Sampai rumah Ami hari sudah malam, aku merasa benar-benar letih dan langsung membersihkan diri. Kemudian tidur, bahkan Ami membuatkan wedang jahe saja lupa kumunim hingga pagi menjelang.
"Assalamualaikum, Abi," sapaku lewat seberang telfon.
"Waalaikumsalam, Gimana Umi. Apa Abah dan Ami sehat?" tanya Abi.
"Alhamdulilahh, mereka sehat, Bi. Abi ngga ada masalah kan?" tanyaku.
"Ngga ada Umi, selesaikan dulu urusanmu, lancar kan tanpa kendali? "
"Alhamdulilahh lancar, Abi. Semua bisa Umi atasi. Sore ini Umi pulang."
Kudengar dari sebrang sana bagaimana Ratini dengan suara manja, seolah menunjukan bahwa dia begitu romantis ketika tak ada aku di sana. Bahkan kudengar dia juga meminta secepatnya untuk menyelesaikan telfonnya.
"Abi, Umi mau bicara penting. Apa Abi bisa menjauh dulu dari Dik Ratini!"
"Ohh... Iya, Umi. Baiklah!" kudengar Abi beranjak dengan meminta Ratini melepas tangannya. Aku tertawa geli, sebenarnya hal ini bisa aku katakan nanti di rumah tapi sengaja saja biar Ratini kesal dan nggak terlalu caper pada Abi.
Kamu boleh menang hari ini karena telah mengambil hakku, puas-puaskan hari ini bermanja karena besok belum tentu terulang! Lihatlah bagaimana rasanya di madu. Semanis madu kah?
Aku tersenyum puas ketika selesai membicarakan semuanya dengan Abi. Dia tanpa protes tentang hal apapun yang aku katakan. Bahkan dia mendukung ketika kukatakan untuk setelah nikah langsung pulang karena sudah kukatakan kondisi bagaimana rumah Nita yang tak mungkin Abi bisa tinggal di sana.
"Serius bener anak Ami," Kata-kata Ami mengagetkanku.
Aku hanya tersenyum, yang di ikuti Ami duduk di sebelahku.
"Dapat salam dari Abi buat Ami sama Abah."
"Waalaikumsalam... Semoga Usman selalu di beri kesehatan."
"Aamiin... Ami."
Kuminum teh manis yang telah di buatkan Ami, sebenarnya segan kalau di rumah harus selalu di jamu. Apalagi yang menyediakan Ami sendiri, jadi merasa bersalah telah merepotkan mereka, tapi Ami selalu menolak jika aku bantu.
"Ami... Sebenarnya apa yang membuat Ami dan Abah memilih pulang saat aku koma?" aku mulai membuka percakapan yang kemarin sempat terlupa.
Kutatap sekilas wajah letih Ami, dia seolah sedang memendam kepedihan yang dalam. Benarkah Ratini telah menyakiti hati Amiku. Kalau benar aku benar-benar tak terima, dia boleh sakiti hati aku tapi tidak akan aku biarkan menyakiti hati Orang-orang terkasihku.
Setiap kata yang terucap dari mulut Ami seolah belati yang menikam hatiku, sakit sekali! Setega itukah maduku memperlakukan keluargaku, kalau hanya merebut Abi dariku masih bisa aku ikhlaskan, tapi... Dia sama sekali tak menghargai perasaaanku sedikit saja, saat aku tengah pasca persalinan.
Aku meremas gamisku kuat! Merasa terhina sekali dengan madu yang Abi hadirkan, aku sakit hati ketika aku koma mereka memilih tetap melanjutkan pernikahan, sekarang ternyata dia juga menghina orang tuaku! Manusia terbuat dari apa dia? Aku jadi sangat ingin tahu masa lalu dia, tunggulah Ratini! Akan aku bongkar semua hal yang berhubungan denganmu.
"Udah, Ami! Sabar ya, Ami harus kuat dan yakin bahwa anak Ami ini tak seperti yang di tuduhkan, dan Salma akan membongkar siapa sebenarnya dia? Hingga yakin dapat menguasai Abi sepenuhnya!" ucapku sambil memeluk Ami yang masih terisak.
Ibu mana yang kuat mendengar anaknya di biarkan dalam kondisi koma bahkan bersenang-senang diatas penderitaannya. Ternyata aku sadar, hidupku sekarang ini karena do'a-do'a tulus dari orang terkasihku. Sekarang tak ada lagi rasa iba padanya! Hanya dendam yang akan kubalut dengan manis dan tentunya tanpa mengotori tangan!
