"Mas, kita lapor polisi," ujarku dengan tubuh gemetar. Semakin lama koper itu berada di kamarku, semakin ketakutan itu menyergap.
"Mas … mas!" Barry tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari wajah wanita di dalam koper itu.
"Mas, kita lapor polisi." Pelan kusentuh bahunya.
"Eeh … mmmm jangan dulu."
"Lho, kok jangan dulu. Nisa nggak mau mas, ada mayat di rumah!"
"Tunggu dulu Nisa. Mas harus berpikir jernih."
"Nanti saja mikirnya, Mas. Ini jelas-jelas kasus kriminal. Kita harus lapor sekarang, sebelum kita kena imbasnya."
"Nisa! Mas bilang tunggu dulu!" Aku tersentak.
Tidak pernah sekalipun selama pernikahan kami, Mas Barry membentakku. Ada apa dengannya?
"Mas kenal dengan wanita itu?" tanyaku, dengan dagu mengarah pada koper.
Tidak ada jawaban dari Barry. Aku menunggu dengan sabar, untuk sebuah pengakuan. Ya, aku memerlukan pengakuan langsung dari Mas Barry.
"Mas, sebaiknya mas jujur. Kenal wanita ini? Kenapa wajah mas tampak takut dan sedih?" Aku ikut berlutut di lantai, menggenggam tangan Barry dan menatapnya lekat. Kesabaranku hampir habis.
"Siapapun dia, kita harus lapor polisi mas. Ini bukan perkara kecil."
"Hhhhhh, dia ... dia … Amanda."
"Siapa Amanda, Mas? Kok mas kenal?" Sesaat aku berharap Barry tidak mengenal wanita itu. Tapi siapa yang bisa lari dari kenyataan, seperti halnya diriku saat ini.
Sepahit apapun, harus kuterima dan kuhadapi.
"Dia … temanku."
"Teman?" Aku mendelik. Kulonggarkan jemari yang menggenggamnya, ada sakit menyeruak mendengar jawabannya. Jawabanmu salah, Mas!
"Ya ... teman. Mas mengenalnya beberapa waktu lalu saat perjalanan ke Bali."
Masih saja berkilah, baiklah, kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti. Kebohongan yang ditutupi dengan kebohongan akan membuahkan tragedi.
Dengan ketenangan yang dipaksakan, kupalingkan wajah ke arah lain, untuk menutupi raut marah. Dalam keadaan seperti inipun Mas Barry masih tidak bisa jujur sepenuhnya akan siapa sosok dalam koper itu.
Tentu saja aku bertanya hanya karena ingin mendengar pengakuan dari lelaki yang kusebut suami, bukan karena aku tidak mengenal wanita itu. Tidak, aku mengenalnya dengan baik. Dia, wanita penghancur hidupku, yang sangat cantik semasa hidupnya bahkan hingga matinya.
***
"Kamu mencintai suami saya?" tanyaku, saat aku sengaja menemui Amanda di sebuah tempat makan siang, tidak jauh dari kantornya, ketika itu. Informasi tentang Amanda kudapat dari Adam yang membuntuti Barry sepulang kantor, beberapa waktu sebelumnya.
Kuamati wajah dan tubuh yang membuat Barry tergila-gila. Wajah oriental berkulit putih, mata bulat hidung mancung dengan pipi tirus. Rambut panjang di cat pirang bergelombang, terurai dengan indahnya.
Hatiku berdesir membayangkan bagaimana Barry memeluk wanita memuakkan itu, lalu mereka akan saling membisikkan kata manis memabukkan.
Memuakkan!
Awalnya Amanda tampak kaget saat aku memperkenalkan diri sebagai istri Barry, lalu sikapnya biasa saja, bahkan mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Seolah apa yang dihadapinya bukan hal serius. Teringat perkataan seorang teman, wanita penggoda jaman sekarang punya nyali di atas rata-rata, hadapi dengan elegan kalau tidak mau kita tambah sakit hati.
"Ya, tentu saja, Mba. Kalau nggak cinta, mana mungkin saya mau jalan sama dia."
"Oke, kalau gitu saya akan melepaskan Barry dan kamu bebas memilikinya."
Amanda menatapku sok polos, lalu memainkan kedua jari yang dilengkapi cincin berlian indah. Apakah cincin itu dari Barry? Huufhh!
"Saya mencintainya, Mba. Bukan ingin memilikinya," cetusnya. Ingin sekali rasanya aku merobek mulut manis bergincu merah itu. Lalu menjambak rambut panjang indah itu, tapi aku harus menahan diri, tak akan wanita itu melihat betapa gusarnya aku.
"Kalau kau tak ingin memilikinya, lepaskan dia. Barry punya anak dan istri. Masih banyak laki-laki single di luar sana yang jauh lebih segala-galanya dari Barry."
"Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?"
What! Bila tak ada banyak orang di sekitar kami, terpaksa kugampar mulut kurang ajar itu.
"Amanda, dengar baik-baik. Saya yakin kau sadar, bahwa apa yang kau lakukan itu salah. Mundurlah sebelum kita semua tersakiti. Bila kau masih tetap menjalin hubungan dengan Barry, saya pastikan kau akan menyesal."
