Share

5

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-03 12:02:03

Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan.

"Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak.

Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu.

"Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut.

Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…"

Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabaikannya. Ia sudah memutuskan untuk bertanggung jawab atas Monika dan anak itu.

"Jangan khawatir," ujarnya, menggenggam tangan Monika lebih erat. "Aku akan bicara dengan Direktur Rumah Sakit. Aku akan meminta potongan biaya perawatan. Dan kalau masih ada kekurangan, aku sendiri yang akan melunasinya."

Monika menatapnya dengan mata penuh harap. "K-kamu serius, Reza?"

"Tentu saja," Reza mengangguk mantap. "Aku dokter bedah terbaik di rumah sakit ini. Aku yakin Direktur akan mempertimbangkan permintaanku. Yang penting sekarang, kamu tidak usah memikirkan soal biaya. Fokus saja untuk pulih dan menjaga anak kita."

Monika mengusap air matanya, lalu tersenyum lemah. "Reza… Kamu benar-benar malaikat untukku… Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa kamu…"

Reza tersenyum tipis, lalu menarik Monika ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggung wanita itu dengan lembut, seolah meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Namun, di balik senyum puas Monika, ada kepuasan yang lain.

Ia tahu Reza sepenuhnya berada di genggamannya.

Ia tidak perlu khawatir soal uang, karena Reza akan menyelesaikan semuanya.

Yang perlu ia lakukan hanyalah memastikan bahwa pria itu tetap berada di sisinya… Dan jauh dari istrinya.

Di dalam ruang perawatan yang nyaman, Radit tiba-tiba menggeliat dengan wajah kesakitan. Bocah laki-laki itu mencengkeram kepalanya, wajahnya pucat pasi.

"Aaakhh… sakit… kepalaku sakit, Ayah!" Radit meringis, suaranya bergetar.

Reza yang baru saja berdiri di samping ranjang langsung mencondongkan tubuhnya, panik. "Radit, tenang, Nak! Ayah di sini!"

Monika yang duduk di sisi lain ranjang langsung mendekap anaknya, matanya berkaca-kaca. "Radit, sayang… ada apa? Kenapa tiba-tiba sakit begini?"

Radit hanya bisa mengerang, tangannya mencengkram erat lengan Monika.

Reza dengan sigap memeriksa tekanan darah dan denyut nadi Radit. Dahinya mengernyit ketika melihat hasil pemeriksaan. "Dia kehilangan banyak darah…" gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Monika membeku.

"Apa?" Monika menatap Reza dengan panik. "Maksudmu… Radit butuh transfusi darah?"

Reza mengangguk cepat. "Iya. Dan kita harus segera melakukannya sebelum kondisinya semakin buruk."

Raut wajah Monika semakin tegang. "Tapi Reza… kau tahu kan kalau Radit memiliki golongan darah langka? Kita tidak bisa sembarangan mendapatkannya!"

Reza menarik napas panjang, mencoba menenangkan Monika. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu satu hal lagi."

"Apa?" tanya Monika buru-buru, suaranya bergetar.

"Arimbi…" Reza menatap Monika dalam. "Dia memiliki golongan darah yang sama dengan Radit."

Monika terdiam seketika. Bibirnya sedikit bergetar, tapi ia segera mengendalikan ekspresinya. "Lalu? Maksudmu kau akan meminta dia mendonorkan darahnya untuk Radit?"

Reza mengangguk mantap. "Iya. Dia pasti akan melakukannya. Arimbi tidak akan membiarkan seorang anak dalam bahaya, aku mengenalnya."

Monika mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Dan kau pikir dia akan langsung bersedia setelah melihat kita tadi? Setelah apa yang dia alami hari ini?"

Reza menelan ludah. Dalam hatinya, ia sadar betul bahwa Arimbi pasti hancur setelah melihatnya memeluk Monika. Namun, ini bukan soal perasaan mereka—ini soal nyawa seorang anak.

"Aku akan membujuknya," ucap Reza akhirnya. "Aku akan memastikan dia setuju."

Monika hanya diam, tapi hatinya penuh dengan ketakutan. Ia tahu, jika Arimbi datang… maka Reza tidak hanya meminta darahnya. Bisa jadi, pria itu juga mulai mempertanyakan keputusannya.

Tapi ia tidak punya pilihan. Radit butuh darah.

Dengan perasaan campur aduk, Monika akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah… pergilah. Tapi jangan lama-lama, Reza. Radit tidak bisa menunggu!"

Reza menatap Radit yang masih meringis kesakitan, lalu mengusap kepala anak itu sebelum beranjak keluar dari ruangan.

Ia harus menemukan Arimbi.

Dan ia harus memastikan perempuan itu setuju… tidak peduli dengan cara apa pun.

Reza memasang masker medisnya dengan cepat sebelum melangkah keluar dari kamar VVIP. Matanya menatap Monika yang masih mendekap Radit erat. "Jangan pergi ke mana-mana, Monika. Aku akan mencari Arimbi dan membawa darah untuk Radit," ujarnya tegas.

