"Awasi terus Barry. Setoran terakhir berkurang banyak. Lakukan apa saja yang membuatnya takut."
Mister Kong, mengepalkan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang cerutu. Pria asal Indonesia yang kini menetap di Hongkong itu begitu murka.
Barry orang kepercayaannya, sejak setahun lalu. Perkenalannya dengan Barry di sebuah kelab di Hongkong, meninggalkan kesan tersendiri. Mister Kong bahkan mengundang Barry agar makan malam bersama keesokan harinya, di sebuah restoran. Pertemuan itu terus berlanjut, seiring dengan seringnya Barry datang ke Hongkong. Saat itu Barry masih datang untuk urusan kantor.
Kecocokan di antara keduanya, menjadi awal sebuah transaksi bisnis. Di mata Mister Kong, Barry pria ambisius namun perhitungan, juga cerdas.
Hanya enam bulan sejak perkenalan mereka, Barry sudah mengemban tugas penting dari Mister Kong. Mengatur penerimaan barang selundupan dari Hongkong, yang masuk melalui Bandara Halim Perdanakusuma.
Barry yang memerlukan uang banyak, untuk membiayai Amanda, dengan senang hati menerima tawaran itu.
Awalnya semua berjalan lancar, Barry menerima imbalan yang besar atas setiap transaksi yang lolos. Bekerjasama dengan temannya yang bekerja di Bandara, barang selundupan berhasil sampai ke tangan para pengedar dengan aman.
Mister Kong semakin mempercayai Barry, bahkan Mister Kong akhirnya mempercayakan pengelolaan sejumlah uangnya yang ada di Indonesia kepada Barry.
Namun ada yang berubah, lama kelamaan Barry mengambil keuntungan lebih dari imbalan yang sudah disepakati. Hal itu memicu kemarahan Mister Kong.
Sudah berkali-kali Mister Kong meminta Barry membayar kembali uang kekurangannya, tapi Barry terus menunda. Pada transaksi penyelundupan terakhir, Mister Kong tidak lagi melibatkan Barry, tapi dirinya bertekad harus memaksa Barry membayar hutangnya.
"Apa perlu kita sakiti keluarganya, Boss?" Raymon—tangan kanannya—berdiri di samping Mister Kong dan mendengarkan dengan seksama.
"Jangan! Saya tidak mau mengotori tangan dengan menyakiti keluarganya."
"Tapi, Boss ...."
"Saya pebisnis. Bukan orang jahat. Saya yakin anak istrinya tidak tau apa-apa."
"Jadi …."
"Huum, harus yang lebih dramatis."
"Info yang saya dapat, Barry punya selingkuhan, Boss."
"Itu bagus, bagus sekali!"
"Jadi …."
"Jadi … jadi … kejar wanita itu. Siapapun namanya, kejar! Teror sampai Barry ketakutan dan mengembalikan semua uang saya!" Mister Kong melempar kursi plastik yang ada di sampingnya hingga menghantam meja di depannya. Cangkir teh jatuh hingga pecah berhamburan.
Raymon bergegas mengambil kursi dan membetulkan letaknya. Ia paham, bila Mister Kong sudah marah, siap-siap barang apa saja di dekatnya akan dilempar ke sembarang tempat. Tetapi di balik sikap kasarnya, Mister Kong adalah pria penyayang keluarga. Mungkin itu sebabnya dirinya tidak ingin menyakiti anak istri Barry, walau informasi tentang mereka sudah lengkap.
"Kamu tau, Raymon. Setiap pria yang punya selingkuhan pasti akan menutup rapat hubungannya dari istrinya, atau orang lain. Kejar wanita itu, siapa tadi namanya …?"
"Amanda, Boss."
"Ya, wanita itu, Amanda. Bila sesuatu terjadi padanya, Barry tidak akan dengan mudah mengaitkannya dengan kita. Tapi pasti dia akan merasa takut. Itu artinya kemungkinan dia bayar hutang, lebih besar. Paham kamu Raymon?"
"Paham, Boss. Betul itu."