***
Sore datang juga, aku berkemas karena Pak Sobri sudah datang.
"Nggak mau satu hari di rumah lagi, Nduk?" tanya Ami yang melihat aku sibuk mengemas baju-baju yang tak seberapa.
"Maaf, Ami! Lain kali, ya... Salma cuma izin dua hari sama Abi, berdosa kalau sampai melewati hari."
Kali ini Ami tersenyum dan langsung mengelus jilbabku.
"Usman telah salah jalan, menyakiti wanita shalehah sepertimu!" Ami berkata sengaja aku tak ingin meresponnya. Biarlah, kalau memang dulu ingin sekali jadi wanita sholehah yang hanya aku baktikan hidupku untuk Abi tapi sekarang... Entahlah! Aku jadi wanita pendendam yang dihati telah membatu dan terbakara api.
"Ami, Salma pamit dulu, Ya!" kuraih tangan yang sudah mulai keriput oleh usia.
"Hati-hati ya, Nduk!"
Aku menuju kedepan, di sana juga sudah ada Abah, Abdul dan Bik Sani.
"Bah... Salma pamit dulu, Bik... Salma pamit dan Abdul, aku titip mereka ya!" kusalami satu persatu dari mereka.
"Beres, Bu Bos!" pekik Abdul membuat kami seketika tertawa.
"Hati-hati ya, Nduk! Kabari kalau ada sesuatu." aku mengangguk setuju, setelahnya melangkah pergi menuju mobil yang telah tersedia.
Kulihat mereka semua menatap kepergianku, dengan senyum haru. Aku tau Ami menginginkan aku lebih lama lagi di rumah tapi apalah daya, aku tak punya waktu banyak dan membiarkan maduku terlalu senang bersama suamiku. Terlebih Arjuna juga tak ikut, jadi banyak kegelisahan yang makin kurasakan.
===
"Abi... Nanti bawa Adek jalan-jalan kaya kemarin ya!" ucap Ratini yang kukira dia belum melihat keberadanku yang sudah duduk di meja makan.
"Tapi Abi hari ini sibuk, besok lagi saja ya?" rayu Abi dengan menatap Ratini pekat.
"Boleh nanti Umi antar!" aku menyela membuat dua orang itu kaget.
"Umi... Sudah sampai?" tanya Abi yang langsung mendekat kearahku. Kucium takzim tangan suamiku itu. Berbeda dengan Ratini yang terlihat tak suka dengan kedatanganku.
"Udah, Abi. Sengaja biar pas besok sore Abi berangkat umi sudah sampai dan capeknya hilang untuk gantian menjaga Adik maduku tersayang!" sengaja kutegaskan di kata kerakhir, tapi raut tak suka tetap saja ada pada wajah Ratini. Tunggu saja tanggal mainya sayang! Gumamku dalam hati.
@@@
"Gimana, Mil. Sudah semua?" tanyaku meyakinkan lewat telfon.
"Delapan puluh persen siap, Sal. Tinggal tunggu mempelai laki-lakinya datang besok."
Aku tersenyum senang, Mila mengirim beberapa foto Nita dengan khimar dan gamis. Cantik! Cukup untuk menyaingi Ratini itu!
"Aku juga sudah bawa dia kebidan sesuai anjuranmu!"
"Baik, terima kasih, Mila. Tanpa bantuanmu aku tak bisa membalas sakit hati ini."
Aku tersenyum penuh kemenangan, setelah pulang dari kantor segala sesuatu yang di perlukan untuk Abi aku yang siapkan. Bahkan Ratini yang mengutarakan ingin membantu saja aku larang, dengan alasan tak mau dia kecapaian karena sedang hamil muda.
"Benar Umi nggak mau ngikut?" tanya Abi ketika aku merapikan bajunya.
"Kepengen ikut si, tapi kasian kan harus ninggal Adik di rumah sendirian!" ucapku berkilah.
"Memang Umi itu luar biasa, dapat menyayangi Adik madu seperti Adiknya sendiri. Terima kasih ya, Mi!" dikecup lembut keningku.
"Ya udah, semua sudah siap. Biar Umi antar."
Langsung saja aku memegang lengan Abi dan berjalan keluar, ternyata di luar Ratini juga sudah menunggu.
"Hati-hati ya, Bi!"
