"Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi.
"Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya. "Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi. "Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya. "Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi. "Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya. Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas kerja sang suami. "Arimbi, kamu itu lelet banget sih. Ini sudah siang, aku bisa terlambat. Cuma bawa tas kerja aja lama sekali," ujar Reza yang sudah berada di dalam mobil. Arimbi pun membuka pintu mobil dan menaruh tas kerja milik suaminya. Setelah Arimbi menutup pintu mobil, Reza pun segera menghidupkan mesin mobil dan langsung pergi menuju ke rumah sakit tempat dia bekerja. Sedangkan Arimbi segera masuk kedalam rumah untuk membersihkan sisa-sisa sarapan mereka. Setelah selesai membersihkan rumah, Arimbi segera menuju ke kamarnya untuk bersiap menjemput Amanda di sekolahnya. Namun, sebelumnya dia akan mampir ke Butiknya untuk mengecek ketersediaan stok barang. Setibanya di butik, Arimbi langsung melangkah cepat menuju ruang kerjanya di bagian belakang. Butiknya yang terletak di sudut jalan yang ramai selalu penuh dengan pelanggan, dan hari ini tampaknya tidak berbeda. Namun, Arimbi langsung fokus pada pekerjaannya. Dia membuka pintu ruang kerja dengan cepat dan melihat Rina, salah satu pegawainya, sedang sibuk memeriksa beberapa barang baru yang baru saja datang. "Rina, kamu sudah cek stok yang baru datang?" tanya Arimbi, sambil menatap layar komputer untuk mengecek laporan penjualan. "Sudah, Bu. Semua sudah terinput di sistem. Ada beberapa model baru yang laris. Saya pikir kita harus tambah stok untuk yang itu," jawab Rina tanpa mengalihkan pandangannya dari barang-barang yang sedang dia periksa. Arimbi mengangguk, lalu duduk di kursi kerjanya. "Bagus, tapi pastikan juga stok yang lama tidak terlalu menumpuk. Kita butuh ruang untuk model-model baru. Kalau ada yang ingin dicoret dari koleksi lama, beri saya laporan minggu ini." "Siap, Bu Arimbi. Ada telepon masuk untuk Anda tadi. Saya sudah menandai nomor teleponnya di catatan," kata Rina sambil memberikan catatan kecil pada Arimbi. Arimbi melihat nomor yang tertulis di catatan dan segera mengenali nomor itu. "Ini pasti dari Amanda," katanya dalam hati. Dia merasa sedikit khawatir, tapi mencoba untuk tetap tenang. "Rina, kalau ada yang datang untuk transaksi besar, coba prioritaskan. Aku harus keluar sebentar untuk jemput Amanda." "Tentu, Bu. Nanti saya pastikan semuanya berjalan lancar," jawab Rina, sambil melanjutkan pekerjaannya. Arimbi segera berdiri dan meraih tas tangan kecil yang selalu dia bawa. Sebelum meninggalkan ruang kerja, dia melihat ke arah kaca besar di butik, memastikan dirinya terlihat rapi. "Amanda... semoga tidak ada masalah," gumamnya sebelum bergegas menuju mobilnya. Arimbi mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, meskipun pikirannya sedikit terpecah. Sesampainya di sekolah, dia langsung melihat Amanda berdiri di pos satpam, tampak sedikit gelisah, memerhatikan setiap mobil yang datang. Begitu Arimbi melambaikan tangan, wajah Amanda langsung cerah, meski ada sedikit tanda kecewa di matanya. "Maafkan Mama, sayang. Mama terlambat jemput kamu, ada banyak yang harus dibereskan di butik tadi," ujar Arimbi sambil membuka pintu mobil. Amanda hanya mengangguk, meski wajahnya tetap menunjukkan sedikit kekecewaan. "Gak apa-apa, Mama. Cuma, tadi aku nunggu agak lama, aja." "Maaf ya, nak. Mama janji gak akan sering telat. Tapi, supaya Mama bisa tebus rasa bersalah, bagaimana kalau kita makan siang bareng? Di restoran kesukaan