"Ya, betul, hitam. Jangan salah. Cek baik-baik gambar yang saya kirim." Jangan sampai Amir salah membeli koper, bisa kacau semua rencana, pikir Santoso.
Dipilihnya sepuluh gambar yang paling terang. Gambar koper yang tengah ditarik seorang lelaki, masuk ke area bandara Soekarno Hatta. Dirinya harus mengambil gambar cepat, sebelum lelaki itu melewati petugas yang memeriksa tiket lalu koper besar merk ternama itu akan masuk bagasi pesawat.
"Warna, merk dan ukuran. Harus sama persis. Ingat, sama persis!"
"Baik, Boss. Aman."
Santoso menutup panggilan telepon setelah Amir menyatakan bahwa gambar yang diterimanya melalui aplikasi w******p terlihat jelas.
Sudah berbulan-bulan mereka mengincar Barry atas suruhan seorang perempuan yang tidak diketahui identitasnya. Santoso hanya tau, dirinya dibayar 250 juta untuk operasi ini. Uang muka sebesar 50 juta sudah diterimanya pada sebuah transaksi penyerahan tas di pinggir jalan raya Taman Kota, Bumi Serpong Damai. Tas warna hitam yang diletakkan dekat ban mobil Avanza yang terparkir di bawah pohon. Sesuai persis dengan pembicaraan lewat panggilan telepon tanpa nama, sehari sebelumnya.
Sedangkan sisa yang 200 juta, akan diterimanya apabila misi selesai tanpa cacat. Tidak sulit baginya, itu hanya pekerjaan receh dengan hasil maksimal.
***
Santoso mempelajari gambar-gambar yang masuk dari pengirim tanpa nama. Seperti perjanjian dengan wanita merekrutnya, dirinya hanya menunggu instruksi, tidak boleh bertanya, kerjakan saja. Santoso kembali mengamati gambar gadis cantik berambut panjang, berkulit putih itu. Usianya sekitar 28 tahun, tampak sangat menggoda.
"Cantik sekali!" Santoso mendengkus.
Wanita cantik itu tinggal di sebuah rumah dua lantai di Kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Rumah bercat putih itu dihuninya bersama seorang assisten rumah tangga.
Sehari-hari, wanita itu bekerja di sebuah kantor Leasing di Ibukota. Berangkat pagi pulang sore. Semua rute yang dilewatinya, sudah dikuasai dengan baik oleh Santoso. Beberapa kali kesempatan baik datang, tapi belum ada instruksi, Santoso masih harus menunggu.
[Hari ini, di lokasi.]
Pesan itu singkat, tapi Santoso sudah tau artinya. Dirinya bergegas menuju kediaman wanita itu bersama Amir, menjelang malam. Tidak mau gegabah, mereka memarkir mobil agak jauh dari rumah itu lalu melanjutkan dengan berjalan kaki.
Wanita itu tampak tertidur lelah di sofa ruang tamu dengan koper masih ada di sebelahnya. Baru satu jam lalu, wanita itu sampai, setelah perjalanan macet dari Bandara menuju rumah. Terlihat jelas dari raut wajahnya, sisa-sisa bahagia yang baru saja dinikmatinya.
Santoso masih mengintai dari balik lemari besar di ruang tamu. Sementara Amir berjaga di sekitar halaman. CCTV sudah dirusak sejak dua hari lalu, saat Amir menyamar sebagai tukang service AC. Bi Sri—assisten rumah tangga—menurut saja saat Amir mengatakan bahwa dirinya mendapat perintah dari bos-nya. Kesempatan itulah yang digunakannya untuk merusak seluruh jaringan CCTV.
Setelah memastikan ART nya sedang berada di lantai dua, secepatnya Santoso beraksi.
Wanita itu menjerit tertahan, saat Santoso dengan cepat membekap mulutnya menggunakan kain yang sudah diolesi obat bius. Dengan sigap dirinya membopong wanita mungil itu ke luar rumah dan memasukkan tubuhnya ke mobil yang telah diambil Amir dua menit sebelumnya. Hanya dalam hitungan detik, keduanya sudah melaju bersama wanita yang pingsan di jok belakang menuju kontrakan keduanya di daerah Serpong.
Sebuah kertas bertulis tangan yang dibuat mirip tulisan tangan wanita itu, sengaja ditinggalkan Santoso di meja tamu. Kertas yang sudah disiapkannya sejak dari kontrakan. Santoso membalut tangannya menggunakan syal wanita itu—yang diambil Amir dua hari lalu—ketika menuliskannya, agar tidak ada jejak dirinya tertinggal.
[Bi Sri, saya berangkat buru-buru sekarang ke Surabaya, papa kecelakaan. Mungkin agak lama, sekalian udah lama nggak pulang.] Begitu isi tulisan itu.
Aman, Art-nya tidak akan curiga.
***
Sepanjang malam wanita itu pingsan, tetapi Santoso masih harus menunggu instruksi.
"Waktunya harus tepat, beberapa jam sebelum B datang!" Perintah terakhir yang diingat Santoso. Bayangan uang banyak akan segera diterimanya, menguatkan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sempurna.
Menjelang jam lima pagi, wanita itu siuman. Santoso sudah mengikat tangan dan melakban mulutnya, hingga tidak mungkin teriakannya terdengar tetangga kontrakan.
Tidak ada belas kasihan di hati keduanya, walau wanita itu tampak menyedihkan. Ia meronta dengan suara tertahan namun saat ini hati nurani Santoso telah mati. Lagipula, ini bukanlah pekerjaan pertama. Sebelumnya selalu sukses, dan mereka bebas melanglang buana hingga kini.