Bukan hanya itu, bila dirinya menyakiti keluarga Barry, kemungkinan besar Mister Kong akan berurusan dengan hukum, sangat besar bila keterlibatannya terungkap. Tapi bila mengincar wanita selingkuhannya, Barry pasti akan berusaha menutupi kasusnya.
"Barry, kau akan menyesal telah berani mengkhianatiku!" batin Mister Kong.
***
[Lelaki itu berangkat ke Bangkok bersama selingkuhannya.]
***
"House keeping!" Barry membuka pintu kamar hotel tempatnya menginap di Bangkok, saat mendengar seruan di luar pintu. Tanpa curiga, Barry mempersilakan lelaki berseragam cleaning service itu masuk. Sejenak Barry memperhatikan nama yang tertulis di seragamnya, Farhan. Dari nama dan tampangnya, pria itu tampak seperti tenaga kerja dari Indonesia.
Setengah jam lalu, dirinya memang meminta agar kamar dibersihkan. Seharian mereka menghabiskan waktu di kamar, setelah berhari-hari sebelumnya mengelilingi berbagai tempat wisata di sana. Kini, mereka sangat lelah.
Amanda masih berbaring dengan selimut menutupi tubuh, sementara tangannya sibuk dengan layar ponsel. Bahu yang terbuka, terlihat jelas oleh Farhan yang memandang melalui ekor matanya. Barry lalu merebahkan badan di samping Amanda, seraya menatap layar televisi. Pria itu bertelanjang dada. Sejenak Farhan membatin, Barry memang gagah dan simpatik, tidak heran wanita seperti Amanda menggilainya. Bukan hanya kharismatik, Barry juga pasti memanjakannya dengan uang berlimpah.
Hmmmm, malang sekali istri pria ini! Batinnya.
Farhan mulai membersihkan setiap sudut kamar. Merapikan kursi yang sudah berubah posisi. Mengambil tisu bekas yang bertebaran di lantai, hingga mengangkat piring-piring kotor yang tergeletak di atas meja.
Telinga Farhan jelas mendengar percakapan keduanya.
"Barusan ada telepon dari kantor, Mas. Manda harus masuk kerja lusa, ada rapat penting harus dihadiri seluruh staf."
"Mmmmm ... berarti kamu harus pulang besok?"
"Iya, Mas nggak apa-apa, pulang lusa aja. Sayang tiketnya. Yang penting kan kita sudah menghabiskan waktu bersama."
Tanpa sungkan, Amanda memeluk mesra Barry, sementara Farhan hanya tersenyum menyaksikan keduanya bak anak remaja jatuh cinta.
Semula, Barry dan Amanda berencana pulang lusa, hari Rabu, tetapi Amanda takut disanksi karena sering absen rapat. Dirinya sangat memerlukan statusnya sebagai pekerja kantoran agar status yang sesungguhnya aman.
Sebagai karyawan, uangnya tak seberapa, kebutuhannya sudah dicukupkan oleh Barry, tapi untuk saat ini, itulah yang paling aman.
Begitulah, Amanda pulang sehari lebih dulu, sementara Barry tetap mengikuti jadwal kepulangan yang sudah dibeli jauh hari.
"Ya, sudahlah. Cuma beda sehari. Sayang kalau tiket hangus dua-duanya," pikir Barry saat itu.
***
Tak pernah sedikitpun Barry menyangka, aktivitas keduanya selama di Bangkok, diabadikan seorang pria melalui telepon genggamnya. Bukan hanya di hotel, bahkan di tempat-tempat yang mereka kunjungi, seseorang mengabadikannya.
Seperti hari ini, sedikitpun dirinya tak menyadari, bila Farhan berhasil mengambil beberapa gambar kebersamaan keduanya di tempat tidur.
***
"Terima kasih, ini upahnya." Lelaki berseragam cleaning service itu menyerahkan seragam yang dikenakannya, kepada Farhan yang sebenarnya. Berikut segepok uang.
