannya untuk menyingkirkan kita dari rumah ini. Kita harus berhati-hati!""Iya, Umi.""Baik, aku keluar dulu menemuinya, pergilah istirahat kekamar!" Nita mengangguk dan langsung naik kelantai atas, aku bergegas kedepan untuk menemui Hendi.Seorang laki-laki tinggi dengan postur tergap tengah berdiri dengan tangan di pinggang."Seperti bos saja!" pikirku."Assalamualaikum... Ada yang bisa bantu?" tanyaku basa-basi."Wa-Waalaikumsalam," jawabnya tergagap. Kaget seperti melihat hantu saja!"Aku di sini mau bertemu dengan nyonya di sini!" jawabnya tanpa rasa sungkan.&nb