Malam itu, di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, Haka dan Ilona sedang menikmati makan malam. Mereka tidak menyadari badai yang akan datang. Tawa dan percakapan mereka mengalir dengan mudah, merasa aman dalam kebohongan mereka. Namun, malam itu akan menjadi awal dari kehancuran mereka.
Sebab, di balik itu. Di sudut gelap restoran, seorang pria dengan jaket hitam tengah mengamati mereka dengan seksama. Dia mengambil beberapa foto dengan kamera kecilnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang yang kini berada di sebuah apartemen mewah di lantai atas gedung pencakar langit, Derana menerima pesan tersebut. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa rencana balas dendamnya mulai berjalan. Arash telah mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan Haka dan Ilona, termasuk foto-foto dan rekaman percakapan yang bisa menghancurkan reputasi mereka. “Besok pagi, kita akan mengirimkan semua bukti itu ke media,” kata Arash dengan nada dingin. “Aku ingin mereka merasakan rasa malu yang sama seperti yang kamu rasakan.” Derana mengangguk, merasa campuran antara kegembiraan dan ketakutan. “Tapi apa yang akan terjadi pada mereka?” Arash tersenyum tipis. “Haka akan kehilangan pekerjaannya, dan Ilona akan diusir dari lingkaran sosialnya. Mereka akan merasakan penderitaan yang sama seperti yang mereka berikan padamu.” Mendengar itu, sekelabat cemas merasuk ke dalam diri Derana. Entah mengapa, dirinya tak yakin dengan rencana awal ini. Namun, Derana tidak bisa menentang itu. Ia hanya bisa mengangguki atas wewenang Arash, berharap rencananya berhasil. Dalam hatinya, doa-doa kecil terucap, memohon agar segala sesuatunya berjalan sesuai harapan. “Istirahatlah. Siapkan dirimu untuk besok.” Derana mengangguk untuk kesekian kali. Lalu pergi melenggang ke kamar pribadinya. Keesokan paginya, berita tentang perselingkuhan Haka dan Ilona sudah tersebar luas. Media sosial pun sudah dipenuhi dengan komentar-komentar pedas, dan reputasi mereka hancur dalam sekejap. Sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan, Haka langsung menerima deretan telepon dari kolega-koleganya dengan bertubi-tubi. Mereka meminta untuk segera membatalkan kontrak, dan beberapa investor bahkan mengundurkan diri. Situasi itu semakin memburuk ketika Haka menerima panggilan dari seorang mitra bisnis yang sangat penting, seseorang yang sangat sulit ia dapatkan untuk bekerja sama. Mitra tersebut memintanya untuk datang ke kantor segera. Di dalam ruang pribadi kantor, Haka sedang marah. Lelaki itu mengobrak-abrik isi meja, kertas-kertas sudah berserakan di lantai, pena-pena terlempar ke segala arah. Pikirannya penuh dengan tanda tanya, mencoba menerka-nerka siapa yang berada di balik menyebarluasnya berita tersebut. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menambah ketegangan yang sudah memuncak. Tiba-tiba, pintu terbuka, memperlihatkan sosok sekretarisnya yang masuk dengan wajah cemas. “Pak Haka, ada kabar lain,” katanya sambil menyerahkan sebuah tablet. Di layar, terlihat konferensi pers Derana dan Arash yang kemarin mengumumkan pernikahan mereka. Menyaksikan itu membuat Haka tertegun sejenak dengan bola mata membelalak tak percaya. Lelaki itu sontak menggebrak meja kerjanya dengan keras, membuat sekretaris Abimanyu itu terkejut di buatnya. Dia memandang nyalang membuat sekretarisnya itu langsung menunduk takut. “Bagaimana bisa terjadi? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Derana itu masih istriku,” hardiknya dengan suara bergetar. Sekretaris lelaki itu perlahan mengangkat wajah, menatapnya dengan ragu-ragu. “Maaf Pak, bukankah Anda sudah menerima surat cerai beberapa hari lalu. Mungkin Anda lupa membukanya.” Tatapan mengintimidasi itu jelas terpancar ketika Haka mendadak diam, seolah tidak terima dengan pernyataan sang sekretaris, bahwa itu keteledorannya sendiri. Abimanyu menelan ludah, merasa gugup di bawah tatapan tajam Haka. Membuat tubuhnya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. Pada saat itu Haka masih membisu, matanya melirik ke segala arah, seolah-olah menembus ruang dan waktu, sementara alisnya berkerut, menunjukkan kebingungan yang mendalam. Beberapa hari lalu, ia memang menerima sebuah surat, tapi dalam kekacauan pekerjaannya, ia hanya mengabaikan dan langsung saja memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya. Dengan tangan gemetar, lelaki itu meraih knop dan membuka laci meja dan menemukan surat cerai yang masih tersegel. Perlahan, ia merobek amplop itu dan membaca isinya. Kenyataan itu kini terpampang jelas di depan matanya. Derana telah pergi, dan ia baru menyadarinya sekarang. Amarahnya semakin memuncak. Urat-urat di leher dan tangannya itu menonjol, bahkan wajahnya memerah seperti bara api. Ia merasa dikhianati oleh Derana “Arrghhh! Kurang ajar! Berani-beraninya kamu Derana!” Setelah berteriak penuh emosi, Haka kembali mengobrak-abrik isi meja dengan brutal, membuat kertas-kertas itu kembali beterbangan, dan barang-barang berjatuhan ke lantai. Dengan gerakan cepat dan kasar, Haka meraih jasnya dan keluar dari ruangan, langkahnya berat dan penuh kemarahan. