Share

Bab 2

Author: Airyline
last update Huling Na-update: 2025-03-01 03:03:54

Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah.

"Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar.

Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu."

Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!"

Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."

 Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya.

"Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil.

Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun butik ini dari nol dengan kerja keras Mama sendiri."

Amanda mengangguk penuh antusias. "Kenapa Papa gak pernah tahu kalau Mama punya butik?"

Arimbi sedikit terdiam sebelum menjawab, "Mama gak pernah cerita ke Papa, karena Mama ingin ini jadi usaha pribadi Mama. Papa tahunya Mama hanya mengurus keluarga dan perusahaan warisan."

Amanda tampak berpikir sejenak. "Jadi ini seperti rahasia kecil Mama?"

Arimbi tertawa kecil dan mengusap kepala anaknya. "Bisa dibilang begitu. Tapi bukan karena Mama mau menyembunyikan, hanya saja Mama ingin ini jadi sesuatu yang Mama bangun sendiri tanpa bergantung pada siapa pun."

Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil, dan Arimbi mulai mengemudi menuju butik.

Di sepanjang perjalanan, Amanda terus bercerita tentang sekolahnya, tentang teman-temannya, dan rencana pentas seni yang akan datang. Arimbi mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali menanggapi.

Namun, saat mereka melewati sebuah persimpangan jalan yang ramai, tiba-tiba terdengar suara klakson panjang dari arah kanan. Amira hanya sempat menoleh sekilas sebelum—

BRAK!!

Benturan keras menghantam sisi mobil mereka, membuat kendaraan Arimbi terdorong ke depan dan menabrak mobil lain di depannya. Suara rem berdecit tajam, diikuti dentuman keras lainnya. Mobil mereka terguncang hebat, dan jeritan Amanda menggema di dalam mobil.

"Mama!!!"

Arimbi merasakan tubuhnya terdorong ke depan dengan keras, sabuk pengaman menahan tubuhnya, tapi kepalanya terbentur setir mobil. Rasa sakit langsung menjalar ke dahinya, membuatnya sedikit pusing.

Napasnya memburu, pandangannya sempat kabur sebelum akhirnya ia memaksa dirinya sadar dan menoleh ke kursi sebelah.

"Amanda..." suara Arimbi gemetar, matanya mencari wajah anaknya yang tampak ketakutan.

Amanda menangis, tubuhnya gemetar. "Mama... aku takut..."

Arimbi mengulurkan tangannya dengan susah payah dan menggenggam tangan kecil Amanda. "Mama di sini, sayang... semuanya akan baik-baik saja..."

Dentuman keras menggema di udara. Jeritan orang-orang yang panik bercampur dengan suara klakson yang terus berbunyi. Asap tebal membubung dari mobil-mobil yang bertabrakan di jalan tol pagi itu.

Arimbi menoleh dengan napas tersengal, pandangannya kabur karena benturan keras di kepalanya. Di sampingnya, Amanda terkulai lemah dengan darah mengalir dari dahinya.

"Amanda... Sayang, bangun!" Suara Arimbi bergetar, tangannya mengguncang tubuh mungil putrinya yang baru saja ia ajak menikmati es krim dan akan merayakan ulang tahun yang ke lima malam ini.

Jari-jari Arimbi dengan gemetar merogoh ponselnya. Dengan panik, ia menekan nomor suaminya, dr. Reza.

"Angkat, tolong angkat, Reza!" gumamnya sambil menunggu nada sambung.

Tidak ada jawaban.

Air mata mulai mengalir di wajah Arimbi. Dia menoleh ke sekeliling, mencari bantuan. Para petugas medis mulai berdatangan, tetapi Amanda belum juga mendapatkan pertolongan.

Lalu, matanya menangkap sosok suaminya yang mengenakan jas dokter, tergesa-gesa berjalan ke arah ambulans.

"Reza!" Arimbi memanggil dengan suara serak.

Namun, langkah pria itu justru mengarah ke sebuah tandu lain, di mana seorang wanita dan anak laki-laki dengan wajah pucat terbaring.

Arimbi tertegun. Jantungnya berdetak kencang saat melihat bagaimana Reza dengan penuh kepanikan menggenggam tangan wanita itu, lalu menoleh ke anak laki-laki yang tengah ditangani oleh tim medis.

"Aku harus menyelamatkan mereka," suara Reza terdengar putus asa saat berbicara dengan seorang dokter lain di sampingnya. "Anak ini memiliki penyakit bawaan dan golongan darah langka. Aku tidak bisa kehilangan dia!"

Arimbi membeku. Kata-kata itu seakan menghantamnya seperti petir di siang bolong.

Siapa mereka? Kenapa Reza terlihat begitu panik?

Lalu sesuatu dalam diri Arimbi meronta, menolak kenyataan yang mulai terbentuk di kepalanya.

Namun, jawaban itu datang dengan sendirinya saat wanita yang terbaring di atas tandu memanggil dengan suara lemah.