Farhan, TKI yang bekerja di hotel itu, sejak setahun lalu, sangat senang bisa melayani tamu dari negara asal yang sama.
Tamu itu adalah Sandy. Sudah lima hari ia menginap di kamar persis bersebelahan dengan kamar Barry. Berkali-kali Barry meminta cleaning service membersihkan kamarnya, sesuai info yang didapatnya dari Farhan, petugas sebenarnya yang berhasil disogoknya sejak hari pertama ia menginap di hotel itu.
"Infokan saja ke saya, kalau kamar sebelah memanggil petugas," ujarnya, saat Farhan merapikan kamarnya, lima hari lalu.
"Saya perlu masuk saat keduanya ada di kamar. Hanya beberapa gambar. Jangan khawatir saya tidak akan membuat keributan. Kamu akan dapat imbalan besar dari saya," janji Sandy, saat melihat Farhan meragu.
Setelah hari kelima, barulah Barry meminta petugas datang saat dirinya di kamar. Hari-hari sebelumnya, Barry selalu meminta petugas datang, saat ia dan Amanda sedang keluar kamar.
Kesempatan itu digunakan Sandy untuk menyamar sebagai Farhan, lalu mengirimkan gambar-gambar yang didapatnya ke seseorang di Singapore. Caroline.
***
Sandy tersenyum, saat keesokan hari, dirinya melihat Amanda keluar dari kamar hotel, membawa koper bersamanya, dengan Barry mengikuti dari belakang tanpa membawa koper. Saat itu, Sandy berpura-pura berdiri di pintu kamarnya sembari menelepon seseorang.
"Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi."
Di seberang telepon seorang wanita terkekeh, menyadari panggilan telepon dirinya menyamar sebagai sekretaris direksi di kantor tempat Amanda bekerja, berhasil.
Gambar demi gambar diterimanya dari Sandy.
"Amanda, sebentar lagi waktumu habis. Akan kuambil semua yang pernah kau ambil dariku. Kau akan membayar air mata darah yang kukeluarkan, dengan darahmu sendiri," geramnya.
"Mas, kita lapor polisi," ujarku dengan tubuh gemetar. Semakin lama koper itu berada di kamarku, semakin ketakutan itu menyergap. "Mas … mas!" Barry tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari wajah wanita di dalam koper itu. "Mas, kita lapor polisi." Pelan kusentuh bahunya. "Eeh … mmmm jangan dulu." "Lho, kok jangan dulu. Nisa nggak mau mas, ada mayat di rumah!" "Tunggu dulu Nisa. Mas harus berpikir jernih." "Nanti saja mikirnya, Mas. Ini jelas-jelas kasus kriminal. Kita harus lapor sekarang, sebelum kita kena imbasnya."
[Dengarkan baik-baik.] Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu. Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka. [Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?] Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita lici
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema
Rapuh.Kata itu tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat wanita cantik itu menatapku dari seberang meja. Duduk sendirian memegang ponsel. Jari lentik dengan kutek warna peach itu tak henti menggeser layar.Kuseruput secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Mataku memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Bandara Soekarno Hatta, tidak ramai orang seperti biasanya.Di sisi kiri, sepasang suami istri dengan anak balitanya tampak kerepotan mengejar sang anak yang terus ingin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersamoir di samping kursi. Dan, di depanku, wanita cantik berkulit putih yang terlalu mencolok di banding tamu lain.
"Sebuah kesetiaan adalah hal yang mahal, hal itu berarti, sulit menemukan seseorang yang memiliki sifat kesetiaan yang kuat. Hanya orang-orang yang berkelas yang memilikinya, seperti diriku ha ha ha."Ucapan itu masih kuingat, saat aku menasehati seorang teman yang menceritakan tentang perselingkuhannya.Hal yang tak kusadari kemudian, bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat yang sering berubah dan jarang merasa puas dengan apa yang dimilikinya.Dan itu terjadi padaku, aku berubah!Seperti perkataan yang pernah kudengar, jangan coba-coba selingkuh, kau akan ketagihan.Aku mulai gila.
