Derana membuka pintu apartemennya dan melangkah masuk, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia menutup pintu dan bersandar di belakangnya, mencoba mencerna semuanya.“Kenapa Selia bisa ada di apartemen ini? Kenapa dia juga tahu tempat tinggalku?” pikirnya. Keberadaan Selia yang tiba-tiba terasa terlalu kebetulan.Wanita itu melangkah masuk ke dalam. Kegelapan menyambutnya dengan keheningan yang menyesakkan, membuatnya merasa semakin terisolasi. Ia menghela napas, berpikir bahwa Arash, belum pulang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyalakan lampu, dan seketika ruangan itu dipenuhi cahaya yang menerangi seluruh ruangan.Ia mengambil segelas air dan menenggaknya hingga tandas, berharap cairan dingin itu bisa meredakan ketegangan yang masih mencengkeram tubuh. Namun, rasa takut dan cemas masih bersemayam. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar tidurnya yang sunyi. AC menyala, menyebarkan hawa dingin yang merambat perlahan, menambah kesan dingin dan
Derana menatap Arash dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak percaya kamu bisa berpikir seperti itu tentang aku,” katanya dengan suara bergetar.Tanpa menunggu jawaban, Derana berbalik badan, bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Arash yang terdiam.Lelaki itu berdiri terpaku, menatap kekosongan ruang. Kesadaran menyergapnya, perasaan menyesal segera menguasai.“Apa yang telah aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri.Keheningan yang menyelimuti ruangan itu hancur oleh helaan napas panjangnya. Sembari meraup wajah, Arash duduk.Pikirannya berputar, mengingat setiap detail yang terjadi. “Bagaimana bisa aku melakukan itu?” gumamnya pelan, penuh penyesalan. Ia duduk terdiam, merenungi tindakannya Ia menyadari kesalahan yang telah diperbuat, dan penyesalan itu datang seperti gelombang yang tak tertahankan.Arash seharusnya tak perlu peduli jika Derana marah atau kesal. Namun, ada sesuatu aneh yang mengganjal di hatinya. Apalagi saat melihat kaca-kaca pada pelupuk mata wanita itu
Arash tersentak, matanya membelalak sebelum akhirnya menghela napas panjang ketika mengenali sekretarisnya.“Kenapa masuk tanpa mengetuk?” tanyanya dengan tatapan mengintimidasi. Ekspresi terganggu terlihat jelas di wajah Arash yang menegang.Sekretaris itu langsung menyesali perbuatannya. “Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya tahu seharusnya mengetuk, tapi ini sangat mendesak,” katanya dengan nada penuh penyesalan, berharap Arash bisa memahami urgensi situasinya.Arash mengerutkan kening. “Bicara!”Meskipun sedikit gugup, sekretaris lelaki itu tetap berdiri tegak, “Saya datang membawa berita penting yang harus Anda ketahui segera.”“Ini tentang Nyonya Ilona dan transaksi yang baru beliau lakukan.”“Saham perusahaan Tuan Haka anjlok drastis setelah transaksi besar yang dilakukan oleh Nyonya Ilona,” jelas sekretaris itu.Mendengarnya, raut yang semula mengintimidasi bak elang yang siap menerkam, perlahan melunak. Untuk kemudian, sebuah smirk muncul di sudut bibirnya, dan Arash terk
Dalam keheningan ruang, suara detak jam terdengar lebih keras dari biasanya. Namun, hal itu tak mengusik Haka yang duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam pikirannya.Lelaki itu memijat pelipisnya, mencoba meredakan sakit kepala yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara kekesalan dan emosi yang tak terkendali.Di luar jendela, langit mulai gelap, menambah suasana muram di dalam ruangan. Haka menatap meja kerjanya yang penuh dengan dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Wajahnya terlihat tegang, alisnya berkerut, dan matanya menunjukkan kelelahan. “Bagaimana bisa aku begitu bodoh?” gumamnya.“Kenapa dari awal aku tidak mencurigai Arash. Bagaimana bisa orang seperti dia, dengan jadwal yang begitu padat, tiba-tiba mau bekerja sama denganku? Bahkan dia juga datang ke pesta itu… Seharusnya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku terlalu terpesona oleh reputasinya, terlalu buta untuk melihat tanda-tanda peringatannya.”Haka menghela napas berat, menatap
