[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]
Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.
Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.
Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!
Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.
Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema
Rapuh.Kata itu tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat wanita cantik itu menatapku dari seberang meja. Duduk sendirian memegang ponsel. Jari lentik dengan kutek warna peach itu tak henti menggeser layar.Kuseruput secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Mataku memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Bandara Soekarno Hatta, tidak ramai orang seperti biasanya.Di sisi kiri, sepasang suami istri dengan anak balitanya tampak kerepotan mengejar sang anak yang terus ingin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersamoir di samping kursi. Dan, di depanku, wanita cantik berkulit putih yang terlalu mencolok di banding tamu lain.
"Sebuah kesetiaan adalah hal yang mahal, hal itu berarti, sulit menemukan seseorang yang memiliki sifat kesetiaan yang kuat. Hanya orang-orang yang berkelas yang memilikinya, seperti diriku ha ha ha."Ucapan itu masih kuingat, saat aku menasehati seorang teman yang menceritakan tentang perselingkuhannya.Hal yang tak kusadari kemudian, bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat yang sering berubah dan jarang merasa puas dengan apa yang dimilikinya.Dan itu terjadi padaku, aku berubah!Seperti perkataan yang pernah kudengar, jangan coba-coba selingkuh, kau akan ketagihan.Aku mulai gila.
"Apa yang kau lakukan, Nisa?! Nisa!""Memanggil polisi! Apalagi?!" Nisa berteriak kencang. Jari-jarinya terlihat gemetar menekan tombol di layar ponsel."Jangan, Nisa! Jangan!""Kenapa jangan? Singkirkan koper itu! Singkirkan! Sudah cukup semuanya. Mas kira saya nggak tau siapa Amanda? Haa … kalian bersama sejak lama. Akui saja, Mas. Nisa sudah muak."Nisa melempar barang-barang yang ada di dekatnya."Dalam keadaan seperti ini, mas masih nggak mau jujur!""Nisa, Mas tidak ingin menyakiti kamu.""Bukankah selama ini mas s
"Amanda ...! Andini …!"Teriakan histeris Sandy menggema, setelah berita penemuan mayat Amanda tersebar hampir di setiap media cetak maupun elektronik.Matanya nanar menatap tak percaya pada layar televisi 32 inch di depannya. Satu persatu berita diamatinya. Tidak salah, wanita itu adiknya. Polisi sudah mengkonfirmasi kebenaran identitasnya, begitu juga penyebab pematiannya."Tidak mungkin! Manda … tidak mungkin!"Dengan napas memburu, Sandy membanting barang-barang yang ada di dekatnya hingga bertebaran di lantai. Rumah yang di kontrak dirinya sejak setahun terakhir untuk menyimpan barang-barang pribadi tidak jauh dari kediaman Amanda, menjadi saksi kemurkaan dan kesedihan yang berbaur jadi satu.Pertama kali Sandy menangis,
"Kau terlibat, Carol?"Setelah mayat Amanda dimakamkan, aku menghubungi Carol via panggilan telepon. Caroline, masih berada di Singapore, menghabiskan waktu hingga akhir tahun. Wanita itu memang lebih senang tinggal di negara Singa itu ketimbang di Jakarta. Menurutnya, di Indonesia terlalu banyak kenangan bersama Jefry. Dan itu, membuatnya semakin terluka.Berita kematian Amanda yang kemudian oleh para pemburu berita dengan cepat dikaitkan dengan sosok pengusaha ternama, Tedja Sukma Karim, menghebohkan tanah air. Apalagi kemudian, beberapa foto bukti kedekatan Tedja dan Amanda tersebar luas."Apa yang kau bicarakan, Nisa?""Gadis itu. Aku yakin beritanya sudah sampai ke telingamu.""Hmmmm … bukankah dia sudah pergi. Apalagi yang har