Jam enam pagi. Sebuah text dari pengirim tanpa nama, kembali masuk.
[Sekarang!]
Saat itulah Santoso membenturkan kepala wanita cantik itu ke tembok berkali-kali. Teriakan kesakitan dari mulut tertutup itu, tidak dipedulikannya. Hingga tidak tampak adanya nadi berdenyut di lehernya. Santoso memastikan berkali-kali sebelum menjadikan tubuh indah itu menjadi bagian per bagian.
"Aah, sayang sekali. Ckk!" Amir bersuara.
"Fokus, jangan ada jejak tertinggal."
"Tapi sayang, dilewatin."
"Ingat, kita profesional, lakukan tugas utama sesuai perintah. Jangan sampai napsu sesaat, menggiringmu ke penjara!"
Amir tidak membantah lagi. Santoso memang tegas dan hati-hati dalam pekerjaannya. Dan itulah kunci lolosnya mereka dalam setiap proyek yang ditangani.
Beberapa saat kemudian, mereka telah selesai melakukan tugas paling berat. Santoso membersihkannya, lalu membungkus mayat wanita itu menggunakan kertas wrapping dan memasukkannya ke dalam koper.
Koper besar warna hitam, yang dibeli seminggu sebelumnya.
Sementara Amir membersihkan seluruh bagian rumah yang terkena darah. Walau mereka hanya tinggal berdua di rumah itu, tetap saja harus berjaga-jaga.
Setelah semua rapi, bergegas mereka menuju bandara, dan menunggu momen yang tepat untuk menukar koper itu. Informasi tentang kedatangan Barry terus masuk dari penelepon misterius. Kali ini suara laki-laki.
"Sebentar lagi sampai. Jangan sampai kelewat. Waktu kalian tidak lebih dari 60 detik."
Sudah satu jam, Amir berdiri dengan koper hitamnya di pintu kedatangan. Sementara Santoso berdiri di seberang jalan dekat mobil-mobil yang diparkir. Mereka saling berpandangan dari jauh.
Orang-orang berlalu lalang, tidak ada yang menperhatikannya. Maklum saja, semua orang yang lewat juga dengan penampakan yang sama. Berpakaian rapi mendorong atau menarik koper.
Waktu yang ditunggu tiba.
Terlihat Barry ke luar melewati pintu, lalu berhenti sejenak. Membuka tas kerja dan seperti mencari sesuatu. Tangan kirinya tidak lepas dari koper hitamnya.
Santoso segera menginstruksikan Sofyan yang berada di Jakarta Pusat—temannya—agar menghubungi nomor ponsel Barry. Berpura-pura sebagai agen asuransi yang menawarkan produk.
Hanya 60 detik. Ya mereka hanya perlu 60 detik.
Beruntung, Barry langsung mengangkat panggilan telepon masuk dan menjawab beberapa pertanyaan dari Sofyan. Saat itulah, Santoso menyeberang jalan dengan cepat dan tergesa-gesa menubruk bahu Barry seakan tanpa sengaja. Santoso meminta maaf dan berlalu ke arah kanan. Saat itu, pegangan tangan Barry pada koper terlepas, dan secepatnya Amir yang ada di posisi kiri Barry, menukar koper itu dengan koper berisi tubuh wanita itu.
"Awasi terus Barry. Setoran terakhir berkurang banyak. Lakukan apa saja yang membuatnya takut." Mister Kong, mengepalkan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang cerutu. Pria asal Indonesia yang kini menetap di Hongkong itu begitu murka. Barry orang kepercayaannya, sejak setahun lalu. Perkenalannya dengan Barry di sebuah kelab di Hongkong, meninggalkan kesan tersendiri. Mister Kong bahkan mengundang Barry agar makan malam bersama keesokan harinya, di sebuah restoran. Pertemuan itu terus berlanjut, seiring dengan seringnya Barry datang ke Hongkong. Saat itu Barry masih datang untuk urusan kantor. Kecocokan di antara keduanya, menjadi awal sebuah transaksi bisnis. Di mata Mister Kong, Barry pria ambisius namun perhitungan, juga cerdas.
"Mas, kita lapor polisi," ujarku dengan tubuh gemetar. Semakin lama koper itu berada di kamarku, semakin ketakutan itu menyergap. "Mas … mas!" Barry tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari wajah wanita di dalam koper itu. "Mas, kita lapor polisi." Pelan kusentuh bahunya. "Eeh … mmmm jangan dulu." "Lho, kok jangan dulu. Nisa nggak mau mas, ada mayat di rumah!" "Tunggu dulu Nisa. Mas harus berpikir jernih." "Nanti saja mikirnya, Mas. Ini jelas-jelas kasus kriminal. Kita harus lapor sekarang, sebelum kita kena imbasnya."
[Dengarkan baik-baik.] Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu. Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka. [Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?] Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita lici
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema
Rapuh.Kata itu tepat untuk menggambarkan kesan pertama saat wanita cantik itu menatapku dari seberang meja. Duduk sendirian memegang ponsel. Jari lentik dengan kutek warna peach itu tak henti menggeser layar.Kuseruput secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Mataku memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Bandara Soekarno Hatta, tidak ramai orang seperti biasanya.Di sisi kiri, sepasang suami istri dengan anak balitanya tampak kerepotan mengejar sang anak yang terus ingin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersamoir di samping kursi. Dan, di depanku, wanita cantik berkulit putih yang terlalu mencolok di banding tamu lain.