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah, dengan pikiran yang berkecamuk. Namun, baru saja ia menginjakkan kakinya di ambang ruang tamu, lelaki itu sudah menemukan Ilona tengah tersedu-sedan. “Apa yang terjadi?” tanya Haka dengan suara yang cukup keras. Ilona mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. “Semua orang sudah tahu tentang kita. Aku diusir dari klub sosial, dan teman-temanku tidak mau berbicara denganku lagi.” “Siapa yang melakukan itu?” teriak Haka yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Ilona. Haka merasakan amarah yang semakin membara di dalam dadanya. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Kita akan mencari tahu siapa yang melakukan ini,” katanya dengan tatapan tajam. “Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidup kita.” Ilona menatap Haka dengan mata yang penuh ketakutan. “Tapi bagaimana caranya? Sedangkan kita tidak tahu siapa yang menaruh dendam itu. Mereka pasti punya kekuatan dan pengaruh yang besar sehingga berita-berita itu cepat menyebar luas.” Haka mendekati Ilona, menggenggam tangannya erat. “Kita akan melawan mereka bersama. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.” Saat mereka berdua berdiri di sana, Haka melihat sekelebat bayangan yang melintas di dekat jendelanya. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. “Ilona, tunggu di sini,” bisiknya. Ia melangkah maju, mencoba melihat lebih jelas. Apakah selama ini ada yang diam-diam mengintai mereka? “Siapa di sana?” batinnya berkata penuh tanya.Sementara kegaduhan itu terjadi, di tempat lain, Derana dan Arash tengah merayakan kehancuran Haka dan Ilona dari kejauhan. Mereka duduk di balkon apartemen, bersama dinginnya angin malam yang menyapu wajah mereka. Derana mengangkat gelas sampanye, tak terelak jika kini senyum tipis juga menghiasi wajahnya. Sementara Arash, dengan tatapan penuh kemenangan, mengamati setiap gerakan di bawah sana, seolah-olah menikmati setiap detik kehancuran yang mereka ciptakan, sembari mencari kepastian bahwa rencana mereka selanjutnya berjalan sesuai harapan. “Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu, bukan?” kata Arash dengan suara penuh kepuasan, matanya berkilat dengan kegembiraan. Wanita yang duduk di sampingnya itu mengangguk, “Ya! Itu sedikit membuatku lega.” Sekali lagi mereka bersulang, suara gelas yang beradu menggema di malam yang sunyi, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka. “Ini baru permulaan,” kata Arash lagi dengan nada dingin. “Kita akan memastikan mereka merasakan p
Arash tersenyum penuh keyakinan. “Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan menggunakan bukti-bukti tambahan untuk menekan dewan direksi agar memecat Haka. Setelah itu, kita akan membeli saham-saham perusahaan dengan harga murah.” Sepulangnya mereka dari tempat tersebut, malam itu Derana tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang nantinya. Dirinya tahu bahwa jalan yang mereka pilih memang penuh dengan risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Lalu pada keesokan harinya, Arash dan Derana mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka gegas mengirimkan bukti-bukti tambahan kepada dewan direksi. Bukti-bukti tersebut tidak hanya mengungkapkan kelicikan Haka dalam penggelapan pajak, tetapi juga menunjukkan keterlibatannya dalam skandal yang lebih mengerikan lagi. Haka ternyata telah memanipulasi laporan keuangan perusahaan selama bertahun-tahun, menyembunyikan kerugian besar dan men
Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai dingin itu memecah keheningan ruang yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Sesosok tinggi dengan pakaian rapi itu terlihat datang dari ruang pribadi. Dengan semangat yang masih setengah terjaga, Derana bersiap untuk menghadapi hari baru.Namun, aroma samar kopi yang sudah dingin yang tercium di udara itu membuatnya melangkah ke ruang makan. Tidak ada yang terlihat, kecuali cangkir kosong dengan kehangatan yang tersisa di meja makan. Detak jarum jam yang mengalun lebih keras itu membuat Derana memindai pandang. Dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan angka delapan yang membuatnya langsung menarik napas dalam-dalam.Kesunyian ruang membuatnya urung untuk menemui Arash. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Arash, “Aku akan keluar sebentar untuk bertemu kolega. Semoga harimu menyenangkan di kantor.” Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Dengan perasaan lega, ia bersiap untuk pergi, berharap pertemuan
Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyal
Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
“Aku... aku tidak tahu.”Mendengar itu, Arash berdiri dengan cepat. Lalu tanpa berkata apa pun, dia pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamar mandi. Derana mengikuti dengan cemas, merasa bersalah dan bingung dengan apa yang terjadi. “Arash, aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.“Wajahmu terlihat—” Derana semakin khawatir saat melihat Arash mulai menggaruk kulitnya yang memerah. “Arash, kamu baik-baik saja?” tanya Derana dengan nada cemas. Namun, Arash hanya terdiam membisu. Terlihat jika kulitnya yang semakin memerah dan bengkak. Derana tahu bahwa ini bukan pertanda baik.“Sebaiknya kita pergi ke dokter saja.”Pada saat itu, Arash memang masih terdiam. Tetapi tatapan yang ditujukan pada Derana sudah tak lagi ramah.“Tidak perlu!” jawabnya dengan nada datar.“Tapi—” Derana meletakkan harap. Tapi ia kembali dibuat bungkam karena tatapan Arash yang semakin mengintimidasi.“Keluarlah! Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamarku!” k
Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa