Share

Bab 3

Author: Airyline
last update Last Updated: 2025-03-01 03:11:48

Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah.

Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya.

"Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans.

"Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda.

Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati?

Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya.

"Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan Amanda yang dingin.

Kelopak mata Amanda sedikit bergerak, tetapi sangat lemah. Bibirnya yang kecil membuka, suaranya lirih hampir tidak terdengar.

"M-Mama..."

"Ya, Mama di sini! Mama di sini, Nak! Kamu kuat, ya, Sayang? Kita sebentar lagi sampai di rumah sakit!" Arimbi membelai rambut Amanda dengan tangan gemetar.

Sementara itu, paramedis wanita di sebelahnya berusaha menekan luka di dada Amanda dengan kain kasa tebal yang sudah bersimbah darah.

"Tekanan darahnya turun! Kita harus segera sampai!" ujar paramedis pria di bagian depan dengan nada tegang.

Sopir ambulans langsung menambah kecepatan, membuat Arimbi semakin panik.

"Amanda, bertahan, Sayang... Kamu kuat, kan?" Arimbi terus menggenggam tangan Amanda.

Namun, mata Amanda semakin berat. Tubuhnya mulai kejang ringan, membuat Arimbi hampir berteriak.

"Tolong lakukan sesuatu! Dia semakin lemah!" Arimbi menangis histeris, menoleh ke arah paramedis dengan tatapan putus asa.

"Kami sudah melakukan yang terbaik, Bu. Kami harus segera membawanya ke ruang operasi!"

"TIDAK! Amanda, Sayang... Lihat Mama... Jangan tutup mata, ya? Jangan tidur, Sayang... Mama mohon...!"

Arimbi membungkuk, menempelkan keningnya di tangan kecil Amanda. Dadanya sesak. Air matanya tak henti-hentinya jatuh, sementara ambulans terus melaju menerobos kemacetan.

Seakan-akan, waktu bergerak terlalu cepat, tetapi di saat yang sama juga terlalu lambat.

Seakan-akan, ia tengah berpacu dengan maut untuk merebut kembali nyawa putrinya.

Dan dalam kepanikan yang tak tertahankan, satu doa terlepas dari bibirnya—doa yang keluar dari hati seorang ibu yang terluka.

"Tuhan... kalau Kau ingin mengambil nyawa seseorang hari ini... ambil nyawaku saja. Tapi jangan anakku. Tolong, jangan anakku..."

Langkah Arimbi limbung, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap berlari.

"Amanda! Mama di sini, Sayang! Bertahan, ya!"

Tangannya gemetar saat mencoba meraih putrinya yang terbaring di atas tandu, tetapi para perawat terus mendorong tandu itu dengan cepat melewati lorong rumah sakit. Suara roda tandu bergemuruh di lantai, berpacu dengan detak jantung Amira yang berdebar kencang.

Tolong, Tuhan… jangan ambil anakku…

Amanda tidak merespons. Gadis kecilnya yang biasanya ceria, kini terbaring diam dengan selang oksigen di hidungnya, wajahnya sepucat kertas. Darah di bajunya sudah mengering, tetapi luka di dadanya masih mengeluarkan cairan merah.

"Minggir! Pasien dalam kondisi kritis!" seru seorang dokter kepada staf rumah sakit yang menghalangi jalur mereka.

Arimbi berlari mengikuti, napasnya tersengal, air matanya terus mengalir.

"Amanda, dengar Mama, ya? Kamu harus kuat, Sayang! Kita kan janji mau rayakan ulang tahunmu malam ini… Kamu kan mau pakai gaun baru? Mau tiup lilin? Sayang, buka matamu… Jawab Mama…"

Tak ada jawaban.

Tak ada gerakan dari tubuh kecil itu.

Tidak ada sedikit pun tanda kehidupan selain detak lemah di monitor jantung yang terus berbunyi dengan nada menyayat hati.

Arimbi merasakan dadanya diremas kuat-kuat. Lututnya hampir lemas. Jika ia tidak berpegangan pada pegangan tandu, mungkin ia sudah jatuh terduduk di lantai rumah sakit.

"Tolong… tolong selamatkan anak saya…" isaknya, suaranya parau.

"Kami akan berusaha, Bu. Tapi tolong beri kami ruang," ujar seorang perawat dengan nada tegas namun lembut.

Tiba-tiba, pintu ruang gawat darurat terbuka. Arimbi ingin ikut masuk, tetapi langkahnya terhenti ketika dua perawat menahan tubuhnya.

"Maaf, Bu. Anda tidak boleh masuk."

"Tidak! Aku harus bersama Amanda! Aku harus ada di sampingnya! Dia butuh aku!" Arimbi meronta, tangannya masih terulur ke arah putrinya.

Namun, pintu itu tertutup tepat di depan wajahnya.

Arimbi menatap pintu yang kini menjadi penghalang antara dirinya dan anak satu-satunya. Lututnya melemas. Ia jatuh terduduk di lantai rumah sakit, bahunya bergetar hebat.