kamu, oke?" tawar Arimbi dengan senyum hangat, berusaha menghibur Amanda. Amanda memiringkan kepala, seolah berpikir sejenak. Lalu, wajahnya langsung berseri. "Beneran, Mama? Kita makan di sana? Wah, aku kangen banget sama ayam panggang di sana!" "Iya, beneran! Hanya hari ini aja, kita bisa santai dan makan yang kamu suka. Setelah itu kita bisa ke butik sebentar, ya? Kalau kamu mau, boleh ikut Mama liat-lihat barang baru juga," kata Arimbi, mencoba memberi pilihan yang menyenangkan bagi Amanda. Amanda menatap ibunya dengan penuh semangat. "Ya, boleh! Aku suka banget kalau kita pergi ke butik bareng. Tapi, Mama... kenapa Papa gak ikut? Kenapa dia selalu sibuk?" Arimbi merasa sedikit terperangah mendengar pertanyaan itu. Namun, dia berusaha tetap tenang. "Papa memang sering sibuk, sayang. Kadang pekerjaannya memang membutuhkan waktu lebih banyak, tapi itu bukan berarti dia gak sayang sama kita, kan?" jawab Arimbi dengan lembut. Amanda terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, aku ngerti. Tapi, aku tetap pengen Papa ada di sini, Ma." Arimbi meraih tangan Amanda yang duduk di sampingnya, menggenggamnya dengan lembut. "Mama juga ingin Papa lebih banyak di rumah, nak. Tapi, kita harus sabar, ya. Kadang hidup memang penuh dengan hal-hal yang harus kita jalani." Amanda menundukkan kepala, tetapi senyum kecil mulai muncul di bibirnya. "Yaudah, Mama. Kalau begitu, ayo kita makan. Aku lapar banget!" Arimbi tertawa pelan, merasa sedikit lega melihat anaknya mulai ceria lagi. "Ayo, kita makan dulu. Setelah itu kita bisa berbicara lebih banyak, oke?" Keduanya melanjutkan perjalanan mereka menuju restoran favorit Amanda, di mana mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk menikmati makan siang dan bercakap-cakap lebih jauh tentang kehidupan mereka. Setelah beberapa menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di restoran yang menjadi favorit Amanda. Begitu turun dari mobil, Arimbi sempat melirik ke arah wajah Amanda yang semakin cerah. Di restoran ini, suasananya santai dan nyaman, membuat Amanda selalu merasa istimewa setiap kali datang. "Ini dia, restoran kesukaan kamu. Pilih yang kamu mau, semua Mama traktir hari ini," kata Arimbi sambil membuka pintu restoran. Amanda melangkah masuk terlebih dahulu, matanya berbinar. "Terima kasih, Mama!" jawabnya riang. Mereka duduk di meja dekat jendela, tempat yang selalu mereka pilih saat makan di sini. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Amanda mulai bercerita. "Tadi di sekolah ada ulangan mendadak, Ma. Guru bilang, soal ulangan itu harus selesai dalam waktu singkat. Awalnya aku panik banget, soalnya soal-soalnya susah semua. Tapi... aku berhasil jawab semuanya, dan ternyata aku dapat nilai sempurna!" cerita Amanda dengan semangat, wajahnya berseri-seri. Arimbi tersenyum bangga, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Wah, anak Mama memang luar biasa! Nilai sempurna di ulangan mendadak? Itu hebat banget, Nak. Mama benar-benar bangga," ujar Arimbi, mata penuh kebanggaan. Amanda tertawa malu, matanya bersinar. "Iya, aku sempat takut gak bakal selesai tepat waktu, Ma. Tapi aku inget apa yang Mama ajarin, 'Jangan takut buat mencoba, dan jangan pernah nyerah'. Jadi aku tetap fokus dan akhirnya berhasil." Arimbi meraih tangan Amanda di atas meja, menggenggamnya dengan penuh kasih sayang. "Kamu benar-benar membuktikan itu, sayang. Kalau kamu bisa berusaha, hasilnya pasti akan memuaskan. Kamu hebat, Amanda," katanya lembut. Amanda tersenyum lebar, senang mendengar pujian dari ibunya. "Makasih, Mama. Aku juga senang banget bisa buat Mama bangga." "Sekarang, Mama janji," Arimbi berkata dengan suara ceria, "Karena kamu