“Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Pasedayu.”
“Pasedayu... Pasedayu...” Si nenek ketuk-ketuk keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. “Hemmm... Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!”
“Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!” menyahuti si kakek.
“Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak menyuruh...”
“Siapa gurumu?” bertanya Si Jin Budiman.
“Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu muka hitam!”
“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Si Jin Budiman tenang.
“Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri, Pasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit.
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setel
Jin Terjungkir Langit pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.Si Jin Budiman dapat merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!” katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-tiba manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. “Kek!”“Ada apa?!” tanya Jin Terjungkir Langit kesal.“Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”“Astaga!” Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik besar. Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah. Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!“
HUJAN turun dengan lebat membuat malam menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar menerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan lebat itu dua bayangan berkelebat ke arah selatan. Ketika sekali lagi kilat menyambung dan keadaan terang benderang sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua sosok perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain adalah Ruhcinta dan Ruhsantini yang tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Ramahila.Ruhsantini yang mengetahui letak rumah juru nikah terkenal di Negeri Jin itu berlari di sebelah depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari tempat berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur hujan keduanya terus saja melanjutkan perjalanan. Selain itu Ruhcinta mendesak terus agar bisa menemui Ramahila secepatnya.Ramahila memiliki beberapa rumah namun dia lebih sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit kecil di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Kare
“Biarlah aku jadi orang pengecut! Kalian berdua memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian juga harus berani mempertanggungjawabkan pembunuhan atas diri Ramahila! Aku akan segera menyebar kabar ke suluruh Negeri Jin! Ha... ha... ha!”“Jahanam kurang ajar! Makhluk di luar sana sengaja menjebak dan memfitnah kita!” kata Ruhsantini.“Suaranya datang dari samping rumah sebelah kanan!” bisik Ruhcinta. Dia memberi isyarat pada Ruhsantini. “Kau terus layani dia bicara. Aku akan naik ke atas atap dan menghantamnya dari sana!” Begitu habis bicara Ruhcinta melesat ke atas atap rumah lewat bagian yang jebol. Di dalam rumah Ruhsantini kembali berteriak. “Makhluk pengecut! Walau kau tidak berani unjukkan muka tapi dari suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!”“Hebat! Dugaan tidak ada artinya dibanding dengan kenyataan yang akan aku sebar luaskan di Negeri Jin. Dua perempuan bernama Ruhcinta dan R
Selagi berlari kencang dengan perasaan penuh suka cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan kening. Di jalan setapak yang lurus dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana ada seorang kakek mengenakan jubah coklat gelap, berkepala agak botak. Kumis, janggut dan alis putih. Kakek ini duduk menjelepok seenaknya di tengah jalan. Sepasang matanya terpejam-pejam. Tangan kirinya memegang sebatang pipa berwarna kuning yang asyik disedotnya sampai pipinya terkempot-kempot. Asap tembakau yang menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa kuning. Ketika Jin Selaksa Angin sampai di hadapan si kakek, karena jalan setapak itu kecil dan sempit dengan sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan terpaksa berhenti. Berdiri sedekat itu Jin Selaksa Angin jadi berdebar dadanya. Pipa kuning si kakek tak dikenal ternyata terbuat dari emas murni! Hati si nenek jadi tergerak. Seperti diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda berwarna kuning, apalagi yang terbuat dari emas. Sampai saat itu di le
Jin Selaksa Angin tak segera menjawab. Tangan kirinya meraba ke dada di mana tergantung sendok emas yang disebut Sendok Pemasung Nasib. Kebimbangan terlihat di wajahnya yang kuning. Melihat ini Jin Berpipa Emas segera membuka mulut.“Apa yang kau bimbangkan. Sendok butut yang ada padamu walau terbuat dari emas tak ada artinya dengan pipa ini. Pipa emas ini belasan kali lebih berat dari sendok itu. Jika kau gantung di lehermu, kau akan kelihatan lebih gagah dan agung! Apa kau tidak suka pada pipa emas ini?”“Aku suka, tapi sendok yang kau minta tak bisa kuberikan!”“Hai, mengapa begitu?”“Sendok itu sudah kujanjikan pada seseorang yang pernah menolongku!”Jin Berpipa Emas kembali perdengarkan tawa berderai sampai air matanya membasahi sudut-sudut matanya.“Janji masa sekarang setipis kabut di pagi hari. Begitu mentari muncul kabutpun hilang! Janji masa sekarang sulit dipertahankan, apalagi
“Aku tak ingin mati... Aku tak mau mati! Aku akan kawin! Pasedayu... Guru... Aku harus menemui Guru...” kata-kata itu keluar dari mulut si nenek. Dia kumpulkan seluruh sisa tenaga yang ada dan berusaha bangkit berdiri. “Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya mengigau!” kata Jin Berpipa Emas lalu tertawa gelak-gelak. Dia sisipkan pipa emasnya ke pinggang. Lalu pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke tangan kanan. Begitu Jin Selaksa Angin mencoba berdiri, Jin Berpipa Emas tusukkan sendok emas ke tenggorokan si nenek!Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar satu suitan keras. Disusul berkiblatanya sinar putih menyilaukan. Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik berada satu jengkal di atas kepala.Craaassss!Jin Berpipa Emas keluarkan jeritan setinggi langit. Tubuhnya terlempar dua tombak lalu bergulingan di tanah.Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak melayang dua buah benda. Yang pertama adal
Bintang mengambil bungkusan daun pisang kedua. Di dalam bungkusan daun pisang ini ditemuinya bubuk hitam. Sesuai ucapan makhluk tanpa ujud tadi Ksatria Pengembara tebarkan bubuk itu pada kening, kepala bagian belakang serta dada Jin Selaksa Angin yang cidera berat akibat keganasan kakek bernama Jin Berpipa Emas yang kini telah melarikan diri. Dengan ujung jubah kuning yang dikenakan si nenek Bintang bersihkan noda-noda darah di muka dan kepala Jin Selaksa Angin.Sambil menunggu apa yang bakal terjadi dengan si nenek, Ksatria Pengembara perhatikan seputar ruangan goa berbentuk empat persegi itu. Beberapa kali dia mendongak memperhatikan langit-langit goa berbentuk kerucut. Pada ujung kerucut dia melihat satu titik putih, bersinar seperti permata.“Goa aneh. Udara di sini terasa sejuk. Apakah ini tempat kediaman nenek tukang kentut ini? Sombong amat dia punya goa sebagus ini!” kata Bintang dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya sosok si nenek menggeliat. Lalu ada s
“Muridku! Dewa telah memberikan kesembuhan padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Hai! Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi?! Muridku, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau alami!”“Aku tidak mengeri Guru...” ujar si nenek. Dia berpaling pada Bintang dan bertanya. “Kau mengerti?” Ksatria Pengembara gelengkan kepala.“Muridku, aku pernah menuturkan padamu perihal riwayat pertama kali aku menemui dirimu. Aku akan mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali tergeletak pingsan di muara sungai Pahulupanjang. Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di sebelah utara telah terjadi malapetaka air bah besar. Mungkin sekali kau salah satu korban yang dihanyutkan banjir tetapi selamat tak sampai menemui ajal. Apakah kini penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang sebenarnya telah kau alami puluhan tahun silam?”Sepasang mata kuning Jin Selaks