Kami melambaikan tangan melepas kepergian suamiku. Terlihat Ratini melegos ketika Abi sudah berlalu hilang dan pintu gerbang kembali di tutup.
Dengan langkah mengejek dia meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu.
"Silahkan ejek aku sepuasmu! Besok kamu lah yang akan aku ejek!" senyumku sinis, mengingat akan hadirnya madu lain dirumah ini.
Berbahagialah untuk hari ini! Karena besok akan ada pembayaran atas air mataku yang telah tumpah.
==!!!==!!!==
Kuberanjak masuk kedalam rumah, di depan tangga Ratini masih berdiri disana."Kenapa, Dik! Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika di depannya. Dengan santai ia melipat tangan diatas perut."Aku mau jalan-jalan, Mbak. Antar aku ya, sekalian kita shoping! Bukankah keuangan Mbak yang pegang?" tanpa Basa-basi dia meminta.Memang keuangan rumah ini aku yang handle, Abi mempercayakan semuanya padaku atas apa yang keluar masuk tentang uang dari rumah ini."Ini semua tugas Umi, sekalian biar Umi punya kesibukan. Walau itu hanya menghitung pengeluaran dan pemasukan dirumah ini." itulah kata-kata Abi dulu."Tapi, Bi... Aku takut tak amanah!" protesku.Dengan mengusap lembut mayangku yang tak tertutup jilbab karena posisi di kamar bersama Abi, "Aku yakin Umi sangat amanah dan tak kuragukan lagi tentang itu! Abi percaya seratus perse
"Apa kamu bilang!" Ratini mendekat kearah Ratna, membuat otomatis Ratna bersembunyi di belakangku."Udah-udah!" perintahku pada Ratini yang tengah ingin mengapai Ratna. Rasanya malu sekali banyak mata tertuju pada kami."Awas kamu ya! Kusuruh Abi biar menghajarmu sekalian berhenti langganan loundry ditempatmu!" Ratini masih mengomel, tak perdulikan puluhan pasang mata menatapnya. Segera aku gandeng dia dan secepatnya pergi dari tempat itu."Lepasin, Mbak! Sakit kali tanganku." rintih Ratini ketika sudah agak jauh dari tempat itu."Kamu ini apa-apaan, Dek!" tanyaku menatapnya, "Kalau sampai ada yang video-in peristiwa tadi, apa mau di kata sama Abi! Bikin malu saja!""Tapi, Mbak! Semua karena ulah dia duluan yang mulai, bilang aku hanya pecahan kaca! Emang mukaku seperti itu!"Aku berusaha mengosok pungung Ratini agar sedikit tena
"Mbak... Kenapa ya Abi susah sekali di hubungi?" Ratini mendekat kearah di mana aku duduk. Dengan kepala masih tertutup handuk."Kamu ini, Abi kan berangkat untuk urusan bisnis. Kali aja lagi rapat atau apalah! Udahlah ngga usah ganggu konsentrasi Abi. Toh di sini kamu nyaman dan tak kekurangan suatu apapun!" cetusku."Tapi kan aku kepengen VC, Mbak. Nunjukin kalau aku sedang berusaha cantik untuknya nanti ketika pulang!""Ya udah dari pada VC mending cantikmu itu untuk surprise saja! Bagaimana?" ucapku meyakinkannya, "Kalau kamu foto atau VC sama Abi berarti nanti Abi pulang nggak terkejut dong!"Kali ini kutatap tajam manik Ratini, dia berfikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dan tersenyum."Benar juga ya, Mbak! Ya udah deh aku kembali lagi untuk melanjutkan perawatan." dia kembali berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku menggeleng kepala.&nb
Malam semakin larut, aku yang terbangun dan melaksanakan salat malam, tiba-tiba merasa haus dan kebetulan poci yang biasa aku isi dengan air putih ternyata tandas habis. Mau tak mau aku harus turun kebawah mengambilnya. Sebenarnya malas tapi haus ini mendorongku untuk segera turun.Tepat ketika lewat di dekat kamar Ratini, aku mendengar jelas suara musik dugem. Sejenak berhenti untuk menajamkan pendengaran. Tak salahkah yang aku dengar! Aduh, bisa-bisanya dia melalukan semua ini di rumah. Apa kata Abi kalau mendengar musik yang bikin kepala tambah pening itu mengalun keras dirumahnya. Keterlaluan!Aku memilih untuk turun saja dulu, siapa tau ketika kembali Ratini sudah mematikannya. Kuteguk beberapa gelas air putih kemudian mengisi poci dengan penuh. Kembali naik keatas untuk beristirahat. Ternyata nihil, ketika kembali pun suara itu masih terdengar keras, bahkan kali ini di iringi suara tawa dari Ratini. Segera aku ketuk pintuny
