Malah belakangan ini entah mengapa dia selalu terkenang pada dara cantik bernama Ruhcinta. Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau mendiang roh istrinya yakni Ruhrinjani muncul secara mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah diri menyamak di hati Maithatarun mengingat keadaan kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola batu itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna namun dia merasa seolah-olah itu juga merupakan satu cacat pada dirinya. Dia telah berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi tidak ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah batu tersebut. Satu-satunya jalan adalah mencari Jin Santet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk mengobati memusnahkan santetnya.
Bintang walau gembira melihat kedatangan Maithatarun namun karena lelaki itu datang bersama Ruhsantini maka dia merasa khawatir kalau Ruhrinjani yang belum lama pergi akan muncul kembali di tempat itu secara tidak terduga. Ingin memberi tahu
Bintang geleng-geleng kepalanya. ”Pada saat korban terakhir, lelaki berjuluk Jin Hati Baja menemui ajal, sebelumnya kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda lonceng yang membuat dia kesilauan. Hal yang sama juga terjadi dengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu hal yang diandalkan maka aku bisa menduga Pateleng hanya melayani orang-orang yang datang pada siang hari. Karena pada malam hari tidak ada sang surya!" Bintang pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala dia berkata. ”Kalau saja Ruhrinjani tidak muncul secara tiba- tiba menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi jerangkong seperti yang lain-lainnya itu”Maithatarun melirik ke arah Ruhsantini dan diam-diam menahan rasa kejut mendengar ucapan Bintang tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan karena Ruhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya Ruhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau sampai roh mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di tempa
Namun sambil lontarkan senyum genit dia berkata. "Kukira hanya aku saja yang mengingat-ingat peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah melupakan. Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah saatnya aku harus ke sana. Mungkin bersamamu...?"Maithatarun gembungkan rahangnya pertanda lelaki ini tidak senang dengan ucapan Ruhjelita barusan. ”Aku ingin kau berterus terang Hai Ruhjelita. Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku di Goa Pualam Pamerah itu?"Wajah Ruhjelita kelihatan berubah. Sepasang matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam naik ke atas. ”Hai, Maithatarun. Nada pernyataanmu seperti menuduh! Memangnya apa yang telah aku lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi tanpa cidera barang sedikit pun!""Bukan mustahil kau sengaja memancing menjebakku ke goa itu. Karena sebelumnya kau telah berserikat dengan Jin Muka Seribu. Buktinya Jin Muka Seribu tahu-tahu muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak membunuhku. Sementara kau sendiri lenya
Bintang anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap menatap Ruhjelita. Dia menatap dengan pandangan biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan hawa amarah atau kebencian. Hal itu membuat Ruhjelita agak lega sedikit. Maka gadis cantik dengan rambut tergulung di atas kepala itu menjawab polos."Tongkat ini memang bukan milikku. Aku menemukannya di satu tempat""Apakah kau tahu siapa pemiliknya?""Kalau aku tak salah menduga tongkat batu biru ini adalah milik seorang bergelar Tongkat Biru Pengukur Bumi”Bintang melirik pada Maithatarun membuat Ruhjelita menduga-duga apa arti lirikan itu."Kalau aku boleh bertanya lagi, di manakah pemilik tongkat itu sekarang berada?" ujar Bintang pula."Orang tua itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya" Ruhjelita tidak meneruskan ucapannya, dia cepat beralih kata. ”Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya”"Terima kasih atas keteranganmu," kata Bintang lalu tersenyum.
