Dewi Asmara Darah cepat mengikuti kepergian Jagal Bawoh. Tak disadarinya, Gigih Tampan yang belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Jagal Bawoh dan Dewi Asmara Darah.
Sambil menahan luka berat, Gigih Tampan berusaha untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon. Hatinya mulai membatin, "Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan menceritakan tentang Pedang Merah itu. Pasti Guru tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut! Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka itu dari tangan Jagal Bawoh, bukan untuk kuserahkan kepada Dewi Asmara Darah, tapi untuk kumiliki sendiri! Dewi Asmara Darah ternyata racun dalam hidupku!"
Geram sekali Gigih Tampan setelah menyadari bahwa ternyata Dewi Asmara Darah memang ada hubungan dongan Jagal Bawoh. Selama ini, Gigih Tampan tidak menduga bahwa rayuan Dewi Asmara Darah hanya racun bagi hidupnya
Tetapi jauh sebelum Aria Amante mendapat tugas menghancurkan batu lentera penyebar penyakit di Bukit Tengkorak, Begawan Mega Merah pernah berkata, bahwa kelak apa pun yang terjadi, Aria Amante harus mempertahankan kuil itu dan melindungi dari jamahan tangan-tangan sesat.Tak boleh ada yang merusak kuil itu, tak boleh ada yang masuk ke ruang cipta hening, sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap dengan sendirinya, dan Aria Amante akan menerima titisan ilmu dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Mega Merah.Aria Amante mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil Mega Merah sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat, ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal oleh Aria Amante. Merasa iba melihat nasib gadis itu, Aria Amante cepat ambil tindakan selamatkan gadis itu. Ilmu pengobatan dari gurunya digunakan, dan gadis itu selamat dari maut yang nyaris merenggut nyawanya. Gadis itulah yang kemud
Aria Amante hanya sunggingkan senyum berlesung pipit itu, kemudian ia ucapkan kata, "Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai! Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati, dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki.""Hi hi hi!" Gincu Perawan tertawa. Bodoh amat kau! Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang damai, tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Aria ! Hi hi hi! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki, melainkan dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa kupermainkan kapan saja! Nyawa lelakipun bisa kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi!"Hanya senyum yang ada di wajah Aria Amante kala itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah kaki Gincu Perawan. Hanya langkah kaki itu yang bisa didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari Gincu Pera
Gincu Perawan tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan kata, “Apakah kau tak berhasrat memiliki Pusaka Pedang Merah?"“Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab Aria Amante jujur. Karena dia memang perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.“Kalau kau memiliki Pedang Merah, kau akan menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin pula tak ada tandingannya!"“Apakah begitu sifat orang yang memiliki Pusaka Pedang Merah?" Aria Amante justru merasa heran dengan penjelasan Gincu Perawan. Karena menurut pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu Perawan, lantas mengapa sang Begawan Mega Merah mati di tangan orang? Bukankah Begawan Mega Merah dikenal sebagai pemilik Pusaka Pedang Merah?"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan yang dimiliki Pedang Merah! Tetapi ia juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencu
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit tubuh manusia," kata Gincu Perawan. "Orang yang tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat ditolong lagi!""Dari mana kau tahu?"“Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Perawan."Siapa pemiliknya? Apakah Jagal Bawoh atau Dewi Asmara Darah?""Bukan!" jawab Gincu Perawan dengan tegas. "Pisau ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Timur.""Maksudmu... Eyang Sambar Nyawa?""Benar!""Tidak mungkin!" sanggah Aria Amante. "Eyang Sambar Nyawa adalah teman baik Begawan Mega Merah! Ia juga baik kepadaku!""Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah tersimpan kebusukan?""Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar Nyawa!"Baru saja Aria Amante selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Perawan terpekik, “Awas!" sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya dengan gerakan mendadak Aria Amante. Tubuhnya s
“Angin Sambar Nyawa yang hanya datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Perawan, rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit menahan derasnya angin menerpa."Siapa pemilik Angin Sambar Nyawa ini?!""Siapa lagi kalau bukan Eyang Sambar Nyawa!"Di hati Aria Amante menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang Sambar Nyawa. Hubungannya nyaris seperti hubungan antara murid dan guru, karena Eyang Sambar Nyawa sering kasih saran dan pandangan hidup kepada Aria Amante. Bahkan sering juga Eyang Sambar Nyawa mengingatkan kepada Aria agar menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan ajaran gurunya.Jika benar Eyang Sambar Nyawa yang bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya? Apa pula maksud Eyang Sambar Nyawa dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh Aria? Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran adalah Gincu Perawan? Bukan Aria ? Rasa- ras
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya, tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan tersebut.Kini, Gincu Perawan tiba di depan ruang cipta hening, ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau dilepas.Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel. Jadi menurut dugaan Gincu Perawan, pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya. Tak ada lu
Wusss! Dugggh!Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Perawan terpental ke belakang dan jatuh nyaris terlentang."Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam! Sama saja aku menendang diriku sendiri tadi?!"Gincu Perawan bangkit. Telapak tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap dari arah belakangnya,"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"Terkejut Gincu Perawan mendengar sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu, Gincu Perawan segera mengenali orang tersebut, yang tak lain adalah si Eyang Sambar Nyawa. Jari-jari kesepuluh kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu panjang. Kuk
"Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!""Tua bangka banyak cakap kau, hiii!"Crass!Sinar merah keluar dari telapak tangan Gincu Perawan. Tapi Gincu Perawan sendiri yang pekikkan suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas itu ditangkap dengan kibasan tangan Eyang Sambar Nyawa. Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang bernyala-nyala diatas telapak tangan Eyang Sambar Nyawa. Kemudian, Eyang Sambar Nyawa melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di samping ruang pemujaan tersebut.Wuttt! Duarr! Batu itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Eyang Sambar Nyawa palingkan pandang ke arah Gincu Perawan sambil sunggingkan senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu Perawan."Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya?!