"Maaa!" teriak Caitlin kaget akibat tubuhnya terdorong pelan ke depan.
"Sorry, Sayang. Mama kaget jadi ngerem mendadak. Sorry," pungkas Nisa dengan rasa bersalah. Untung saja tidak ada kendaraan lain di belakangnya. Walau dalam kecepatan pelan, tetap saja bahaya.
"Jemput seperti biasa, ya. Love u." Nisa mengusap kepala sang putri saat mobil telah berhenti di parkiran.
"Okay, Ma. Love u too." Caitlin berlari setelah melabuhkan ciuman di pipi sang mama. Dengan cepat ia membaur bersama teman-temannya. Nisa bergegas pulang untuk mengurus Axel dan Ayesha, sebelum berkutat dengan urusan kantor. Jarak dekat antara rumah ke sekolah Caitlin memudahkannya bolak-balik dengan cepat. Sementara jarak dari rumah ke kantor pun terbilang dekat, ia bisa
[Nisa, mas pulang besok. Mau jemput di Bandara?] [Boleh, Mas. Jam berapa?] balasku. Jari-jariku gemetaran saat membalas text demi text. Sakit luar biasa, mengingat Mas Barry baru saja menghabiskan seminggu bersama selingkuhannya di Bangkok. Dan hari ini, ponselnya baru diaktifkan. Lelah, aku sangat lelah dan sakit hati. Taktiknya dengan memintaku berhenti kerja agar fokus urus anak-anak, berhasil. Kini aku tergantung padanya. Termasuk untuk pengobatan ibuku yang menderita penyakit stroke dan ayah yang menderita sakit ginjal sejak beberapa tahun terakhir. Barry menguasai hidupku dan keluargaku.
"Ya, betul, hitam. Jangan salah. Cek baik-baik gambar yang saya kirim." Jangan sampai Amir salah membeli koper, bisa kacau semua rencana, pikir Santoso.Dipilihnya sepuluh gambar yang paling terang. Gambar koper yang tengah ditarik seorang lelaki, masuk ke area bandara Soekarno Hatta. Dirinya harus mengambil gambar cepat, sebelum lelaki itu melewati petugas yang memeriksa tiket lalu koper besar merk ternama itu akan masuk bagasi pesawat."Warna, merk dan ukuran. Harus sama persis. Ingat, sama persis!""Baik, Boss. Aman."Santoso menutup panggilan telepon setelah Amir menyatakan bahwa gambar yang diterimanya melalui aplikasi whatsapp terlihat jelas.Sudah be
"Awasi terus Barry. Setoran terakhir berkurang banyak. Lakukan apa saja yang membuatnya takut." Mister Kong, mengepalkan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang cerutu. Pria asal Indonesia yang kini menetap di Hongkong itu begitu murka. Barry orang kepercayaannya, sejak setahun lalu. Perkenalannya dengan Barry di sebuah kelab di Hongkong, meninggalkan kesan tersendiri. Mister Kong bahkan mengundang Barry agar makan malam bersama keesokan harinya, di sebuah restoran. Pertemuan itu terus berlanjut, seiring dengan seringnya Barry datang ke Hongkong. Saat itu Barry masih datang untuk urusan kantor. Kecocokan di antara keduanya, menjadi awal sebuah transaksi bisnis. Di mata Mister Kong, Barry pria ambisius namun perhitungan, juga cerdas.
"Mas, kita lapor polisi," ujarku dengan tubuh gemetar. Semakin lama koper itu berada di kamarku, semakin ketakutan itu menyergap. "Mas … mas!" Barry tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari wajah wanita di dalam koper itu. "Mas, kita lapor polisi." Pelan kusentuh bahunya. "Eeh … mmmm jangan dulu." "Lho, kok jangan dulu. Nisa nggak mau mas, ada mayat di rumah!" "Tunggu dulu Nisa. Mas harus berpikir jernih." "Nanti saja mikirnya, Mas. Ini jelas-jelas kasus kriminal. Kita harus lapor sekarang, sebelum kita kena imbasnya."
[Dengarkan baik-baik.] Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu. Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka. [Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?] Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita lici
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k