Haka berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Arash, hatinya dipenuhi kemarahan. Kerja sama dengan Arash selalu menjadi tantangan, mengingat betapa sibuk dan berpengaruhnya pria itu dalam perusahaan. Namun, dokumen yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa mengetuk, Haka membuka pintu kantor Arash dan masuk dengan wajah marah. Arash, yang sedang duduk di belakang meja dengan tumpukan dokumen di depannya, mengangkat kepala dan menatap Haka dengan alis terangkat.“Haka, ada apa ini?” tanya Arash dengan nada tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kejengkelan.“Apa kau tidak punya sopan santun?”Haka tidak menjawab. Dia berjalan mendekat dan melemparkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Arash. Kertas-kertas itu berserakan, beberapa jatuh ke lantai.“Jelaskan ini, Arash!” seru Haka dengan suara keras.Arash menghela napas, mengambil salah satu dokumen dan membacanya sekilas. “Ini laporan keuangan perusahaan. Apa yang ingin kau ketahui?”“Transaksi mencurigakan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela dapur, menciptakan pantulan cahaya hangat di atas meja. Cahaya itu menyinari wajah Haka, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegang.Lelaki itu duduk di kusri meja makan, menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa hambar, tidak mampu mengusir kecemasan yang menghantui pikirannya.Ilona datang menghampiri dengan senyum hangat, membawa sepiring roti panggang dan selai. Dia duduk di seberang Haka, menatapnya dengan mata yang berbinar penuh harapan.“Selamat pagi, Sayang,” sapanya lembut.Haka mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum meskipun ketegangan masih menyumpal urat kepalanya, membuat setiap detak jantung terasa seperti dentuman keras di telinganya. “Selamat pagi, Ilona,” jawabnya dengan suara yang sedikit serak. “Terima kasih sudah membawa roti.”Faktanya, kehadiran Ilona langsung memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang melingkupi ruangan.Ilona menyuguhkan se
Derana terpaku di ranjang tidurnya, menatap kepergian Arash. Namun, di dalam pikirannya, seperti badai berkecamuk. “Kenapa Arash tiba-tiba berubah?" batinnya, merasa terombang-ambing antara kebingungan dan harapan.Ia tidak mengerti atas perubahan sikap Arash yang tiba-tiba dan tak terduga, gerak-gerik lelaki itu seperti tak mudah terbaca. Derana hanya berharap, bahwa mungkin ada alasan baik di balik itu.Wanita itu hanya bisa menggeleng dengan helaan napas panjang, menatap kekosongan saat Arash melenggang dari ruangannya.Derana tidak tahu bahwa Arash, telah membuatnya percaya bahwa dirinya adalah orang baik. Derana tidak tahu, jika di luar kamarnya saat ini Arash sedang mengukir sebuah smrik. Karena hal itu yang ia inginkan, jika semakin lama Derana bingung, semakin besar peluangnya untuk mengendalikan situasi.Ada sedikit kepuasan dalam diri lelaki itu. “Biarkan dia tenggelam dalam perasaannya sendiri.” Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar rumah sakit membuat
Bunyi ketukan heels itu menggema di sepanjang koridor, menciptakan irama yang tegas dan penuh percaya diri. Setiap langkahnya seolah mengukir jejak di lantai marmer yang dingin dan mengkilap.Langkahnya terhenti, di depan ruangan yang terletak di sudut paling tenang dari gedung tersebut—sebuah ruangan besar yang hanya bisa diakses oleh beberapa orang terpilih.Ketukan pintu yang terdengar, menggema di ruang yang sunyi. Pintu besar dengan ukiran kayu rumit, yang berbeda dari pintu-pintu lainnya di gedung itu kemudian terbuka perlahan setelah suara berat dari dalam berkata, “Masuk.”Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, heels tingginya menambah kesan elegan pada penampilannya. Dress rapi setinggi lutut yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan profesionalisme dan keanggunan. Rambutnya yang tergerai rapi di bahu menambah pesona yang sulit diabaikan.Sebuah ruang yang memancarkan aura otoritas dan ketenangan, dengan jendela besar yang menawarkan pemandangan kota y
