Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam.
Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyala di matanya, api balas dendam yang membuatnya lebih kuat dari sebelumnya. Meski tak luput, jika lelaki itu masih memperhatikannya dari kejauhan—mengantarnya, lalu pergi setelah memastikan wanita itu masuk. Derana sudah siap. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Masuk kembali ke dalam kehidupan Haka bukanlah tugas yang mudah, tapi Derana sudah memutuskan jika ia akan menyaksikannya sendiri Haka hancur perlahan, seperti bagaimana hidupnya dulu dihancurkan. Gedung megah dengan 70 lantai yang menjulang tinggi di tengah kota itu memiliki simbol kekuasaan dan ambisi yang tak terbatas. Setiap lantainya dipenuhi dengan kantor-kantor mewah, ruang rapat berteknologi tinggi, dan pemandangan kota yang memukau dari jendela-jendela kaca yang besar. Gedung ini, yang kini dikenal sebagai Haka Tower, dulunya adalah kebanggaan keluarga Derana. Ayah Derana, seorang pengusaha yang dihormati, membangun gedung ini dari nol. Setiap sudutnya mencerminkan kerja keras dan dedikasi yang Beliau curahkan selama bertahun-tahun. Namun, setelah kematiannya, Haka, seorang pria yang pernah dianggap sebagai sahabat keluarga, mengambil alih segalanya dengan cara yang licik dan tanpa rasa balas budi. Haka, dengan ambisinya yang tak terpuaskan, mengubah nama gedung dan mengklaimnya sebagai miliknya sendiri. Kini, Haka duduk di puncak gedung itu, menikmati kekuasaan yang dia peroleh dengan cara yang kejam, sementara Derana merencanakan bertekad untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Meski perasaan campur aduk sempat menyelimuti hati Derana setelah pertemuan yang menegangkan dengan Haka di restoran kemarin, ia tahu bahwa ancaman Haka bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Namun sekarang, saat langkahnya melewati ruangan Haka, tidak ada lagi rasa takut yang menghantuinya. Sebab, tekad mengubah Derana bukan lagi gadis lemah yang dulu. Sekarang ia adalah wanita yang kuat, yang siap menghadapi apapun demi mencapai tujuannya. Wanita itu langsung masuk ke dalam ruangan pribadinya. Pada saat matahari mulai meninggi, Derana sudah duduk menghadap kaca dengan membelakangi meja kerjanya. Tak lama kemudian, seperti yang sudah diduga pintu kantornya terbuka dengan keras. Haka berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh dengan kemarahan. “Di mana kau, Derana?” Suaranya menggema di ruangan itu. Dengan gerakan ringan, Derana menghentakkan kakinya ke lantai, membuat kursi yang didudukinya berputar perlahan. “Aku di sini, Haka,” jawabnya. “Apa-apaan kau ini? Hah? Apa yang kau lakukan di sini?” teriak sang lelaki sembari menghampiri Derana yang masih duduk santai di sana. “Aku memiliki saham yang jauh lebih besar daripada kau, Haka. Jadi, mulai sekarang aku akan bekerja di perusahaan ini juga.” “Apa?” Mendengarnya, Haka begitu terkejut. Namun, setelah itu lelaki itu justru terkekeh sumbang seolah tak percaya. “Jangan bermimpi, Derana! Aku yakin kau tidak bisa melakukan itu.” “Tidak masalah jika kau tidak percaya. Tapi itu adalah kenyataannya,” sahut sang wanita. Haka menatap Derana dengan mata yang melebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang ada di depannya itu bukan lagi gadis lemah yang dulu selalu menghindari tatapannya. Ada kekuatan baru dalam diri Derana, sesuatu yang membuat Haka merasa tidak nyaman. “Derana!” Derana tersenyum tipis. Ia tahu, kepalan tangan Haka yang terlihat bergetar itu menunjukkan bahwa lelaki itu benar-benar sedang menahan marah. “Mulai sekarang, aku juga memiliki kendali lebih besar di perusahaan ini. Jadi, jika kau berpikir bisa mengancamku atau mengusirku, kau salah