[Dengarkan baik-baik.]
Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu.
Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka.
[Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?]
Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita licik itu, merebut suami orang dan berbangga atas perbuatannya.
[Hehehe … bagaimana dengan Caroline? Saya yakin dia tengah mempersiapkan hadiah spesial buat kamu. Setelah kau hancurkan hidupnya dan anak lelakinya. Saran saya, mundur dari hubunganmu dengan Barry atau hidupmu berakhir sia-sia!]
Caroline terkekeh mendengar suara Nisa mengancam Amanda dengan membawa namanya, bisa dipastikan Amanda kalang kabut mengetahui istri dari kedua lelaki yang dimanfaatkannya, ternyata saling kenal.
Senyum kepuasan menghiasi bibir Caroline, benaknya berkelana menjelajahi rencana selanjutnya.
***
Beberapa bulan lalu, di sebuah restoran, saat masih tinggal di Jakarta.
Caroline akan makan siang sendiri, ketika seorang wanita cantik berusia sekitar 35 tahun, mendatanginya.
"Nama saya Nisa, istri Barry. Ada sesuatu hal penting yang ingin saya bicarakan." Nisa mengulurkan tangan yang disambut Caroline kaku. Sejenak dirinya mengamati Nisa, ia wanita sempurna. Kecantikan khas Asia, kecerdasan dan kekuatan terlihat dari tatapan matanya. Dari bahasanya, bisa ditebak, ada sesuatu yang serius.
"Baiklah, Nisa. Apa tujuanmu datang menemui saya?" Caroline melanjutkan makan siang yang tertunda sejenak.
"Ini tentang Amanda." Nisa berujar dengan suara bergetar. Caroline pernah berada di posisi itu, dulu.
Caroline tidak menunjukkan wajah kaget, ia tetap tenang melanjutkan makannya.
"Dari mana kamu tau tentang saya, Nisa?"
"Itu tidak penting. Yang saya tau, anda dan saya satu kubu. Suami anda dan suami saya, ada dalam jeratan wanita yang sama." Caroline menghentikan kegiatan makannya sejenak, wajahnya mengeras. Nisa bicara tanpa basa basi, ia suka wanita tegas seperti itu.
"Suamimu pasti punya banyaak kelebihan."
Nisa mendelik demi mendengar perkataan Caroline yang diucapkan dengan santai namun yakin.
"Y-yaa, dia tampan," jawab Nisa.
"Dan punya uang?"
"Tentu saja. Uang yang seharusnya menjadi hak anak dan istrinya," geram Nisa.
Tidak heran, wanita seperti Amanda akan memangsa siapa saja semaunya, bila tidak tampan paling tidak lelaki itu harus kaya. Pikir Caroline.
"Saya harap kehadiran saya tidak mengganggu."
Caroline semakin mengagumi Nisa. Ucapannya tegas dan dirinya tidak menunjukkan ekspresi cengeng, apalagi minta dikasihani. Nisa, persis gambaran diri Caroline, saat hidupnya masih sempurna. Saat ia masih bisa tidur nyenyak tanpa mengkhawatirkan di mana sang suami berada.
"Anda …."
"Caroline … panggil saja Carol atau Lin. Usia kita paling terpaut sepuluh tahun."
"Baiklah, Carol. Amanda mempermainkan suami kita."
"Betul. Dan bodohnya, suami kita terpedaya."
Nisa membiarkan Caroline mengunyah makanan dan menelannya, sebelum melanjutkan ucapannya.
"Harus ada yang kita lakukan. Kesabaranku telah mencapai batas akhir. Bila tidak sekarang, aku mungkin tak sanggup bertahan."
"Apa yang akan kita lakukan, Nisa?"
"Saya akan mencari tau siapa Amanda, apakah dirinya hanya kebetulan mendekati suamimu dan suamiku, ataukah ada hal lain yang terselubung."
"Ya, saya pun pernah berpikir yang sama, bagaimana mungkin Amanda tega mengkhianati Jefri yang lebih segalanya-galanya. Mungkin ke orang lain masih masuk akal, tapi ini ... papa Jefry sendiri yang dimangsanya. Apakah memang ada kesengajaan? Apakah sebenarnya Amanda memang mengincar suami saya? Tapi dengan mendekati Jefri terlebih dulu?"
Caroline tidak merasa perlu menjelaskan detil kejadian demi kejadian, karena dirinya yakin, wanita secerdas Nisa, yang telah berani mendatanginya, sudah tau jauh lebih banyak dari apa yang disampaikannya.
Sebagai pengusaha sukses tanah air, kehidupan Tedja—suaminya—tak pernah luput dari incaran pemburu berita. Dengan mudahnya, berita kecelakaan Jefry, putra tunggal Tedja dan Caroline, ditemukan di media cetak maupun elektronik. Begitupun berita tentang apa saja yang terkait bisnis Tedja.
Nisa sendiri, berhasil mengetahui bahwa Amanda ternyata simpanan Tedja, dari penelusuran Adam. Saat Adam membuntuti Amanda suatu hari, dirinya melihat Amanda menuju restoran. Adam mengikuti dengan menyamar sebagai pengunjung dan menempati kursi tidak jauh dari Amanda, dan berpura-pura seperti menunggu seseorang. Awalnya Adam berpikir, Amanda menunggu Barry. Ternyata, apa yang dilihatnya, lebih banyak dari perkiraan.
Tedja datang menghampiri Amanda, lalu mereka menuju ruang privat yang terletak di bagian dalam restoran. Ke sanalah para pelayan membawakan pesanan mereka.