"Mba tidak perlu menceramahi saya tentang apa yang salah dan apa yang benar. Hidup ini kejam, dan saya tidak akan pernah menyesali setiap keputusan yang saya ambil. Kami baik-baik saja, Mba. Saya akan tetap berhubungan dengan Barry, kecuali dia sudah tidak menginginkan saya." Amanda berujar dengan santainya. Gila, wanita itu seperti batu.
"Jangan bilang saya tidak memperingatkanmu! Sayangi nyawamu yang cuma satu itu. Kecuali kamu punya nyawa cadangan!" Akhirnya kesabaranku hilang juga, tidak ada gunanya bicara baik-baik dengan makhluk liar ini, pikirku.
"Mba mengancam saya? Bagaimana kalau Barry tau soal ini? Apa mba pikir saya akan diam saja diancam?"
"Silakan saja, kasi tau Barry."
"Ohya? Yakin hubunganmu dengan Barry akan baik-baik saja bila dia tau mba mengancam saya?"
"Entah ... toh hubungan kami hanya baik karena saya mempertahankannya tetap terlihat baik. Sebaliknya, bila saya menginginkan, hubungan kami tidak akan baik."
Sejenak kupikir, Amanda akan menciut dan takut. Tapi aku salah, sikapnya semakin menjengkelkan.
"Harusnya mba terima saja kenyataan bahwa Barry menginginkan saya. Bukan malah ancam-ancam! Saya akan kasi tau Barry soal ini!"
"Mmmm ... yakin? Apa dia tau, kalau kamu juga simpanan dari …." Sengaja aku menggantung ucapan, untuk memberikan efek kejut. Dan berhasil, wanita itu memucat. Aku yakin dia seketika tau apa yang kumaksud.
"A-apa maksud mba?"
"Pura-pura nggak tau?" Aku terbahak puas.
"Cukup! Cukup! Apa maksud mba?"
Seketika wajah Amanda berubah, ada takut terlihat di binar matanya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Sudah saatnya wajah cantik sombong itu sadar, dirinya hanyalah sampah.
"Hehehe … bagaimana dengan Caroline? Saya yakin dia tengah mempersiapkan hadiah spesial buat kamu. Setelah kau hancurkan hidupnya dan anak lelakinya. Saran saya, mundur dari hubunganmu dengan Barry atau hidupmu berakhir sia-sia!"
"Mba … mba … tunggu!" Amanda memanggil, saat aku beranjak cepat meninggalkan kursi dan bergegas masuk ke mobil.
Di dalam mobil, kukirim rekaman suara percakapanku dengan Amanda, ke sebuah nomor, Caroline.
****
Malang sekali nasibmu, batinku seraya menatap potongan demi potongan tubuh wanita yang kecantikannya sempat membuatku iri. Tidak tampak lagi kepongahan di wajahnya, yang tidak bisa kulupakan, saat dengan lantang ia berkata tentang cinta Barry padanya.
Kesombongan, selalu ada batasnya Amanda. Kau tampak sangat menyedihkan di akhir hidupmu.
[Dengarkan baik-baik.] Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu. Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka. [Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?] Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita lici
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema
Rapuh.Kata itu tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat wanita cantik itu menatapku dari seberang meja. Duduk sendirian memegang ponsel. Jari lentik dengan kutek warna peach itu tak henti menggeser layar.Kuseruput secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Mataku memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Bandara Soekarno Hatta, tidak ramai orang seperti biasanya.Di sisi kiri, sepasang suami istri dengan anak balitanya tampak kerepotan mengejar sang anak yang terus ingin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersamoir di samping kursi. Dan, di depanku, wanita cantik berkulit putih yang terlalu mencolok di banding tamu lain.
"Sebuah kesetiaan adalah hal yang mahal, hal itu berarti, sulit menemukan seseorang yang memiliki sifat kesetiaan yang kuat. Hanya orang-orang yang berkelas yang memilikinya, seperti diriku ha ha ha."Ucapan itu masih kuingat, saat aku menasehati seorang teman yang menceritakan tentang perselingkuhannya.Hal yang tak kusadari kemudian, bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat yang sering berubah dan jarang merasa puas dengan apa yang dimilikinya.Dan itu terjadi padaku, aku berubah!Seperti perkataan yang pernah kudengar, jangan coba-coba selingkuh, kau akan ketagihan.Aku mulai gila.
"Apa yang kau lakukan, Nisa?! Nisa!""Memanggil polisi! Apalagi?!" Nisa berteriak kencang. Jari-jarinya terlihat gemetar menekan tombol di layar ponsel."Jangan, Nisa! Jangan!""Kenapa jangan? Singkirkan koper itu! Singkirkan! Sudah cukup semuanya. Mas kira saya nggak tau siapa Amanda? Haa … kalian bersama sejak lama. Akui saja, Mas. Nisa sudah muak."Nisa melempar barang-barang yang ada di dekatnya."Dalam keadaan seperti ini, mas masih nggak mau jujur!""Nisa, Mas tidak ingin menyakiti kamu.""Bukankah selama ini mas s