Maithatarun mendengus keras. Ruhsantini perlihatkan muka geram sementara Bayu mencibir dan Arya bersungut-sungut Bintang diam sesaat. Lalu sambil menggeleng kepala dia membatin."Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu seperti pernah kudengar sebelumnya”"Maithatarun, kakek teleng itu agaknya jerih melihat bola-Bola Neraka di kedua kakimu," bisik Bayu.Bintang menggeleng kepalanya kembali seraya berkata. ”Dia mengincar Ruhsantini. Tapi bukan mustahil dia menyembunyikan sesuatu... Kalau dugaanku betul..”Sementara itu Lonceng Kematian berputar terus dengan suara menggemuruh menggetarkan tanah lapangan."Kakek di atas rumah lonceng!" Bintang berteriak. ”Perempuan cantik baju merah ini menjadi milikmu jika kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini menjajal kehebatan loncengmu!""Bintang, lancang sekali mulutmu!" teriak Ruhsantini marah. Bayu dan Arya melongo.Maithatarun pelototkan mata. Tangan kirinya lang
"Aku Maithatarun, berjuluk Jin Kaki Batu!" jawab Maithatarun."Hemmmm” Pateleng bergumam. Dalam hati dia merutuk. ”Jin keparat, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Pateleng pindahkan pipanya ke tangan kiri. Bintang memperhatikan tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran, pertanda dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan kanan berada di hulu pedang, Bintang siapkan pukulan Matahari Terik di tangan kiri.Pateleng tancapkan bendera kuning di roda lonceng yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke pinggiran roda lonceng seraya berseru."Satu!"Lonceng Kematian menggemuruh dan berputar kencang. Maithatarun mulai berlari-lari di atas roda lonceng. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah lonceng itu agaknya dalam waktu tidak berapa lama lagi akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!-o0o-GEMURUH suara Lonceng Kemat
Bintang dan tiga orang lainnya yang sejak tadi sudah mengambil sikap penuh waspada, begitu melihat Pateleng berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke empat orang ini segera menghantam ke arah Pateleng yang saat itu telah pula melancarkan pukulan sakti Jin Hijau Penjungkir Langit.Bintang lepaskan pukulan Matahari Terik lalu jatuhkan diri dan bergulingan di atas atap. Pedang Pilar Bumi yang sudah ada di tangan kanannya ditebaskan ke arah tonjolan kayu yang dipijak Pateleng. Bukan saja dia hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu tapi sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri Pateleng. Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya.Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk menendang kepala Bintang, Arya dan Bayu telah lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi kakek ini terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam pinggiran roda lonceng. Satu jeritan dahsyat menggelegar dari mulut Pateleng. Darah tampak mengucur dari bahu ki
Yang ditanya palingkan kepalanya ke arah Bintang, pandangi Bintang mulai dari kepala sampai ke kaki lalu berkata. ”Orang muda kau adalah manusia hebat dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka karena begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu. Penuh suka walau ujian dan bahaya mengancam di mana-mana. Aku senang bertemu denganmu”Bintang geleng-geleng kepalanya”Kek, apa mungkin kau seorang juru ramal?!" tanya Bintang pula.Kakek berpakaian ungu itu tersenyum. ”Aku datang dari jauh mencari Maithatarun untuk menyerahkan satu benda sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana selama beberapa tahun” Habis berkata begitu si kakek lalu duduk di hadapan Maithatarun. Dia singsingkan bagian bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di situ, si kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan kaki kanan."Praaakk!"Kaki hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak ada darah yang me
Pahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan duduk. Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling. "Ruhmintari istriku! Di mana aku jatuh di situlah tempat perpisahan kita. Mungkin ini satu petunjuk. Agaknya di sini aku harus menyemayamkan dirimu! Hai Ruhmintari, tubuh kasar kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak akan lama kau menunggu. Aku akan menyusulmu. Tunggu aku di alam roh Hai istriku!" Dengan hati-hati Pahambalang dudukkan mayat istrinya di tanah, bersandar ke batu besar di belakangnya. Air mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan penuh berewok meranggas. Berkali-kali dia mengusap rambut Ruhmintari. Berkali-kali pula dia menciumi wajah perempuan itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah tidak bertulang lagi, namun saat itu tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan, Pahambalang melompat ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan diacungkan ke langit dia berteriak."Para Dewi di atas langit! Untuk semua apa yang telah kalian la