besar.” “Apa yang membawamu ke sini?” Pada saat itu, tatapan Haka sudah berubah nyalang. “Aku hanya ingin ada didekatmu, untuk memastikan bagaimana keadaanmu, Haka,” jawab Derana dengan nada yang tenang namun dingin. “Banyak hal yang terjadi. Dan tentu, keberadaanku di sini untuk memastikan bahwa kau akan merasakannya juga.” Haka mengepalkan tangannya dengan semakin kuat, merasakan ancaman yang jelas dalam kata-kata Derana. Ia tahu bahwa ini bukan lagi permainan yang bisa dia kendalikan. Derana telah berubah, dan perubahan itu membuatnya merasa terpojok. Tetapi, ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan itu di depan Derana. “Kau akan menyesal telah mengkhianatiku, Derana,” katanya dengan nada penuh peringatan. Derana berdiri dari kursinya, menatap Haka dengan keberanian bahkan spontan menggebrak meja. “Aku tidak takut padamu, Haka. Dan aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku lagi. Mari kita bersaing.” “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku!” tegas Haka yang dibalas langsung dengan senyum dingin Derana. “Kita lihat saja, Haka. Kita lihat saja nanti!” Haka menatap Derana dengan penuh kebencian sebelum berbalik dan meninggalkan kantor itu. Ia langsung pulang ke rumah dengan perasaan marah dan frustrasi. Ia membuka pintu dengan kasar dan langsung menuju ruang tamu, di mana Ilona sedang duduk membaca. Melihat ekspresi Haka, Ilona segera tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. “Ada apa, Haka?” tanyanya dengan nada khawatir. Haka melemparkan jas miliknya ke sofa, lalu melonggarkan dasi dan duduk dengan kasar. “Derana,” ucapnya dengan suara penuh kemarahan. “Dia berani sekali menantangku di kantor. Dia bilang dia memiliki saham yang lebih besar daripada aku dan sekarang dia punya kendali lebih besar atas perusahaan.” Ilona terkejut, matanya membesar. “Apa? Derana? Perempuan itu? Aku tidak percaya.” “Terserah! Aku pun begitu, tetapi semakin ke sini membuatku yakin, Derana bukanlah wanita yang dulu kita kenal,” ujar Haka. “Lalu bagaimana bisa? Bagaimana bisa Derana memiliki saham sebanyak itu?” Kini, kekhawatiran mulai menyelinap ke dalam diri Ilona. Haka menggeleng. “Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan saham itu, tapi sekarang dia merasa bisa mengendalikan segalanya.” Ilona terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi tersebut. “Aku tidak menyangka dia bisa berubah seperti itu.” “Tapi, apa mungkin jika selama ini kita telah meremehkannya.” “Entahlah,” Haka mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan dia menang. Aku akan mencari cara untuk mengambil kembali kendali. Memastikan wanita itu kembali pada tempatnya.” Ilona menatap Haka dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Kita harus berhati-hati, Haka. Derana bukan lagi perempuan lemah yang kita pikirkan. Jika kita ingin menghadapinya, kita harus lebih cerdik lagi darinya.” Haka mengangguk, meskipun kemarahan masih terlihat jelas di wajahnya. “Aku tahu itu! Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan semuanya. Semua yang telah aku bangun.” Ilona menghela napas panjang. “Lalu, apa yang akan kamu rencanakan, Haka? Derana mungkin jauh lebih kuat sekarang, tapi kita masih bisa membiarkannya terlalu lama.” “Pastinya, kita membutuhkan orang lain untuk hal ini.”Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
