Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut
Haka berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Arash, hatinya dipenuhi kemarahan. Kerja sama dengan Arash selalu menjadi tantangan, mengingat betapa sibuk dan berpengaruhnya pria itu dalam perusahaan. Namun, dokumen yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa mengetuk, Haka membuka pintu kantor Arash dan masuk dengan wajah marah. Arash, yang sedang duduk di belakang meja dengan tumpukan dokumen di depannya, mengangkat kepala dan menatap Haka dengan alis terangkat.“Haka, ada apa ini?” tanya Arash dengan nada tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kejengkelan.“Apa kau tidak punya sopan santun?”Haka tidak menjawab. Dia berjalan mendekat dan melemparkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Arash. Kertas-kertas itu berserakan, beberapa jatuh ke lantai.“Jelaskan ini, Arash!” seru Haka dengan suara keras.Arash menghela napas, mengambil salah satu dokumen dan membacanya sekilas. “Ini laporan keuangan perusahaan. Apa yang ingin kau ketahui?”“Transaksi mencurigakan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela dapur, menciptakan pantulan cahaya hangat di atas meja. Cahaya itu menyinari wajah Haka, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegang.Lelaki itu duduk di kusri meja makan, menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa hambar, tidak mampu mengusir kecemasan yang menghantui pikirannya.Ilona datang menghampiri dengan senyum hangat, membawa sepiring roti panggang dan selai. Dia duduk di seberang Haka, menatapnya dengan mata yang berbinar penuh harapan.“Selamat pagi, Sayang,” sapanya lembut.Haka mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum meskipun ketegangan masih menyumpal urat kepalanya, membuat setiap detak jantung terasa seperti dentuman keras di telinganya. “Selamat pagi, Ilona,” jawabnya dengan suara yang sedikit serak. “Terima kasih sudah membawa roti.”Faktanya, kehadiran Ilona langsung memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang melingkupi ruangan.Ilona menyuguhkan se
Derana terpaku di ranjang tidurnya, menatap kepergian Arash. Namun, di dalam pikirannya, seperti badai berkecamuk. “Kenapa Arash tiba-tiba berubah?" batinnya, merasa terombang-ambing antara kebingungan dan harapan.Ia tidak mengerti atas perubahan sikap Arash yang tiba-tiba dan tak terduga, gerak-gerik lelaki itu seperti tak mudah terbaca. Derana hanya berharap, bahwa mungkin ada alasan baik di balik itu.Wanita itu hanya bisa menggeleng dengan helaan napas panjang, menatap kekosongan saat Arash melenggang dari ruangannya.Derana tidak tahu bahwa Arash, telah membuatnya percaya bahwa dirinya adalah orang baik. Derana tidak tahu, jika di luar kamarnya saat ini Arash sedang mengukir sebuah smrik. Karena hal itu yang ia inginkan, jika semakin lama Derana bingung, semakin besar peluangnya untuk mengendalikan situasi.Ada sedikit kepuasan dalam diri lelaki itu. “Biarkan dia tenggelam dalam perasaannya sendiri.” Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar rumah sakit membuat
Bunyi ketukan heels itu menggema di sepanjang koridor, menciptakan irama yang tegas dan penuh percaya diri. Setiap langkahnya seolah mengukir jejak di lantai marmer yang dingin dan mengkilap.Langkahnya terhenti, di depan ruangan yang terletak di sudut paling tenang dari gedung tersebut—sebuah ruangan besar yang hanya bisa diakses oleh beberapa orang terpilih.Ketukan pintu yang terdengar, menggema di ruang yang sunyi. Pintu besar dengan ukiran kayu rumit, yang berbeda dari pintu-pintu lainnya di gedung itu kemudian terbuka perlahan setelah suara berat dari dalam berkata, “Masuk.”Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, heels tingginya menambah kesan elegan pada penampilannya. Dress rapi setinggi lutut yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan profesionalisme dan keanggunan. Rambutnya yang tergerai rapi di bahu menambah pesona yang sulit diabaikan.Sebuah ruang yang memancarkan aura otoritas dan ketenangan, dengan jendela besar yang menawarkan pemandangan kota y
Tatapan tajam itu masih mengarah pada pintu yang baru saja ditutup oleh Haka. Disusul dengan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya. Kemudian, Arash menggerakkan kepalanya perlahan, meregangkan otot leher yang kaku, dan terdengar bunyi retakan halus. “Kalian pikir bisa mempermainkanku?” gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. Setelah sosok itu akhirnya beranjak pergi, wajahnya yang semula dipaksakan tersenyum perlahan berubah. Senyum palsu itu lenyap, digantikan oleh ekspresi jijik yang tak bisa lagi disembunyikan. Arash kini menepuk-nepuk bahunya, seolah ingin menghilangkan jejak sentuhan yang baru saja terjadi. Tangannya bergerak cepat, mengusap-ngusap kedua telapak tangan dengan keras, seakan ingin menghempas debu yang menempel akibat berjabat tangan dengan Ilona. Rasa jijik masih terasa, namun setidaknya kini ia bisa bernapas lega tanpa harus berpura-pura lagi. Ia kembali duduk di kursinya, lalu memutarnya perlahan hingga menghadap ke arah jendela besar di bela