Aku masih menunggu di kamar, pasti nanti Ratini akan datang kesini karena mengira Abi ada di kamarku. Setengah jam berlalu belum ada yang ketuk pintu, aku keluar dan kaget ketika melihat Ratini hanya mondar mandir didepan pintu."Kamu ngapain, Dek! Kaya gosokan gitu. Bolak balik di depan pintu kamarku?" tanyaku penasaran."Aku mau ketemu Abi, tapi takut menganggu makanya aku tunggu saja sampai keluar," jawabnya sambil melonggok kekamarku,"Umi, aku sudah cantik belum?"Dia bertanya sambil membenarkan kerudungnya dan merapikan gamis serta sedekit kemudian memegang bulu matanya yang kurasa dia seperti tak enak memakainya."Cantik... Cantik sekali, karena pada kodratnya wanita dilahirkan cantik." aku tersenyum menjawabnya."Alhamdulilahh... Di mana Abi, Umi! Aku sudah sangat merindukannya. Umi jangan egois karena sudah dari tadi pag
"Aww... Sakit!" lengkuhnya memegangi perut."Adek!" teriak Abi segera mendekat, aku dan Adik kedua mendekat. Dari bawah gamisnya terlihat darah segar mengalir."Ayo, Umi. Bantu Abi, ayo, Dek!" ajaknya juga pada Nita. Kami mengangguk dan segera membawa Ratini keluar, memanggil supir yang dengan sigap langsung membukakan pintu.Aku duduk dengan memangku kepala Ratini, dia masih melengkuh kesakitan. Sedangkan Abi meminta kunci karena dia yang akan membawa mobilnya. Duduk di depan bersama Nita.Abi melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kami sendiri was-was. Bahkan terlihat tegang pada wajah Nita yang duduk di depan."Abi... Sakit!" lengkuh Ratini, dalam kondisi seperti ini saja masih manja."Istihfarr, Dik!" ucapku sambil menenangkan tapi tetap. Saja dia tak mau diam, justru tanganya menggapai-gapai jok dimana Abi duduk.
"Sus!" panggilku pada seorang perawat yang mengecek keadaan Ratini."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya dengan sopan."Cuma mau nanya kenapa pasien terus merancau ya?""Ohh... Itu karena dia masih di bawah alam sadar, Bu. Layaknya kita tidur dan kita sedang bermimpi. Terbawa oleh semua kehidupan sehari-hari yang ada di pikirannya!"Aku mengangguk mengerti, setelahnya suster izin meninggalkan ruangan. Kupandangi wajah Ratini yang masih dengan tenangnya terpejam.Ketika aku menjalankan salat, Ratini siuman. Abi lah nama pertama dia cari, aku segera menyelesaikan salatku dan langsung menghampiri Ratini yang telah membuka mata."Mbak, di mana Abi?" tanyanya penasaran."Abi pulang, Dik Nita kurang enak badan!" jawabku.Seketika wajahnya cemberut, menandakan ketidak sukaannya. Dia men
Sampai rumah lumayan sudah agak malam, karena kami sempat mampir di sebuah rumah makan sederhana. Kenapa tak di restoran? Itulah uniknya Abi, walau uang melimpah, harta di mana-mana tak membuat dia sombong dan angkuh pada pengusaha kecil. Baginya lebih baik makan di rumah makan biasa asal higenis. Bukan karena pelit, tapi baginya dari pada makan di restoran yang kadang menunya sama tapi harganya lebih tinggi. Lebih baik membantu usaha kecil untuk terus berkembang dengan membelinya."Umi!" panggilnya ketika aku hendak naik keatas."Iya, Bi?" aku menghentikan langkahku."Apa Umi jadi bicara sama Abi?" tanyanya."Kalau Abi punya waktu dan ngga menganggu waktu istirahat Abi.""Nggak kok, Mi! Ayo...!" ajaknya yang langsung merangkul pundakku."Malam ini Abi tidur tempat Umi, Adek tidur aja dulu ya!" perintah Abi pada Nita yang b