[Nisa, mas pulang besok. Mau jemput di Bandara?]
[Boleh, Mas. Jam berapa?] balasku.
Jari-jariku gemetaran saat membalas text demi text. Sakit luar biasa, mengingat Mas Barry baru saja menghabiskan seminggu bersama selingkuhannya di Bangkok. Dan hari ini, ponselnya baru diaktifkan.
Lelah, aku sangat lelah dan sakit hati.
Taktiknya dengan memintaku berhenti kerja agar fokus urus anak-anak, berhasil. Kini aku tergantung padanya. Termasuk untuk pengobatan ibuku yang menderita penyakit stroke dan ayah yang menderita sakit ginjal sejak beberapa tahun terakhir.
Barry menguasai hidupku dan keluargaku.
"Biar mas aja yang kerja, Nisa urus anak-anak."
"Tapi, Mas. Nisa harus membantu pengobatan ayah ibu."
"Ah, biar mas aja. Mereka 'kan orangtuaku juga. Penghasilan mas sudah lebih dari cukup untuk membiayai kita semua."
Sesaat kupikir Mas Barry suami sempurna, aku dengan sukarela mengikuti keinginannya agar mengundurkan diri dari jabatan strategis di sebuah perbankan.
"Biaya kuliah Andre besar, Mas. Kalau Nisa tidak bekerja, bisa-bisa gagal kuliahnya."
"Sudah, jangan dipikirin, Nisa. Mas bisa membiayai semua kebutuhan kita dan keluarga kamu. Kita atur saja sebaik mungkin supaya cukup. Percaya saja."
Tak pernah kami kekurangan uang, pengobatan ayah ibu, semua ditanggung Barry, tanpa pernah aku mendesaknya. Begitupun biaya kuliah Andre—adikku—yang baru menginjak semester tiga.
Aku bahagia, sangat bahagia.
Tapi, seperti kata pepatah, tidak ada kebahagiaan yang abadi. Begitu pula hidupku.
Kebahagiaan itu, hanya bertahan enam bulan sejak aku resign.
"Lo mesti pintar, Bro. Gue suruh Nisa berhenti kerja, supaya dia tergantung sama gue. Nggak apa-apa gue keluar uang buat biaya pengobatan orangtuanya, buat kuliah adeknya, yang penting gue leluasa jalan sama si Amanda." Tawa itu menggema, berbanding terbalik denganku. Tubuhku luruh ke lantai, jantungku berdegup kencang.
Mas Barry?
Percakapan tanpa sengaja kudengar, saat dirinya berbicara di sambungan telepon dengan seseorang yang kuduga adalah temannya, mengingat Barry selalu memanggil teman dengan kata 'Bro'.
"Nisa sekarang terpaksa di rumah saja, urus anak-anak, urus keluarganya. Gue bisa sering nginap di luar dengan alasan kerja, ke luar kota bahkan ke luar negeri. Bebas." Lagi-lagi ia terbahak, semakin lama dan nyaring. Kepuasan terdengar jelas dari tawanya yang panjang.
Rupanya, itu sebabnya Mas Barry ngotot aku resign. Supaya bisa menguasai secara keuangan dan mengikatku diam di rumah. Mas Barry, kenapa engkau bisa berubah sejahat itu? Tak kuasa kutahan air mata yang menganak sungai. Sakitnya luar biasa!
Aku diam tepekur di balik pintu kamar. Bila tak mengingat keadaan sudah terlanjur, akan kulabrak Mas Barry saat itu juga. Tapi, kesehatan ayah ibu tergantung dirinya. Andre mungkin bisa cuti kuliah, tapi mempertaruhkan nyawa orangtua untuk sebuah rasa sakit hati? Aku harus mempertimbangkan matang-matang.
Dengan diamku, Mas Barry semakin menjadi-jadi. Herannya, uang gaji selalu utuh diserahkannya padaku. Apakah ia punya sampingan pekerjaan?
Entah.
Setiap sebulan sekali pasti Mas Barry ijin menginap ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Rata-rata tiga hari, kadang seminggu. Aku menahan diri, dengan berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhannya. Seperti kali ini, ia ijin berangkat ke Bangkok, dengan alasan pekerjaan.