Tedja Sukma Karim, siapa yang tidak mengenalnya. Tapi Adam tidak tertarik memanfaatkan apa yang dilihatnya, dirinya hanya fokus membantu Nisa, Anisa—teman SMA yang telah mencuri hatinya sejak mereka masih berseragam putih abu—.
Beberapa kali, Adam mendapatkan kebersamaan Tedja dan Amanda, mesra. Tidak perlu dijelaskan lagi, ada hubungan khusus di antara keduanya.
Berdasarkan apa yang diketahuinya, Nisa memberanikan diri menemui Caroline, wanita yang selalu tampak anggun dan ceria di hadapan media. Namun, tampak kaku di hadapan Nisa. Tidak ada senyum apalagi tawa. Nisa paham, kehilangan cinta sama dengan hilang separuh nyawa, bahkan mungkin lebih dari separuh.
"Saya tidak ingin hubungan Amanda dengan suami saya terekspose media. Terlalu banyak yang akan dihancurkan."
"Saya paham itu, Carol. Saya pun demikian, Barry sebentar lagi naik jabatan, saya tidak ingin kariernya hancur gara-gara wanita itu. Biar bagaimanapun, dia ayah anak-anak saya. Dan saya tidak ingin mereka mengenal ayahnya dengan label negatif."
"Ini nomor private saya. Bulan depan saya akan pindah ke Singapore. Kau boleh menghubungi kapan saja, tapi ingat hanya ke nomor ini. Dan kau, gunakan nomor privat juga." Nisa menggangguk.
"Satu lagi. Hubungi saya hanya untuk hal yang sangat penting. Sangat penting!"
Ya, hanya perkara penting, seperti hari ini, Nisa mengirimkan rekaman percakapannya dengan Amanda, agar Caroline tau, bahwa Amanda mulai takut hubungannya dengan Tedja, akan diketahui Barry.
Itu artinya, pergerakan Amanda akan terbatas. Entah akhirnya dia akan meninggalkan Tedja atau Barry? Atau bila tidak mempan, Caroline akan memisahkan mereka dengan paksa!
Nisa sudah tau, Caroline merencanakan sesuatu. Entah apa. Kemarahan, bisa membuat seseorang berbuat hal yang di luar logika.
"Ingat, Nisa. Tidak ada jejak komunikasi antara kita. Apapun yang kau lakukan, saya tidak terkait. Begitu juga, apapun yang kulakukan, kau tidak terkait." Nisa mengangguk tanda mengerti. Lalu, sesuatu mengusik hatinya.
"Apa yang kau rencanakan, Carol?"
"Entah, Nisa. Bagiku sekarang, membunuh atau bunuh diri, sama baiknya!"
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema
Rapuh.Kata itu tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat wanita cantik itu menatapku dari seberang meja. Duduk sendirian memegang ponsel. Jari lentik dengan kutek warna peach itu tak henti menggeser layar.Kuseruput secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Mataku memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Bandara Soekarno Hatta, tidak ramai orang seperti biasanya.Di sisi kiri, sepasang suami istri dengan anak balitanya tampak kerepotan mengejar sang anak yang terus ingin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersamoir di samping kursi. Dan, di depanku, wanita cantik berkulit putih yang terlalu mencolok di banding tamu lain.
"Sebuah kesetiaan adalah hal yang mahal, hal itu berarti, sulit menemukan seseorang yang memiliki sifat kesetiaan yang kuat. Hanya orang-orang yang berkelas yang memilikinya, seperti diriku ha ha ha."Ucapan itu masih kuingat, saat aku menasehati seorang teman yang menceritakan tentang perselingkuhannya.Hal yang tak kusadari kemudian, bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat yang sering berubah dan jarang merasa puas dengan apa yang dimilikinya.Dan itu terjadi padaku, aku berubah!Seperti perkataan yang pernah kudengar, jangan coba-coba selingkuh, kau akan ketagihan.Aku mulai gila.
"Apa yang kau lakukan, Nisa?! Nisa!""Memanggil polisi! Apalagi?!" Nisa berteriak kencang. Jari-jarinya terlihat gemetar menekan tombol di layar ponsel."Jangan, Nisa! Jangan!""Kenapa jangan? Singkirkan koper itu! Singkirkan! Sudah cukup semuanya. Mas kira saya nggak tau siapa Amanda? Haa … kalian bersama sejak lama. Akui saja, Mas. Nisa sudah muak."Nisa melempar barang-barang yang ada di dekatnya."Dalam keadaan seperti ini, mas masih nggak mau jujur!""Nisa, Mas tidak ingin menyakiti kamu.""Bukankah selama ini mas s
"Amanda ...! Andini …!"Teriakan histeris Sandy menggema, setelah berita penemuan mayat Amanda tersebar hampir di setiap media cetak maupun elektronik.Matanya nanar menatap tak percaya pada layar televisi 32 inch di depannya. Satu persatu berita diamatinya. Tidak salah, wanita itu adiknya. Polisi sudah mengkonfirmasi kebenaran identitasnya, begitu juga penyebab pematiannya."Tidak mungkin! Manda … tidak mungkin!"Dengan napas memburu, Sandy membanting barang-barang yang ada di dekatnya hingga bertebaran di lantai. Rumah yang di kontrak dirinya sejak setahun terakhir untuk menyimpan barang-barang pribadi tidak jauh dari kediaman Amanda, menjadi saksi kemurkaan dan kesedihan yang berbaur jadi satu.Pertama kali Sandy menangis,