“Ada urusan mendadak yang harus ku selesaikan. Kamu tidak keberatan, kan aku tinggal?”Derana hanya bisa mengangguki setelah mendengar kalimat dari sang lelaki, namun matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang mendalam saat menatapnya. Binar mata lelaki itu tidak meyakinkan, terlebih lagi ketika dia berusaha mengakhiri panggilan dengan tergesa-gesa. Rasa penasaran semakin menggebu dalam diri Derana, tetapi ia tidak berani mengutarakan pertanyaan.Meskipun Derana tidak bertanya, namun tanpa disangka-sangka, sambil menunjukkan ponselnya, Arash tiba-tiba berkata, “Oh ini, hanya teman lama,” seolah dia menjawab pertanyaan yang tidak pernah diajukan.Derana masih terdiam, namun sikap Arash yang tiba-tiba menjelaskan membuatnya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Arash, yang biasanya dingin dan cuek, kini justru tampak sedikit gelisah. Tatapannya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit terganggu. Membuat Derana merasa penasaran, tetapi ia tetap menahan diri untuk tidak bertanya lebih la
Derana berjalan di koridor kantor dengan langkah penuh determinasi. Meski baru saja pulih dari cedera, ia menahan rasa sakit dengan keteguhan hati. Rasa cemas yang menggelayuti hatinya tidak mengurangi keberaniannya untuk mencari jawaban di kantor Arash.Rasa cemas Derana berasal dari ketidakpastian yang terus menghantuinya. Deraba sudah menunggu Arash tapi lelaki itu tak kunjung pulang. Setiap kali melihat notifikasi di ponselnya, hanya ada pesan-pesan pekerjaan, sedangkan Arash sama sekali tak menghubunginya. Bahkan saat dirinya pulang dari rumah sakit, Arash tak menjemput. Kepulangannya pun tak diketahui oleh lelaki itu.Ia merasa diabaikan dan tidak penting. Derana sudah berusaha menenangkan diri, namun bayangan tentang Arash yang mungkin tidak peduli terus menghantui pikirannya.Dan benar saja, ketika ia mendekati ruang kerja Arash, Derana melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat punggung seorang wanita. Membuatnya me
Jam lemari kayu yang berdiri kokoh di sudut ruangan itu berdentang, namun suara itu tak mampu membuyarkan lamunan Derana, yang duduk di meja makan. Wanita itu hanya menatap kosong—membiarkan roti di hadapannya dingin karena tak tersentuh. Bahkan, secangkir kopi tak lagi mengepulkan asap, hanya aroma pahit yang menguar di udara. Wanita itu tenggelam dalam pikiran yang membawanya hanyut jauh dari kenyataan saat ini. Tak lama setelah itu, dentingan pintu terdengar samar dari arah foyer. Namun, sama sekali tidak mengalihkan perhatian Derana. Langkah kaki menyusul, sangat khas— membuatnya tidak perlu berpaling untuk mengetahui siapa yang memasuki ruang tersebut. Ruangan yang tadinya dingin tiba-tiba terasa hangat, seolah ada energi baru yang mengisi udara. Tanpa menoleh, Derana bisa mencium aroma parfum yang samar, ia merasakan kehadiran seseorang, namun, ia hanya menghela napas dan berdecih pelan, memilih untuk tidak menoleh. “Derana? Ku pikir kamu ada di kantor,” seru san
Saat matahari mulai muncul di ufuk timur, sinarnya perlahan mengusir kegelapan malam dan menyambut pagi dengan kehangatan yang lembut. Kota pun mulai terbangun dari tidur panjangnya—suara klakson kendaraan dan langkah kaki yang tergesa-gesa memenuhi jalanan, menciptakan simfoni kehidupan yang khas. Seiring berjalannya waktu, hiruk pikuk kota mencapai puncaknya di siang hari, sebelum perlahan mereda saat senja tiba. Derana, dengan langkah lelah, meninggalkan ruang kantor dan menyusuri koridor yang mulai lengang, menyambut malam yang tenang dan penuh kedamaian.Segera setelah itu, Derana melajukan mobilnya di jalanan yang lengang, lampu-lampu berpendar menerangi malam. Tangan wanita itu mantap menggenggam stir kemudi, matanya fokus pada jalan di depannya. Lalu, setelah beberapa saat, ia memasuki basement apartemen, memarkirkan mobilnya dengan hati-hati.Setelah memastikan semua barang sudah diambil, ia beranjak turun.“Bimp,” Suara kunci otomatis terdengar saat dia menekan tombol remo