“Aku... aku tidak tahu.”Mendengar itu, Arash berdiri dengan cepat. Lalu tanpa berkata apa pun, dia pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamar mandi. Derana mengikuti dengan cemas, merasa bersalah dan bingung dengan apa yang terjadi. “Arash, aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.“Wajahmu terlihat—” Derana semakin khawatir saat melihat Arash mulai menggaruk kulitnya yang memerah. “Arash, kamu baik-baik saja?” tanya Derana dengan nada cemas. Namun, Arash hanya terdiam membisu. Terlihat jika kulitnya yang semakin memerah dan bengkak. Derana tahu bahwa ini bukan pertanda baik.“Sebaiknya kita pergi ke dokter saja.”Pada saat itu, Arash memang masih terdiam. Tetapi tatapan yang ditujukan pada Derana sudah tak lagi ramah.“Tidak perlu!” jawabnya dengan nada datar.“Tapi—” Derana meletakkan harap. Tapi ia kembali dibuat bungkam karena tatapan Arash yang semakin mengintimidasi.“Keluarlah! Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamarku!” k
Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut
Haka berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Arash, hatinya dipenuhi kemarahan. Kerja sama dengan Arash selalu menjadi tantangan, mengingat betapa sibuk dan berpengaruhnya pria itu dalam perusahaan. Namun, dokumen yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa mengetuk, Haka membuka pintu kantor Arash dan masuk dengan wajah marah. Arash, yang sedang duduk di belakang meja dengan tumpukan dokumen di depannya, mengangkat kepala dan menatap Haka dengan alis terangkat.“Haka, ada apa ini?” tanya Arash dengan nada tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kejengkelan.“Apa kau tidak punya sopan santun?”Haka tidak menjawab. Dia berjalan mendekat dan melemparkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Arash. Kertas-kertas itu berserakan, beberapa jatuh ke lantai.“Jelaskan ini, Arash!” seru Haka dengan suara keras.Arash menghela napas, mengambil salah satu dokumen dan membacanya sekilas. “Ini laporan keuangan perusahaan. Apa yang ingin kau ketahui?”“Transaksi mencurigakan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela dapur, menciptakan pantulan cahaya hangat di atas meja. Cahaya itu menyinari wajah Haka, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegang.Lelaki itu duduk di kusri meja makan, menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa hambar, tidak mampu mengusir kecemasan yang menghantui pikirannya.Ilona datang menghampiri dengan senyum hangat, membawa sepiring roti panggang dan selai. Dia duduk di seberang Haka, menatapnya dengan mata yang berbinar penuh harapan.“Selamat pagi, Sayang,” sapanya lembut.Haka mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum meskipun ketegangan masih menyumpal urat kepalanya, membuat setiap detak jantung terasa seperti dentuman keras di telinganya. “Selamat pagi, Ilona,” jawabnya dengan suara yang sedikit serak. “Terima kasih sudah membawa roti.”Faktanya, kehadiran Ilona langsung memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang melingkupi ruangan.Ilona menyuguhkan se
Derana terpaku di ranjang tidurnya, menatap kepergian Arash. Namun, di dalam pikirannya, seperti badai berkecamuk. “Kenapa Arash tiba-tiba berubah?" batinnya, merasa terombang-ambing antara kebingungan dan harapan.Ia tidak mengerti atas perubahan sikap Arash yang tiba-tiba dan tak terduga, gerak-gerik lelaki itu seperti tak mudah terbaca. Derana hanya berharap, bahwa mungkin ada alasan baik di balik itu.Wanita itu hanya bisa menggeleng dengan helaan napas panjang, menatap kekosongan saat Arash melenggang dari ruangannya.Derana tidak tahu bahwa Arash, telah membuatnya percaya bahwa dirinya adalah orang baik. Derana tidak tahu, jika di luar kamarnya saat ini Arash sedang mengukir sebuah smrik. Karena hal itu yang ia inginkan, jika semakin lama Derana bingung, semakin besar peluangnya untuk mengendalikan situasi.Ada sedikit kepuasan dalam diri lelaki itu. “Biarkan dia tenggelam dalam perasaannya sendiri.” Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar rumah sakit membuat