Share

04. Awal Dari Kehancuran

Malam itu, di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, Haka dan Ilona sedang menikmati makan malam. Mereka tidak menyadari badai yang akan datang. Tawa dan percakapan mereka mengalir dengan mudah, merasa aman dalam kebohongan mereka. Namun, malam itu akan menjadi awal dari kehancuran mereka.

Sebab, di balik itu. Di sudut gelap restoran, seorang pria dengan jaket hitam tengah mengamati mereka dengan seksama. Dia mengambil beberapa foto dengan kamera kecilnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang yang kini berada di sebuah apartemen mewah di lantai atas gedung pencakar langit, Derana menerima pesan tersebut. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa rencana balas dendamnya mulai berjalan.

Arash telah mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan Haka dan Ilona, termasuk foto-foto dan rekaman percakapan yang bisa menghancurkan reputasi mereka.

“Besok pagi, kita akan mengirimkan semua bukti itu ke media,” kata Arash dengan nada dingin.

“Aku ingin mereka merasakan rasa malu yang sama seperti yang kamu rasakan.”

Derana mengangguk, merasa campuran antara kegembiraan dan ketakutan. “Tapi apa yang akan terjadi pada mereka?”

Arash tersenyum tipis. “Haka akan kehilangan pekerjaannya, dan Ilona akan diusir dari lingkaran sosialnya. Mereka akan merasakan penderitaan yang sama seperti yang mereka berikan padamu.”

Mendengar itu, sekelabat cemas merasuk ke dalam diri Derana. Entah mengapa, dirinya tak yakin dengan rencana awal ini. Namun, Derana tidak bisa menentang itu. Ia hanya bisa mengangguki atas wewenang Arash, berharap rencananya berhasil. Dalam hatinya, doa-doa kecil terucap, memohon agar segala sesuatunya berjalan sesuai harapan.

“Istirahatlah. Siapkan dirimu untuk besok.”

Derana mengangguk untuk kesekian kali. Lalu pergi melenggang ke kamar pribadinya.

Keesokan paginya, berita tentang perselingkuhan Haka dan Ilona sudah tersebar luas. Media sosial pun sudah dipenuhi dengan komentar-komentar pedas, dan reputasi mereka hancur dalam sekejap.

Sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan, Haka langsung menerima deretan telepon dari kolega-koleganya dengan bertubi-tubi. Mereka meminta untuk segera membatalkan kontrak, dan beberapa investor bahkan mengundurkan diri.

Situasi itu semakin memburuk ketika Haka menerima panggilan dari seorang mitra bisnis yang sangat penting, seseorang yang sangat sulit ia dapatkan untuk bekerja sama. Mitra tersebut memintanya untuk datang ke kantor segera.

Di dalam ruang pribadi kantor, Haka sedang marah. Lelaki itu mengobrak-abrik isi meja, kertas-kertas sudah berserakan di lantai, pena-pena terlempar ke segala arah. Pikirannya penuh dengan tanda tanya, mencoba menerka-nerka siapa yang berada di balik menyebarluasnya berita tersebut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah ketegangan yang sudah memuncak.

Tiba-tiba, pintu terbuka, memperlihatkan sosok sekretarisnya yang masuk dengan wajah cemas.

“Pak Haka, ada kabar lain,” katanya sambil menyerahkan sebuah tablet.

Di layar, terlihat konferensi pers Derana dan Arash yang kemarin mengumumkan pernikahan mereka. Menyaksikan itu membuat Haka tertegun sejenak dengan bola mata membelalak tak percaya.

Lelaki itu sontak menggebrak meja kerjanya dengan keras, membuat sekretaris Abimanyu itu terkejut di buatnya. Dia memandang nyalang membuat sekretarisnya itu langsung menunduk takut.

“Bagaimana bisa terjadi? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Derana itu masih istriku,” hardiknya dengan suara bergetar.

Sekretaris lelaki itu perlahan mengangkat wajah, menatapnya dengan ragu-ragu. “Maaf Pak, bukankah Anda sudah menerima surat cerai beberapa hari lalu. Mungkin Anda lupa membukanya.”

Tatapan mengintimidasi itu jelas terpancar ketika Haka mendadak diam, seolah tidak terima dengan pernyataan sang sekretaris, bahwa itu keteledorannya sendiri.

Abimanyu menelan ludah, merasa gugup di bawah tatapan tajam Haka. Membuat tubuhnya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar kencang.

Pada saat itu Haka masih membisu, matanya melirik ke segala arah, seolah-olah menembus ruang dan waktu, sementara alisnya berkerut, menunjukkan kebingungan yang mendalam.

Beberapa hari lalu, ia memang menerima sebuah surat, tapi dalam kekacauan pekerjaannya, ia hanya mengabaikan dan langsung saja memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.

Dengan tangan gemetar, lelaki itu meraih knop dan membuka laci meja dan menemukan surat cerai yang masih tersegel. Perlahan, ia merobek amplop itu dan membaca isinya. Kenyataan itu kini terpampang jelas di depan matanya. Derana telah pergi, dan ia baru menyadarinya sekarang.

Amarahnya semakin memuncak. Urat-urat di leher dan tangannya itu menonjol, bahkan wajahnya memerah seperti bara api.

Ia merasa dikhianati oleh Derana

“Arrghhh! Kurang ajar! Berani-beraninya kamu Derana!”

Setelah berteriak penuh emosi, Haka kembali mengobrak-abrik isi meja dengan brutal, membuat kertas-kertas itu kembali beterbangan, dan barang-barang berjatuhan ke lantai.

Dengan gerakan cepat dan kasar, Haka meraih jasnya dan keluar dari ruangan, langkahnya berat dan penuh kemarahan. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah, dengan pikiran yang berkecamuk.

Namun, baru saja ia menginjakkan kakinya di ambang ruang tamu, lelaki itu sudah menemukan Ilona tengah tersedu-sedan.

“Apa yang terjadi?” tanya Haka dengan suara yang cukup keras.

Ilona mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. “Semua orang sudah tahu tentang kita. Aku diusir dari klub sosial, dan teman-temanku tidak mau berbicara denganku lagi.”

“Siapa yang melakukan itu?” teriak Haka yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Ilona.

Haka merasakan amarah yang semakin membara di dalam dadanya. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak meledak.

“Kita akan mencari tahu siapa yang melakukan ini,” katanya dengan tatapan tajam.

“Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidup kita.”

Ilona menatap Haka dengan mata yang penuh ketakutan. “Tapi bagaimana caranya? Sedangkan kita tidak tahu siapa yang menaruh dendam itu. Mereka pasti punya kekuatan dan pengaruh yang besar sehingga berita-berita itu cepat menyebar luas.”

Haka mendekati Ilona, menggenggam tangannya erat. “Kita akan melawan mereka bersama. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”

Saat mereka berdua berdiri di sana, Haka melihat sekelebat bayangan yang melintas di dekat jendelanya. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

“Ilona, tunggu di sini,” bisiknya. Ia melangkah maju, mencoba melihat lebih jelas. Apakah selama ini ada yang diam-diam mengintai mereka?

“Siapa di sana?” batinnya berkata penuh tanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status