Tatapan tajam itu masih mengarah pada pintu yang baru saja ditutup oleh Haka. Disusul dengan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya. Kemudian, Arash menggerakkan kepalanya perlahan, meregangkan otot leher yang kaku, dan terdengar bunyi retakan halus. “Kalian pikir bisa mempermainkanku?” gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. Setelah sosok itu akhirnya beranjak pergi, wajahnya yang semula dipaksakan tersenyum perlahan berubah. Senyum palsu itu lenyap, digantikan oleh ekspresi jijik yang tak bisa lagi disembunyikan. Arash kini menepuk-nepuk bahunya, seolah ingin menghilangkan jejak sentuhan yang baru saja terjadi. Tangannya bergerak cepat, mengusap-ngusap kedua telapak tangan dengan keras, seakan ingin menghempas debu yang menempel akibat berjabat tangan dengan Ilona. Rasa jijik masih terasa, namun setidaknya kini ia bisa bernapas lega tanpa harus berpura-pura lagi. Ia kembali duduk di kursinya, lalu memutarnya perlahan hingga menghadap ke arah jendela besar di bela
Seorang lelaki bersetelan jas rapi melangkah dengan mantap di koridor rumah sakit. Setiap langkahnya menggema, menciptakan irama yang teratur. Matanya fokus ke depan, tidak terganggu oleh hiruk-pikuk di sekitarnya. Ia berhenti di depan sebuah pintu ruang VIP yang elegan di ujung koridor. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mengetuk pintu sebentar, lalu membukanya dan masuk. Sembari menggenggam sebuah bingkisan makanan, yang ia bawa dengan penuh perhatian, senyum yang langka itu tiba-tiba menghiasi wajahnya. Membuat Derana yang langsung menoleh, sedikit terkejut melihat Arash di sana. “Arash? Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?” tanyanya, suaranya penuh keheranan. “Hai, Derana,” sapanya lembut. “Aku membawakan sesuatu untukmu.” Lelaki itu mendekat dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang. “Aku pikir kamu mungkin bosan dengan makanan rumah sakit,” katanya sambil menyodorkan bingkisan tersebut. “Jadi, aku mencoba memasak sesuatu untukmu. Ini pertama kalinya aku
“Ada urusan mendadak yang harus ku selesaikan. Kamu tidak keberatan, kan aku tinggal?”Derana hanya bisa mengangguki setelah mendengar kalimat dari sang lelaki, namun matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang mendalam saat menatapnya. Binar mata lelaki itu tidak meyakinkan, terlebih lagi ketika dia berusaha mengakhiri panggilan dengan tergesa-gesa. Rasa penasaran semakin menggebu dalam diri Derana, tetapi ia tidak berani mengutarakan pertanyaan.Meskipun Derana tidak bertanya, namun tanpa disangka-sangka, sambil menunjukkan ponselnya, Arash tiba-tiba berkata, “Oh ini, hanya teman lama,” seolah dia menjawab pertanyaan yang tidak pernah diajukan.Derana masih terdiam, namun sikap Arash yang tiba-tiba menjelaskan membuatnya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Arash, yang biasanya dingin dan cuek, kini justru tampak sedikit gelisah. Tatapannya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit terganggu. Membuat Derana merasa penasaran, tetapi ia tetap menahan diri untuk tidak bertanya lebih la
Derana berjalan di koridor kantor dengan langkah penuh determinasi. Meski baru saja pulih dari cedera, ia menahan rasa sakit dengan keteguhan hati. Rasa cemas yang menggelayuti hatinya tidak mengurangi keberaniannya untuk mencari jawaban di kantor Arash.Rasa cemas Derana berasal dari ketidakpastian yang terus menghantuinya. Deraba sudah menunggu Arash tapi lelaki itu tak kunjung pulang. Setiap kali melihat notifikasi di ponselnya, hanya ada pesan-pesan pekerjaan, sedangkan Arash sama sekali tak menghubunginya. Bahkan saat dirinya pulang dari rumah sakit, Arash tak menjemput. Kepulangannya pun tak diketahui oleh lelaki itu.Ia merasa diabaikan dan tidak penting. Derana sudah berusaha menenangkan diri, namun bayangan tentang Arash yang mungkin tidak peduli terus menghantui pikirannya.Dan benar saja, ketika ia mendekati ruang kerja Arash, Derana melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat punggung seorang wanita. Membuatnya me