"Kantor mengirimku ke sana, Nisa. Seminggu. Sebentar lagi mas naik jabatan, kamu doakan saja semua lancar. Jaga anak-anak ya, nanti mas pulang kita liburan ke Bali."
Begitulah Barry, setiap kali selesai bepergian bersama selingkuhannya, ia akan memanjakan aku dan anak-anak. Aku mulai muak! Mengetahui kebohongannya tapi terpaksa diam dulu.
Aku tau ia pergi bersama selingkuhannya karena salah satu rekan kantornya, Adam, ternyata teman SMA-ku. Aku mengetahuinya tak sengaja, saat reuni SMA. Kepadanya aku berpesan agar tidak usah memperkenalkan diri sebagai temanku kepada Mas Barry. Tanpa bertanya kenapa, Adam menurutinya.
Adam menjadi pengintai gerak-gerik Mas Barry.
"Nggak, Nis. Kantor nggak kirim Barry. Sudah ku-cek. Dia ijin mengurus ayahmu operasi."
Si*l*n Barry! Jadwal ayah operasi masih dua bulan ke depan. Rupanya menurut Adam, Barry selalu menggunakan kondisi kesehatan orangtuaku sebagai alasan ijin tidak masuk kerja.
***
"Mba, titip anak-anak bentar ya, saya mau jemput bapak ke Bandara."
Saat tiba kepulangan Mas Barry, kutinggalkan ketiga buah hatiku ke tangan Mbak Mirna, Assisten rumah tangga yang sudah bekerja dua tahun di rumah. Sejauh ini, dirinya sangat baik terhadap anak-anak.
Tepat satu jam sebelum kedatangan Mas Barry, aku sudah memarkirkan mobil di parkiran bandara. Kupergunakan waktu menghubungi beberapa teman lama, untuk menanyakan barangkali ada lowongan pekerjaan yang sesuai untukku.
Semoga saja, pikirku. Aku harus bekerja kembali secepat mungkin, sebelum Mas Barry semakin menjadi-jadi.
Entah sudah berapa lama Mas Barry bermain-main, apakah dari semenjak aku masih bekerja, atau sejak aku resign? Entah. Sudah tidak penting lagi. Sekarang yang terpenting aku harus bisa mencari uang sendiri agar lepas dari cengkeraman Mas Barry.
[Mas udah turun, lagi tunggu bagasi.]
[Iya, Mas. Nisa sudah di parkiran.]
Sejurus kemudian, aku melihat Mas Barry tengah mendorong koper besarnya, hendak menyeberang menuju ke arahku yang parkir tidak jauh dari pintu ke luar.
Terlihat dirinya sangat kesusahan dengan koper berwarna hitam itu. Lagipula, kenapa juga membawa koper sebesar itu, untuk bepergian hanya seminggu, pikirku? Masih ada dua koper yang lebih kecil di rumah, tapi Mas Barry ngotot membawa koper itu. Dan memang Mas Barry membawa banyak sekali pakaian, karena aku ikut menyiapkannya saat itu. Ahh, sudahlah! Aku tidak mau memikirkannya.
Sebuah kecupan di kening, diberikannya padaku saat kami berhadapan. Kupasang wajah manis walau hatiku muak. Sabar Anisa, belum waktunya kau tunjukkan kemarahanmu.
Tanpa banyak bicara, aku membantunya mengangkat koper ke bagasi mobil.
"Berat sekali, Mas. Bawa apa aja?"
"Sama seperti waktu berangkat, Nis. Tambahan sedikit oleh-oleh buat kamu dan anak-anak. Heran juga. Tadi waktu ambil bagasi, nggak seberat ini."
"Ohya? Aneh," ujarku mengernyitkan kening. Kali ini aku benar-benar merasa aneh.
"Tadi sempat berdiri sebentar di dekat pintu ke luar, sambil teleponan sama teman, trus pas dorong koper ke sini, kopernya jadi berat. Ahh sudahlah, mungkin karena mas lelah, jadi rasanya berat. Ayoo jalan."
Mas Barry mengambil alih kemudi sementara aku duduk diam di sampingnya. Bisa kucium aroma wanita lain pada kemeja yang dikenakannya. Teriris rasa hatiku membayangkan apa yang baru saja dilakukan lelaki ini.