"Reza... tolong selamatkan anak kita..."

Dunia Arimbi runtuh seketika. Suaminya telah memilih.

Bukan dia. Bukan Amanda.

Suara sirene ambulans terus meraung, bercampur dengan hiruk-pikuk kepanikan di sekitar lokasi kecelakaan. Reza berada di dalam ambulans, tangannya sibuk memeriksa kondisi wanita dan anak laki-laki yang bersamanya. Wajahnya penuh ketegangan, tetapi tiba-tiba seorang paramedis masuk dengan wajah panik.

"Dokter! Ada korban lain yang butuh pertolongan segera! Seorang wanita dan anak kecil-mereka terluka parah!" Reza mengerutkan kening. "Siapa?"

"Korban dari mobil sedan hitam, dok. Wanita dan anak perempuannya..."

Mata Reza melebar. Sedan hitam? Seketika napasnya tercekat. Arimbi... Amanda... Tanpa pikir panjang, Reza segera beranjak dari tempat duduknya, hendak turun dari ambulans. Namun saat ia baru hendak melangkah keluar, tiba-tiba suara jeritan memenuhi ruangan kecil itu.

"Aaaahh!! Reza! Sakit!!"

Wanita di tandu menjerit, tangannya mencengkeram lengan jas putih Reza dengan erat. Tubuhnya gemetar, dan wajahnya yang pucat semakin terlihat lemah. Sementara itu, anak laki-laki di sampingnya mulai kejang, napasnya tersengal. Reza membelalak. "Sial! Keadaan mereka semakin buruk!"

"Tolong, Reza... aku takut... anak kita... jangan biarkan dia mati..." wanita itu merintih dengan air mata mengalir di pipinya.

Reza terjebak dalam dilema yang kejam. la ingin berlari keluar, ingin memastikan keadaan istri dan anaknya. Tetapi wanita yang bersamanya sekarang juga dalam kondisi kritis.

"Dok, kita harus segera berangkat!" sopir ambulans berteriak dari depan.

Reza menggertakkan giginya. Matanya menatap pintu ambulans yang setengah terbuka. Dari celah itu, ia bisa melihat Amanda, tergeletak di aspal, tubuhnya bersimbah darah, kecil, rapuh, dan tak bergerak. Paramedis sedang berusaha menolong mereka, tetapi tatapan Arimbi menembus keramaian dan langsung menghantam hati Reza.

Matanya kosong. Penuh kesakitan. Penuh pengkhianatan.

Reza menelan ludah. la ingin mengatakan sesuatu, ingin berlari ke arahnya. Namun, sebelum ia bisa bergerak, suara jeritan wanita di

sampingnya semakin menjadi.

"REZAAA!!"

Tanpa sadar, Reza mengepalkan tangannya. Dalam benaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Arimbi dan Amanda pasti akan baik-baik saja. Mereka kuat. Mereka akan selamat. Lalu, keputusan itu diambil.

"Jalan sekarang!" perintahnya.

Ambulans melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan lokasi kecelakaan, meninggalkan istri dan anaknya yang masih terbaring di jalanan.

Arimbi masih menatap ke arah ambulans yang semakin menjauh. Tangannya yang berlumuran darah terangkat sedikit, seolah ingin meraih sesuatu yang tidak akan pernah bisa digapainya.

"Ma...ma..." suara lirih keluar dari bibirnya yang kering.

Tubuhnya dingin. Pandangannya semakin kabur. Tetapi bukan hanya rasa sakit fisik yang kini menghantamnya-lebih dari itu, hatinya yang hancur berkeping-keping.

Suaminya memilih. Bukan dirinya. Bukan anak mereka.

Air mata mengalir dari sudut matanya. la ingin marah, ingin berteriak, ingin berlari mengejar. Tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Lalu, sesuatu yang lebih buruk terjadi. "Amanda..." suara Arimbi hampir tidak terdengar. Napas Amanda semakin lemah. Bibir mungilnya sedikit terbuka, matanya mulai tertutup. Dan saat Arimbi melihat ada serpihan kaca yang menancap di rongga dada kecil putrinya, dunia benar-benar runtuh di sekelilingnya.

"Tolong... anak saya..." isaknya tertahan.

Paramedis masih berusaha menolong, tetapi kesadarannya semakin menipis.

Jika ini adalah akhir, apakah setidaknya ia bisa membawa putrinya bersamanya...?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 3

    Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A

    Huling Na-update : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

    Huling Na-update : 2025-03-01
  • Ku Balas Kematian Anakku   5

    Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai

    Huling Na-update : 2025-03-03
  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

    Huling Na-update : 2025-03-22
  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

    Huling Na-update : 2025-03-01

Pinakabagong kabanata

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 6

    Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg

  • Ku Balas Kematian Anakku   5

    Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai

  • Ku Balas Kematian Anakku   bab 4

    Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 3

    Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 2

    Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya."  Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but

  • Ku Balas Kematian Anakku   Bab 1

    "Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status