Dalam kegelapan malam, mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan berbicara. Wajah mereka semakin dekat, napas mereka hampir bersatu. Saat bibir mereka hampir bersentuhan, dering telepon mengacaukan segalanya. Arash tersentak, menarik diri dengan cepat, “Maaf.” Derana hanya mengangguk, meski wajahnya tertunduk menahan malu. Pipinya memanas, ingin sekali rasanya menghilang dari muka bumi secepat mungkin. Tampak tak jauh dari hadapannya, lelaki itu gegas merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel yang beberapa kali berdering. “Halo?” Suaranya terdengar sedikit serak, bahkan dia terdengar berdeham, mencerminkan kegugupan yang masih tersisa dari momen sebelumnya. Dia berusaha fokus pada percakapan di telepon, meski pikirannya masih terpecah antara panggilan itu dan Derana yang berdiri di depannya.Hanya saja lelaki itu tidak mengetahui, saat membelakangi Derana yang tengah meringis sembari memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan, mencoba mengusir rasa malu yang membara. Bibir
Derana menatap inisial itu dengan penuh kebingungan, “A?”Inisial itu bisa berarti banyak hal, tapi yang paling mengganggunya adalah kemungkinan bahwa itu adalah singkatan dari nama seseorang yang sangat ia kenal, pikirannya langsung melayang ke beberapa nama.“Arash?” Dia terkekeh, “Tidak mungkin.”Tapi bagaimana jika itu adalah pesan dari seseorang yang ingin memperingatkannya tentang Arash? Atau mungkin itu adalah nama seseorang yang terlibat dalam rencana besar? Derana mencoba mengabaikan pikiran itu, lalu menghela napas sembari melipat surat tersebut kembali, mungkin terlalu banyak risiko jika Arash mengetahui apa yang baru saja ditemukannya.“Derana.” Suara itu membuatnya tersentak. Derana berbalik dan refleks menyembunyikan benda itu di belakang tubuhnya. Senyum tipis terpatri di wajahnya, berusaha tenang menutupi kegugupannya.Sementara itu, Arash berdiri sembari menggaruk tengkuknya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa tidak nyaman. “Kamu sedang sibuk, ya?”
Derana duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan hati-hati. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa SMA-nya. Saat itu, dirinya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Cinta yang begitu murni dan polos, membuat hatinya berdebar setiap kali melihat senyum kekasihnya.Ia ingat bagaimana mereka sering bertemu di perpustakaan, berpura-pura belajar padahal hanya ingin menghabiskan waktu bersama. Kekasihnya selalu tahu cara membuatnya tertawa, bahkan di hari-hari tersulit. Mereka berbagi mimpi dan harapan, merencanakan masa depan yang indah bersama.Namun, takdir berkata lain. Lelaki itu menghilang tanpa kabar, meninggalkan luka mendalam di hati Derana. Tanpa kepastian, dia pergi begitu saja, seolah hilang ditelan bumi. Meski sejak saat itu, Derana sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah membiarkan dirinya jatuh cinta lagi, ia justru menikah dengan Haka karena pilihan orang tua.Tapi sekarang, melihat wajah Arash yang begitu dekat, perasaan lama itu kembali muncul. Ja
Pada saat yang sama, di sebuah kediaman yang megah, pagi itu terasa berbeda bagi Haka pada Ilona. Mereka duduk di meja makan, bersiap untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Namun, suasana pagi ini terasa aneh. Ilona tampak tidak peduli padanya, tidak menunjukkan perhatian seperti biasanya.Diam-diam lelaki itu terus mencuri pandang, memperhatikan Ilona yang sedang berkutat menikmati sarapannya.Ada yang berbeda pada wanita itu. Dia terlihat tersenyum-senyum tanpa sebab, seolah pikirannya sedang melayang ke tempat lain. Padahal Haka, duduk tepat di depannya, namun Ilona tampak tenggelam dalam dunianya sendiri.Haka mencoba bertanya, “Apa dasi baruku sudah dicuci?”“Yaa...” Tanpa menoleh mengalihkan perhatiannya, Ilona hanya menjawab singkat.Karena hal itu membuat pikiran yang tidak seharusnya bermunculan. Haka menyipit, “Ilona, kamu baik-baik saja?”“Yaa, tentu!” jawabnya dengan antusias, “Aku baik-baik saja!”Pada saat itu, Ilona sama sekali tidak mendongak. Wanita itu tetap foku