Derana terkesiap, napasnya terhenti seketika saat cengkeraman Haka tiba-tiba mendarat di lehernya.“Jangan pernah meremehkan aku lagi, Derana!” Haka berkata dengan gigi terkatup.Matanya menyala dengan kebencian. Sementara Derana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin menekan lehernya, membuat napas Derana semakin tersendat.”“Aku akan memastikan kau dan Arash membayar untuk semua ini. Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berurusan,” Haka menegaskan kembali.“Kau akan menyesalnya!” Haka mengancam.“Kau benar-benar sudah ada di ambang kehancuran, Haka!” Derana berkata dengan terbata-bata.Derana tidak bisa berkutik, tubuhnya membeku dalam cengkeraman dingin yang semakin kuat. Rasa sakit yang tajam menjalar, seolah tulang lehernya hampir patah.Tatapan mata tajam itu, seakan ingin menelan seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya. Meski hatinya bergetar ketakutan, Derana membalas tatapan itu dengan kilatan yang tak kalah menusuk. Wanita itu menolak untuk men
Di sudut ruangan dengan pencahayaan remang, Derana berdiri dengan tatapan resah, memikirkan bagaimana nasib dirinya yang masih terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. Musik yang mengalun lembut dan tawa riang para tamu seolah menjadi latar belakang yang kontras dengan perasaannya yang hancur.Dirinya merasa seperti seorang penonton yang terasing di tengah keramaian pesta. Sedari tadi, pandangannya tak pernah lepas pada Haka, suaminya, yang sedang berdansa dengan wanita lain di tengah lantai dansa. Hatinya terasa seperti diremas-remas, setiap tawa dan senyuman Haka dengan wanita itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Derana mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, namun rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia teringat saat-saat indah mereka dulu, saat Haka masih menjadi pria yang setia dan penuh kasih. Namun kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah sangat jauh, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghancurkan hatin
Derana duduk di sebuah kafe mewah, tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Arash. Pikirannya penuh dengan keraguan dan ketakutan, namun juga ada secercah harapan untuk membalaskan dendam pada suaminya yang telah menghancurkan hatinya.Kata-kata Arash semalam masih menggema di hati Derana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan semangat baru. Pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, tetapi sebuah titik balik. Derana berharap, dengan bantuan Arash, ia bisa menemukan kembali makna hidup dan tujuan yang selama ini hilang. Arash bukan hanya seorang CEO, tetapi dia juga dikenal sebagai Ikon Industri, seorang pemimpin yang dihormati dan cukup disegani. Kekayaan yang dimiliki lelaki itu sudah tak terhitung dan jaringan koneksi yang dimilikinya sangat membentang luas. Derana sering mendengarnya, jika banyak orang-orang berbondong-bodong mengejar kerja sama dengan Arash, berharap mendapatkan sepotong dari keberhas
“Apa yang akan Anda rencanakan?” “Rencana ini tidak terlalu sulit untuk Anda. Aku akan menjelaskan nanti di perjalanan.” Lalu, tanpa ingin mendesaknya lagi, Derana mengiakan. Mereka meninggalkan kafe dan menuju mobil mewah Arash yang sudah menunggu di luar. Sepanjang perjalanan, Derana tidak bisa berhenti memikirkan keputusan yang baru saja diambilnya. Apakah ini benar-benar jalan yang tepat? “Kita akan mengadakan konferensi pers besok untuk mengumumkan pernikahan kita. Aku ingin kamu bersiap-siap,” ucap Arash memecah keheningan pada akhirnya. Derana mengangguk pelan. “Tapi bagaimana dengan Haka dan Ilona? Apa rencanamu selanjutnya?” Lelaki di sampingnya itu tersenyum tipis. “Kita akan mulai dengan menghancurkan reputasi mereka. Aku punya beberapa informasi yang bisa kita gunakan. Tapi untuk sekarang, fokuslah pada peranmu sebagai istriku dulu.” Tidak ada tanggapan yang bisa Derana ungkapkan, selain helaan napasnya yang mengalun. Mungkin untuk saat ini, ia akan mengikuti perinta