dapat nilai sempurna, Mama akan belikan kamu es krim besar! Pilih rasa yang kamu suka, bebas! Itu hadiah dari Mama untuk kamu yang sudah berusaha keras." Amanda langsung melonjak kegirangan. "Wah, beneran, Ma? Aku mau es krim rasa coklat dan vanila yang campur, banyak topingnya! Ini pasti es krim paling enak!" "Tentu saja! Kamu berhak dapat yang terbaik setelah usaha kerasmu. Gak ada yang lebih bahagia dari Mama selain melihat kamu sukses dan bahagia," jawab Arimbi dengan senyuman lebar. Setelah itu, pelayan datang membawa makanan mereka. Arimbi dan Amanda menikmati makan siang mereka dengan penuh keceriaan. Percakapan mereka meluas ke berbagai hal, tapi saat es krim datang sebagai hadiah, senyum Amanda tak terbendung. "Es krimnya enak banget, Ma! Terima kasih, Mama!" kata Amanda sambil menikmati sendok pertama. Arimbi melihat Amanda dengan rasa bangga yang tak tergantikan. "Mama senang kamu suka. Selalu ingat, Nak, setiap usaha yang kamu lakukan akan selalu dihargai, bahkan kalau hasilnya belum sempurna. Mama akan selalu ada untuk kamu, apa pun yang terjadi."Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya." Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but
Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A
Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A
Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai
Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg
Kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa menyayat hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, Arimbi berdiri dan berlari secepat mungkin ke kamar rawat VVIP yang tadi ia datangi. Pintu kamar itu terbuka, dan yang pertama ia lihat adalah Monika yang berdiri di samping ranjang Radit, tersenyum puas. Di sisi lain, Reza sedang berdiri, masih mengenakan jas dokternya, sementara kantong darah yang tadi ia bawa kini sudah tersambung ke infus Radit. Arimbi membeku di ambang pintu. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Reza menatapnya dengan ekspresi kaget, seolah baru sadar bahwa ia telah tertangkap basah. Arimbi tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. "Jadi… darahku… bukan untuk Amanda?" Suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Arimbi menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap suaminya dengan penuh pengkhianatan. "Reza… kau memintaku mendonorkan darahku, tapi bukan untuk anak kita? Kau… mengg
Di dalam ruang rawat, Monika duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. Mata merahnya berkaca-kaca, seolah ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia menggenggam tangan Reza erat-erat, suaranya bergetar penuh kesedihan. "Reza… aku tidak tahu harus bagaimana… Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal… Aku—aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya…" ucapnya dengan suara parau, lalu terisak. Reza menghela napas panjang. Matanya menatap Monika dengan penuh simpati, tangannya terangkat untuk mengusap punggung wanita itu. "Tenang, Monika… Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anak kita kesulitan," katanya lembut. Monika semakin terisak, bahunya bergetar. "Tapi Reza… Aku benar-benar tidak punya banyak tabungan… Aku sudah menghabiskan semua uangku untuk biaya pengobatan anak kita… Aku takut… Aku takut rumah sakit akan menolak merawatnya kalau kita tidak bisa membayar…" Reza menatapnya dalam-dalam. Ada sebersit rasa bersalah di hatinya, tapi ia segera mengabai