"Maaa!" teriak Caitlin kaget akibat tubuhnya terdorong pelan ke depan. "Sorry, Sayang. Mama kaget jadi ngerem mendadak. Sorry," pungkas Nisa dengan rasa bersalah. Untung saja tidak ada kendaraan lain di belakangnya. Walau dalam kecepatan pelan, tetap saja bahaya. "Jemput seperti biasa, ya. Love u." Nisa mengusap kepala sang putri saat mobil telah berhenti di parkiran. "Okay, Ma. Love u too." Caitlin berlari setelah melabuhkan ciuman di pipi sang mama. Dengan cepat ia membaur bersama teman-temannya. Nisa bergegas pulang untuk mengurus Axel dan Ayesha, sebelum berkutat dengan urusan kantor. Jarak dekat antara rumah ke sekolah Caitlin memudahkannya bolak-balik dengan cepat. Sementara jarak dari rumah ke kantor pun terbilang dekat, ia bisa
"Nisa, jangan lupa nanti malam." Pesan dari ibu mengingatkan Nisa akan pentingnya kehadiran dirinya nanti malam di kediaman nenek. Setelah mengirimkan jawaban bahwa ia pasti berangkat, Nisa kembali diselimuti ingatan tentang masa kemarin.Nisa berusaha membuang potongan demi potongan peristiwa yang berkelebat di benaknya. Betapa lelah dirinya bertarung dengan hati selama berbulan-bulan, tanpa jalan keluar tanpa penghiburan akan kesesakan hingga memilih jalan nekat. Merencanakan pembalasan dendam atas perbuatan sang suami.Wajah cantik Amanda kini berada di tempat yang pantas. Seringai puas bersamaan raut kesedihan mencuat di wajah Nisa.Barry dan Amanda telah mengubahnya dari seorang wanita lembut yang bahkan takut menyakiti cicak, menjadi seo
Hari terus berganti namun ingatan akan potongan tubuh dalam koper di rumah Nisa tampaknya betah bersemayam di benak orang-orang.Sayup terdengar bisik yang mengganggap kebodohan Barry terperosok ke dalam jurang celaka pasti ada peran Nisa sebagai istri. Media ikut membubuhkan narasi yang memantik berbagai analisa, ya tentu saja. Walau kemudian berita penangkapan Barry, Santoso dan Amir ramai menghiasi layar kaca dan media cetak, tetap ada saja pihak yang mengiring opini seakan kesalahan seorang suami adalah wujud kegagalan sang istri. Opini yang sangat dibenci Nisa namun angin terus mengembuskan kabar hingga membentuk rantai kisah yang tiada ujungnya."Ooo itu istrinya. Cantik sebenarnya tapi buat laki-laki gak cukup cuma cantik," cibir mereka dengan nada mencela. Tidak semua laki-laki begitu, ingin Nisa men
"Apa yang kau pikirkan?"Aku menghampiri Caroline yang sedang duduk di sebuah kursi taman, tidak jauh dari komplek perumahan yang dihuninya."Hanya memikirkan apa yang sudah terjadi.""Menurutmu apakah semua orang sudah mendapatkan keadilan?""Entah. Versi keadilan bagi setiap orang berbeda. Bahkan seorang pembunuh yang dihukum mati akan merasa belum tentu adil, dia punya hak hidup. Bagi keluarga korban, sekalipun pelaku pembunuhan di hukum mati, tidak dapat mengembalikan nyawa yang hilang. Keadilan itu relatif."Aku terdiam. Betul, sekalipun Amanda sudah mati, Tedja mendekam di penjara, Jefry-nya Caroline tak kan kembali. Barry di pen