Monika mengangguk setuju, meskipun di dalam hatinya ada ketakutan yang terselubung. "Jangan lama-lama, Reza. Radit tidak bisa menunggu terlalu lama."

Tanpa menjawab lagi, Reza melangkah keluar dengan langkah cepat, meninggalkan Monika yang masih memegangi tangan Radit dengan wajah penuh kekhawatiran.

Tak berselang lama, pintu kamar VVIP terbuka kembali. Arimbi masuk dengan napas sedikit terengah. Matanya menyapu ruangan dengan penuh harap.

"Di mana Reza?" tanyanya cepat kepada Monika.

Monika yang masih berpura-pura panik mendongak, menatap Arimbi dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat. "Reza baru saja keluar untuk mencari kamu," jawabnya dengan nada manis, tapi ada kepuasan terselubung di matanya.

Mendengar itu, hati Arimbi langsung menghangat. Reza mencarinya? Jadi, pria itu benar-benar peduli dengan Amanda? Ia tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Tanpa basa-basi, ia bergegas keluar dari kamar itu, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit.

---

Di sebuah lorong rumah sakit yang sepi, Reza berjalan cepat dengan rahang mengeras. Ia sudah mencari Arimbi di hampir seluruh sudut rumah sakit, tetapi tak kunjung menemukannya. Dadanya naik turun, menahan emosi yang mulai memuncak.

Saat ia hampir mencapai persimpangan lorong, tiba-tiba sosok yang dicarinya muncul dari arah berlawanan.

"Reza!" Arimbi berseru dengan nada lega, segera menghampirinya.

Reza langsung menghentikan langkahnya. Matanya menatap Arimbi dengan sorot marah. "Ke mana saja kamu? Aku sudah mencarimu ke seluruh rumah sakit!" bentaknya, membuat beberapa perawat di dekat mereka menoleh kaget.

Arimbi mengerutkan kening, terkejut dengan nada marah suaminya. "Aku juga mencarimu, Reza! Aku meneleponmu berkali-kali, kenapa tidak kamu jawab?"

Reza mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi. "Saat darurat seperti ini, kamu malah keluyuran di rumah sakit? Kamu pikir ini saatnya untuk menghilang begitu saja?!"

Arimbi tersentak. "Aku tidak menghilang! Aku mencari kamu, Reza! Aku ingin kita bersama menyelamatkan Amanda!" Suaranya mulai bergetar.

Reza tak mau berdebat lebih lama. "Lupakan. Ayo ikut aku sekarang," katanya dingin, lalu menggenggam lengan Arimbi dan menariknya dengan paksa.

Arimbi yang masih bingung hanya bisa mengikuti langkah cepat Reza. Mereka masuk ke ruang donor darah, dan seorang perawat langsung menghampiri mereka.

"Ini dia pendonor yang kalian cari?" tanya perawat itu.

"Iya, segera ambil darahnya," jawab Reza tanpa ragu.

Arimbi sedikit terkejut dengan sikap Reza yang begitu tergesa-gesa. Namun, pikirannya dipenuhi oleh satu hal—menyelamatkan Amanda. Ia mengulurkan lengannya tanpa ragu, membiarkan perawat mengambil darahnya.

Beberapa menit kemudian, kantong darah yang telah diisi diserahkan kepada Reza. Pria itu langsung menggenggamnya erat dan tanpa sepatah kata pun, ia berbalik meninggalkan ruangan.

Arimbi mengerjapkan mata, terkejut. "Reza…?" panggilnya, tapi pria itu tidak menoleh.

Jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang terasa ganjil.

Dengan tubuh yang masih sedikit lemas, Arimbi bangkit dari tempat tidur donor dan berjalan cepat menuju ruang gawat darurat. Namun, saat sampai di sana, Amanda sudah tidak ada.

Seorang dokter menghampirinya dengan ekspresi serius. "Ibu Arimbi, putri Anda sudah dipindahkan ke ruang operasi."

Arimbi langsung panik. "Bagaimana keadaannya, Dok? Apa operasinya sudah dimulai?"

Dokter itu menghela napas berat. "Belum. Kami masih menunggu suami Anda, karena hanya beliau yang bisa melakukan operasi ini."

Arimbi mengerutkan kening, perasaan buruk mulai merayapi hatinya. "Tunggu… apa Reza belum datang ke ruang operasi?"

Dokter itu menggeleng. "Belum. Kami sama sekali belum melihatnya di sini."

Saat itu juga, dada Arimbi terasa sesak. Kakinya melemas, dan ia terduduk di kursi tunggu dengan pandangan kosong.

Reza… belum datang ke ruang operasi?

Lalu, ke mana dia pergi dengan kantong darah itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 2

    Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."  Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 3

    Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01

Bab terbaru

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

  • Ku Balas Kematian Anakku   5

    Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 3

    Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 2

    Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."  Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status