Arimbi berdiri dengan tubuh lemas, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Udara di rumah sakit terasa semakin menyesakkan saat dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat menatapnya dengan raut serius. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Bu Arimbi, kondisi Amanda sangat kritis. Ada serpihan kaca yang menancap di rongga dadanya, sangat dekat dengan organ vital. Kami harus segera melakukan operasi.” Arimbi merasa tubuhnya melemas seketika, pandangannya mulai berkunang-kunang. “Tapi…” dokter itu melanjutkan dengan nada berat, “…operasi ini berisiko tinggi. Kami butuh dokter bedah terbaik yang mengerti betul kondisi seperti ini. Dan satu-satunya dokter yang bisa menangani kasus ini adalah…” Dokter itu menggantungkan kalimatnya. “Siapa, Dok?” Arimbi buru-buru bertanya, hatinya terasa seperti diremas kuat. Dokter itu menatapnya penuh simpati. “Dokter Reza. Suami Anda.” Dunia A
Dentuman keras di dadanya seolah menggantikan detak jantungnya yang melemah. Arimbi berusaha menahan tangis, tetapi melihat tubuh mungil Amanda yang terbujur lemah di atas tandu, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis kecil itu terlalu pucat, terlalu diam. Nafasnya pendek-pendek, dan darah masih merembes dari luka di dadanya. "Tolong anak saya... Tolong dia... Saya mohon...!" suara Arimbi terdengar putus asa saat tim medis mendorong tandu menuju ambulans. "Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik." Seorang paramedis pria berusaha menenangkan Arimbi sambil dengan cekatan memasang alat bantu pernapasan ke wajah Amanda. Namun, Arimbi tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang kalau anaknya berada di antara hidup dan mati? Ketika akhirnya ia masuk ke dalam ambulans dan duduk di samping Amanda, tangannya langsung menggenggam erat tangan kecil putrinya. "Amanda, Sayang... Mama di sini... Mama di sini..." suaranya bergetar, sementara air matanya jatuh mengenai tangan A
Di tengah perjalanan menuju butik, Arimbi dan Amanda menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik dari radio mobil. Amanda masih terlihat ceria setelah menikmati es krimnya, sesekali dia bercerita tentang teman-temannya di sekolah. "Mama, nanti di butik boleh gak aku pilih satu baju baru?" tanya Amanda sambil menatap ibunya dengan mata berbinar. Arimbi tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka. Lagipula, butik Mama punya banyak koleksi baru yang pasti cocok buat kamu." Amanda bersorak kecil. "Yeay! Aku mau yang warnanya pink atau biru muda!" Arimbi tertawa pelan. "Baik, nanti kita cari yang paling bagus buat kamu, ya." Amanda tampak sangat bersemangat karena akan ikut ke butik ibunya. "Mama, butik Mama itu besar gak?" tanya Amanda sambil melompat-lompat kecil menuju mobil. Arimbi tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya. "Lumayan, sayang. Memang tidak sebesar perusahaan keluarga, tapi Mama bangun but
"Sayang, jangan lupa hari ini kita ada acara ulang tahun untuk Amanda," ujar Arimbi kepada Reza sang suami saat mereka sedang sarapan pagi."Iya, jam tujuh malam kan. Di restoran biasa," jawab Reza tanpa menatap ke arah istrinya. Dia sibuk dengan ponselnya."Jangan sampai terlambat, kami akan menunggu di sana," pinta Arimbi."Aku Tidak janji, kamu tau kan pekerjaanku yang mengharuskan ku untuk standby di rumah sakit," Jawab Reza. Dia tersenyum tapi bukan untuk Arimbi, tapi untuk isi Chat di ponselnya."Aku tau mas, masa kamu gak bisa meluangkan waktu untuk Amanda? Tidak lama hanya dua jam saja," ujar Arimbi."Arimbi, aku dah bilang, aku akan datang. Tapi aku gak janji akan datang tepat waktu. Sudah, aku gak mau pagi-pagi kita ribut masalah yang tidak penting. Aku berangkat dulu," ucap Reza seraya beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu utama, meninggalkan Arimbi yang masih menyelesaikan sarapannya.Dengan tergesa-gesa, Arimbi mengikuti suaminya sambil membawakan tas ker