Ijin menggunakan toilet, Nisa beranjak ke sisi rumah bagian dalam. Tak terlihat siapapun di lorong rumah besar dan mewah itu. Lalu, sepasang tangan kokoh menarik tangannya dan berhenti di balik tembok yang menghalangi pandangan pekerja atau bahkan Caroline, yang mungkin lewat."Apa apaan ini?" Nisa tersentak. Sejenak ketakutan menderanya."Ssstttt ...."Lelaki itu meletakkan telunjuk pada bibirnya pertanda meminta Nisa agar diam."Kau siapa, Nisa. Ya namamu Nisa, bukan? Saya tidak akan pernah lupa.""Harusnya saya yang bertanya, kau siapa? Kenapa bisa ada di pemakaman g
Beberapa bulan lalu, pada saat pemakaman Amanda."Kau siapa?"Pemakaman Amanda yang dilakukan di tempat pemakaman umum, oleh pihak kepolisian, hanya dihadiri oleh beberapa orang, termasuk Nisa. Panas menyengat, Nisa memutuskan untuk berteduh di bawah pohon rindang, sembari menunggu acara pemakaman usai. Sebagai saksi, dirinya diperbolehkan hadir di tempat tersebut. Walaupun dirinya sangat membenci Amanda, tapi hati kecilnya meminta dia agar hadir. Apalagi setelah ditelusuri, Amanda ternyata tidak punya keluarga. Toh tidak rugi apa-apa, pikir Nisa kala itu.Hal yang mengherankan, sejak awal kedatangan jenazah, seorang lelaki berpakaian serba hitam, berkaca mata hitam dan mengenakan topi, terlihat memantau aktivitas petugas pemakaman, dari
*Di penghujung sore, Adam dan Nisa bertemu di sebuah kedai kopi tidak jauh dari kantor Adam. Tempat itu nyaman, tapi tidak ramai pengunjung. Duduk menikmati kopi atau camilan, menjadi sangat menyenangkan.Sejak resign, baru kali ini Nisa benar-benar meninggalkan rumah untuk bersantai. Dia rindu masa-masa dirinya menjadi wanita pekerja, kejar-kejaran dengan deadline, lalu ngopi bareng teman kerja seusai jam kantor.Hidup terasa komplit. Rumah tangga bahagia, anak-anak sehat, keuangan cukup, karier terus meningkat. Tidak banyak wanita yang bisa memiliki kehiduoan yang seimbang. Nisa merasa saat itu hidupnya sempurna."Melamun lagi."A
Pelaku pembunuhan Amanda sudah ditangkap. Santoso dan Amir menghadapi ancaman hukuman mati, begitu pula Barry. Teka teki kematian Amanda, sudah terpecahkan."Kau tenang di sana ya, Dek. Para penjahat itu akan menghadapi hukuman yang setimpal. Walau tidak sanggup mengembalikan nyawamu, paling tidak kakak bisa melanjutkan hidup. Banyak hal yang harus ditata kembali."Sandy membuka lembar demi lembar bukti kepemilikan beberapa aset atas nama Amanda. Tidak satupun yang akan dimilikinya. Sesuai amanat Amanda, semua aset akan digunakan untuk amal. Mendirikan panti asuhan, menjual beberapa aset untuk digunakan uangnya membantu keluarga miskin."Hatimu sungguh mulia, Dek. Kakak bangga pernah memilikimu." Sandy mengusap hidungnya yang basah
Polisi bekerja keras mengkaji kasus mutilasi terhadap Amanda, wanita cantik kekasih Barry dan Tedja. Dua lelaki yang sama-sama telah beristri. Semakin digali, semakin banyak fakta baru mengejutkan bermunculan.Diketahui, ternyata Amir pernah bekerja sebagai porter di Bandara Soetta, dan di sanalah ia berkenalan dengan Sidik—yang bertugas sebagai pengawas kamera keamanan—lelaki berkulit sawo matang, pria beranak satu. Mereka masih berkomunikasi sekalipun Amir sudah tidak bekerja di tempat yang sama.Saat menerima orderan pembunuhan dan mendapatkan detail kedatangan Barry, mereka menyusun skenario bersama. Sidik-lah yang bertugas mematikan kamera pengawas, yang untungnya ada rekaman asli dari sisi lain yang belum dibuang Sidik, hanya di simpan di rumahnya.Banyak orang berpikir dirinya pintar,&