Derana membuka pintu apartemennya dan melangkah masuk, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia menutup pintu dan bersandar di belakangnya, mencoba mencerna semuanya.“Kenapa Selia bisa ada di apartemen ini? Kenapa dia juga tahu tempat tinggalku?” pikirnya. Keberadaan Selia yang tiba-tiba terasa terlalu kebetulan.Wanita itu melangkah masuk ke dalam. Kegelapan menyambutnya dengan keheningan yang menyesakkan, membuatnya merasa semakin terisolasi. Ia menghela napas, berpikir bahwa Arash, belum pulang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyalakan lampu, dan seketika ruangan itu dipenuhi cahaya yang menerangi seluruh ruangan.Ia mengambil segelas air dan menenggaknya hingga tandas, berharap cairan dingin itu bisa meredakan ketegangan yang masih mencengkeram tubuh. Namun, rasa takut dan cemas masih bersemayam. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar tidurnya yang sunyi. AC menyala, menyebarkan hawa dingin yang merambat perlahan, menambah kesan dingin dan
Derana menatap Arash dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak percaya kamu bisa berpikir seperti itu tentang aku,” katanya dengan suara bergetar.Tanpa menunggu jawaban, Derana berbalik badan, bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Arash yang terdiam.Lelaki itu berdiri terpaku, menatap kekosongan ruang. Kesadaran menyergapnya, perasaan menyesal segera menguasai.“Apa yang telah aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri.Keheningan yang menyelimuti ruangan itu hancur oleh helaan napas panjangnya. Sembari meraup wajah, Arash duduk.Pikirannya berputar, mengingat setiap detail yang terjadi. “Bagaimana bisa aku melakukan itu?” gumamnya pelan, penuh penyesalan. Ia duduk terdiam, merenungi tindakannya Ia menyadari kesalahan yang telah diperbuat, dan penyesalan itu datang seperti gelombang yang tak tertahankan.Arash seharusnya tak perlu peduli jika Derana marah atau kesal. Namun, ada sesuatu aneh yang mengganjal di hatinya. Apalagi saat melihat kaca-kaca pada pelupuk mata wanita itu
Arash tersentak, matanya membelalak sebelum akhirnya menghela napas panjang ketika mengenali sekretarisnya.“Kenapa masuk tanpa mengetuk?” tanyanya dengan tatapan mengintimidasi. Ekspresi terganggu terlihat jelas di wajah Arash yang menegang.Sekretaris itu langsung menyesali perbuatannya. “Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya tahu seharusnya mengetuk, tapi ini sangat mendesak,” katanya dengan nada penuh penyesalan, berharap Arash bisa memahami urgensi situasinya.Arash mengerutkan kening. “Bicara!”Meskipun sedikit gugup, sekretaris lelaki itu tetap berdiri tegak, “Saya datang membawa berita penting yang harus Anda ketahui segera.”“Ini tentang Nyonya Ilona dan transaksi yang baru beliau lakukan.”“Saham perusahaan Tuan Haka anjlok drastis setelah transaksi besar yang dilakukan oleh Nyonya Ilona,” jelas sekretaris itu.Mendengarnya, raut yang semula mengintimidasi bak elang yang siap menerkam, perlahan melunak. Untuk kemudian, sebuah smirk muncul di sudut bibirnya, dan Arash terk
Dalam keheningan ruang, suara detak jam terdengar lebih keras dari biasanya. Namun, hal itu tak mengusik Haka yang duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam pikirannya.Lelaki itu memijat pelipisnya, mencoba meredakan sakit kepala yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara kekesalan dan emosi yang tak terkendali.Di luar jendela, langit mulai gelap, menambah suasana muram di dalam ruangan. Haka menatap meja kerjanya yang penuh dengan dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Wajahnya terlihat tegang, alisnya berkerut, dan matanya menunjukkan kelelahan. “Bagaimana bisa aku begitu bodoh?” gumamnya.“Kenapa dari awal aku tidak mencurigai Arash. Bagaimana bisa orang seperti dia, dengan jadwal yang begitu padat, tiba-tiba mau bekerja sama denganku? Bahkan dia juga datang ke pesta itu… Seharusnya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku terlalu terpesona oleh reputasinya, terlalu buta untuk melihat tanda-tanda peringatannya.”Haka menghela napas berat, menatap