Senja mulai merayap di langit kota ketika Derana akhirnya tiba di rumah setelah hari yang panjang di kantor. Kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap bersemangat untuk menyiapkan hidangan makan malam. Aroma bawang putih serta rempah-rempah mulai memenuhi dapur kecilnya, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya malam di luar. “Ting-Tong.”Bunyi bel pintu memecah fokusnya, Derana mengernyit. Rasa penasaran membuatnya bergegas mematikan kompor. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu dan membukanya. Di sana, berdiri sekretaris Arash dengan sebuah dokumen di tangannya. Sebuah senyum terpatri ketika tatapan keduanya bertemu. “Selamat malam, Nyonya,” ucap pria berjas rapi itu, membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat.“Selamat malam,” balas Derana, senyumnya tetap terjaga, “Ada yang bisa saya bantu? Arash, ada di dalam.”Sekretaris itu mengeluarkan sebuah map dari tasnya, “Saya hanya ingin menitipkan dokumen ini untuk Tuan Arash. Bisakah Anda menyampaika
Gelapnya malam perlahan-lahan tersingkir oleh cahaya keemasan yang menyebar dari timur. Matahari bergerak cepat di langit, dan sebelum menyadarinya, senja tiba dengan warna-warna indahnya.Hari itu berlalu dalam kabut kelelahan. Ketika akhirnya matahari mulai tenggelam, Derana merasa seperti pelaut yang akhirnya melihat daratan setelah berhari-hari terombang-ambing di lautan.Langkah kaki lelah itu menggema di koridor kantor, suasana sepi semakin terasa saat dirinya tiba di basement. Hanya beberapa mobil yang tersisa, berjejer seperti saksi bisu dari hiruk-pikuk hari yang telah berlalu. Keheningan malam menyelimuti tempat itu, membuat setiap suara kecil terdengar jelas dan menggema di ruang kosong.Degh.Langkahnya terhenti, seiring dengan detak jantungnya yang mengikuti. Spontan, derap langkahnya pun memantul di dinding beton—mengundang langkah kaki lain juga ikut terhenti, seolah pemiliknya mendengar dan merespons kehadirannya—dia sigap menoleh. Dua figur itu membuat Derana berdiri
Di sudut ruangan dengan pencahayaan remang, Derana berdiri dengan tatapan resah, memikirkan bagaimana nasib dirinya yang masih terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. Musik yang mengalun lembut dan tawa riang para tamu seolah menjadi latar belakang yang kontras dengan perasaannya yang hancur.Dirinya merasa seperti seorang penonton yang terasing di tengah keramaian pesta. Sedari tadi, pandangannya tak pernah lepas pada Haka, suaminya, yang sedang berdansa dengan wanita lain di tengah lantai dansa. Hatinya terasa seperti diremas-remas, setiap tawa dan senyuman Haka dengan wanita itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Derana mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, namun rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia teringat saat-saat indah mereka dulu, saat Haka masih menjadi pria yang setia dan penuh kasih. Namun kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah sangat jauh, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghancurkan hatin
Derana duduk di sebuah kafe mewah, tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Arash. Pikirannya penuh dengan keraguan dan ketakutan, namun juga ada secercah harapan untuk membalaskan dendam pada suaminya yang telah menghancurkan hatinya.Kata-kata Arash semalam masih menggema di hati Derana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan semangat baru. Pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, tetapi sebuah titik balik. Derana berharap, dengan bantuan Arash, ia bisa menemukan kembali makna hidup dan tujuan yang selama ini hilang. Arash bukan hanya seorang CEO, tetapi dia juga dikenal sebagai Ikon Industri, seorang pemimpin yang dihormati dan cukup disegani. Kekayaan yang dimiliki lelaki itu sudah tak terhitung dan jaringan koneksi yang dimilikinya sangat membentang luas. Derana sering mendengarnya, jika banyak orang-orang berbondong-bodong mengejar kerja sama dengan Arash, berharap mendapatkan sepotong dari keberhas