"Tolong, Tuhan… tolong jangan ambil dia dariku…," tangisnya pecah, memenuhi lorong rumah sakit yang dingin.

Arimbi menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangis yang terus mengancam pecah. Matanya terus menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat, seolah berharap bisa menembusnya dan melihat kondisi Amanda di dalam sana.

Tangannya gemetar, sesekali ia mengusap air mata yang terus mengalir, tetapi usahanya sia-sia. Ketakutan dan kecemasan sudah menelan seluruh dirinya.

Langkahnya tak tenang. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu, tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, begitu kencang hingga rasanya akan meledak kapan saja.

"Ya Tuhan, selamatkan anakku… selamatkan Amanda…” gumamnya berulang kali, seperti doa yang tak henti ia bisikkan dengan penuh harap.

Setiap kali seorang perawat keluar dari ruangan, Arimbi buru-buru mendekat dengan wajah penuh harap.

"Bagaimana anak saya? Tolong katakan kalau dia baik-baik saja!" tanyanya panik.

Namun, perawat hanya tersenyum tipis dan berkata, "Tunggu sebentar, Bu. Dokter masih berusaha semaksimal mungkin."

Jawaban itu membuat nyali Arimbi semakin ciut. Ia menggigit jarinya, matanya terus menatap pintu itu, berharap kali ini dokter yang keluar dan memberikan kabar baik.

Namun, detik demi detik terasa seperti selamanya.

Tubuhnya lemah, tetapi ia tidak bisa duduk. Ia takut kalau ia berhenti bergerak, pikirannya akan dipenuhi oleh bayangan buruk—bayangan kehilangan Amanda.

Tidak. Tidak boleh. Amanda harus bertahan.

Tangannya meremas dadanya yang terasa sesak. Nafasnya tersengal, dan di tengah lorong rumah sakit yang terasa semakin sempit, Amira berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri. Dia harus kuat. Untuk Amanda.

Arimbi meremas jemarinya dengan erat, berusaha mengendalikan getaran di tangannya yang semakin tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah-olah ingin meledak di dalam dadanya. Kakinya terus melangkah gelisah, mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit. Pikirannya kacau.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Ia terus menatap pintu ruang gawat darurat yang masih tertutup rapat, berharap kapan saja dokter keluar dan memberikan kabar baik.

Tapi yang keluar justru suara tangisan bayi dari ruang lain, suara alat monitor yang berbunyi, dan langkah cepat para dokter serta perawat. Semuanya semakin membuatnya gelisah.

Tiba-tiba, tubuhnya melemas. Lututnya bergetar hebat. Ia bersandar ke dinding, menekan dadanya yang terasa begitu sesak.

"Amanda... Sayang... Kamu harus bertahan, Nak..." batinnya berteriak.

Dia menoleh ke sekeliling, berharap melihat sosok seseorang yang dikenalnya, seseorang yang bisa menenangkan dirinya. Tapi tidak ada. Tidak ada Reza. Tidak ada keluarganya. Ia sendirian.

Air matanya kembali jatuh. Rasanya baru tadi pagi ia melihat Amanda tertawa ceria, menikmati es krim kesukaannya. Dan sekarang, anaknya terbaring tak sadarkan diri, bertarung dengan maut.

Ketika pintu gawat darurat terbuka sedikit, Arimbi langsung melesat mendekat, matanya penuh harap. Namun bukan dokter yang keluar, hanya seorang perawat.

Tanpa pikir panjang, Arimbi langsung meraih perawat itu.

"Bagaimana kondisi Amanda, Mbak? Tolong... Tolong katakan kalau dia baik-baik saja!" suaranya nyaris tak terdengar, penuh ketakutan.

Perawat itu tampak ragu, tetapi akhirnya berkata dengan suara lembut, "Kami masih berusaha, Bu. Tolong bersabar, ya."

Jawaban itu seperti pisau yang kembali menggores luka di hatinya.

"Tolong lakukan yang terbaik… Aku mohon…" suara Arimbi bergetar, air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan.

Perawat itu mengangguk singkat sebelum kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Arimbi yang kini semakin kehilangan kekuatan untuk berdiri.

Ia mundur perlahan, lalu jatuh terduduk di kursi tunggu. Tangannya mencengkeram erat dadanya yang terasa nyeri.

"Ya Tuhan... Jangan ambil anakku… Aku mohon..."

Arimbi menunduk, air matanya menetes di pangkuannya. Detik itu, ia merasa benar-benar sendirian di dunia ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

    Last Updated : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   5

    Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai

    Last Updated : 2025-03-03
  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

    Last Updated : 2025-03-22
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

    Last Updated : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 2

    Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."  Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but

    Last Updated : 2025-03-01

Latest chapter

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

  • Ku Balas Kematian Anakku   5

    Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 3

    Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 2

    Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."  Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status