Lagi-lagi, kuingatkan hati ini agar sabar. Bila ingin memenangkan pertempuran, kesabaran adalah kunci utama.
"Hufh." Kuembuskan napas berat.
"Kenapa, Sayang?"
"Gak, lelah aja." Mas Barry diam, matanya lurus menatap jalanan namun di bibirnya terselip senyum kepuasan. Aku semakin muak membayangkan apa saja yang baru dilakukan dengan bibir itu.
Sesampai di rumah, Mas Barry menurunkan tas dan koper, lalu bergegas mendorongnya ke kamar.
Penasaran dengan beratnya yang luar biasa, kami segera membuka koper itu.
"Aaaa …!" Mataku membulat sempurna.
Kulepaskan pegangan pada sisi koper, setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Potongan tubuh terbalut plastik wrapping, terpampang di depan mata. Bisa kulihat jelas, kepala seorang wanita cantik berambut panjang, melotot.Tidak ada bau busuk, hanya darah tergenang di dasar plastik.
Segera kututup pintu kamar, agar anak-anak dan Mba Mirna tak melihat apa yang terjadi.
Berdiri mondar mandir, aku mengusap wajah dan menarik rambutku gusar. Tanganku masih gemetaran.
"Kau mengenalnya, Mas?" selidikku. Kutatap heran wajahnya yang terperangah. Kedua telapak tangan Mas Barry tertangkup dan menutup mulutnya. Dia bersimpuh di pinggir koper, dan tak melepaskan pandangannya dari kepala wanita berambut panjang itu.
"Ti-tidak, Nisa. Aku … aku tidak mengenalnya," ujarnya tercekat. Binar ketakutan dan kesedihan muncul bersamaan di wajahnya, ia berusaha menutupinya namun kabut di kedua netranya terlihat jelas di mataku.
"Ya, betul, hitam. Jangan salah. Cek baik-baik gambar yang saya kirim." Jangan sampai Amir salah membeli koper, bisa kacau semua rencana, pikir Santoso.Dipilihnya sepuluh gambar yang paling terang. Gambar koper yang tengah ditarik seorang lelaki, masuk ke area bandara Soekarno Hatta. Dirinya harus mengambil gambar cepat, sebelum lelaki itu melewati petugas yang memeriksa tiket lalu koper besar merk ternama itu akan masuk bagasi pesawat."Warna, merk dan ukuran. Harus sama persis. Ingat, sama persis!""Baik, Boss. Aman."Santoso menutup panggilan telepon setelah Amir menyatakan bahwa gambar yang diterimanya melalui aplikasi whatsapp terlihat jelas.Sudah be
"Awasi terus Barry. Setoran terakhir berkurang banyak. Lakukan apa saja yang membuatnya takut." Mister Kong, mengepalkan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang cerutu. Pria asal Indonesia yang kini menetap di Hongkong itu begitu murka. Barry orang kepercayaannya, sejak setahun lalu. Perkenalannya dengan Barry di sebuah kelab di Hongkong, meninggalkan kesan tersendiri. Mister Kong bahkan mengundang Barry agar makan malam bersama keesokan harinya, di sebuah restoran. Pertemuan itu terus berlanjut, seiring dengan seringnya Barry datang ke Hongkong. Saat itu Barry masih datang untuk urusan kantor. Kecocokan di antara keduanya, menjadi awal sebuah transaksi bisnis. Di mata Mister Kong, Barry pria ambisius namun perhitungan, juga cerdas.
"Mas, kita lapor polisi," ujarku dengan tubuh gemetar. Semakin lama koper itu berada di kamarku, semakin ketakutan itu menyergap. "Mas … mas!" Barry tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari wajah wanita di dalam koper itu. "Mas, kita lapor polisi." Pelan kusentuh bahunya. "Eeh … mmmm jangan dulu." "Lho, kok jangan dulu. Nisa nggak mau mas, ada mayat di rumah!" "Tunggu dulu Nisa. Mas harus berpikir jernih." "Nanti saja mikirnya, Mas. Ini jelas-jelas kasus kriminal. Kita harus lapor sekarang, sebelum kita kena imbasnya."
[Dengarkan baik-baik.] Sebuah text masuk dari Nisa, wanita yang dikenalnya, lebih tepatnya mengenalkan diri padanya, beberapa bulan lalu. Caroline menekan tombol play pada kiriman berikutnya. Terdengar rekaman suara Nisa sedang berbicara dengan Amanda, wanita yang telah mengubah hidup Caroline dari surga menjadi neraka. [Tidak semudah itu, Mba. Saya dan Barry punya ikatan yang kuat. Saya bisa mundur, tapi Barry pasti akan tetap mengejar saya, jadi bukankah lebih baik tetap jalan aja. Saran saya, mba perbaiki aja diri sendiri. Atau … relakan Barry bersama saya saat dirinya sedang tidak bersama mba. Simple kan?] Rahang Caroline mengeras, mendengar suara Amanda seakan sengaja menantang Nisa. Betapa tak tau malunya wanita lici
[Berhasil, Bos. Wanita itu pulang duluan, sesuai instruksi.]Caroline tersenyum membaca text yang dikirimkan Sandy. Lelaki itu memang sangat bisa diandalkan dalam segala hal.Pengintaian Sandy atas Amanda yang sedang berlibur di Bangkok bersama Barry, berhasil mulus.Panggilan telepon dari Caroline mengatasnamakan sekretaris direksi, ditelan mentah-mentah oleh Amanda. Dasar wanita bod*h!Gambar-gambar yang dikirimkan Sandy padanya, cukup membuktikan bahwa dia wanita culas yang memanfaatkan banyak orang demi kesenangan diri sendiri. Lalu, apa gunanya berbelas kasihan pada wanita sejenis itu.Bodohnya Tedja, mau saja diperalat oleh wanita yang
[Barry ke Bangkok, bersama Amanda.] Pesan dari Nisa.Caroline mengeram."Sandy, kau ke Bangkok sekarang juga. Ikuti Amanda. Lakukan tugas seperti biasa!" Tanpa menunggu jawaban dari Sandy, Caroline melempar telepon genggamnya ke tempat tidur.Sandy tidak membantah, tidak juga menanyakan bagaimana detilnya. Tiket pesawat, uang jalan dan sebagainya. Dirinya tinggal menghubungi Tabitha—sekretaris pribadi Caroline—dan semua siap.Berbagai tugas pengintaian dari Caroline, telah dilakukannya. Di dalam negeri hingga ke luar negeri. Bahkan saat Caroline tinggal di Singapore, dirinya tetap disuruh kemana-mana. Kapan saja tidak boleh ada kata tidak bisa, apalagi tidak sanggup. 
Namaku Andini Surya Atmadja. Putri kedua pasangan Prabu Surya Atmadja dengan Dini Lestari. Suami istri pemilik sebuah usaha percetakan di Jakarta Barat. Di usiaku yang baru menginjak 2 tahun, aku belum mengerti artinya bahagia. Ingatanku tentang masa kecil hanyalah dari cerita Bimo. Papa mama sangat penyayang, walau tidak bisa mengingatnya, tapi dengan melihat foto-foto, aku meresapi apa yang dikatakan Bimo. Keuangan kami pun cukup. Bimo—kakak satu satunya—yang berusia sembilan tahun, sangat menyayangiku. Aku, menjadi pusat keceriaan keluarga, maklum, awalnya mama berpikir tidak akan bisa memiliki anak lagi, setelah jeda terlalu lama dengan kelahiran Bimo. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Hingga suatu hari, semua k
"Kak Bimo, kakak di mana? Kenapa nggak pernah cari aku," tangisku suatu malam. Entah sudah berapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip gambaranku tentang sosok Bimo. Sayang, selalu orang lain dan orang lain.Kadang putus asa itu datang, lalu timbul lagi berkali lipat. Semakin usia bertambah semakin kuat keinginan bertemu Bimo. Siapa lagi yang kumiliki?Aku tidak lagi tinggal di apartemen mewah, tapi memilih tinggal di rumah kost. Aku harus menghemat uang gaji, untuk sebuah masa depan yang aku belum tau.Selama berada di bawah 'cengkeraman' Robert, aku tidak pernah meminta segala kemewahan darinya. Aku hanya menerima, apa yang diberikannya.Hatiku tak pernah sanggup untuk mema