Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut
Di sudut ruangan dengan pencahayaan remang, Derana berdiri dengan tatapan resah, memikirkan bagaimana nasib dirinya yang masih terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. Musik yang mengalun lembut dan tawa riang para tamu seolah menjadi latar belakang yang kontras dengan perasaannya yang hancur.Dirinya merasa seperti seorang penonton yang terasing di tengah keramaian pesta. Sedari tadi, pandangannya tak pernah lepas pada Haka, suaminya, yang sedang berdansa dengan wanita lain di tengah lantai dansa. Hatinya terasa seperti diremas-remas, setiap tawa dan senyuman Haka dengan wanita itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Derana mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, namun rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia teringat saat-saat indah mereka dulu, saat Haka masih menjadi pria yang setia dan penuh kasih. Namun kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah sangat jauh, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghancurkan hatin
Derana duduk di sebuah kafe mewah, tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Arash. Pikirannya penuh dengan keraguan dan ketakutan, namun juga ada secercah harapan untuk membalaskan dendam pada suaminya yang telah menghancurkan hatinya.Kata-kata Arash semalam masih menggema di hati Derana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan semangat baru. Pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, tetapi sebuah titik balik. Derana berharap, dengan bantuan Arash, ia bisa menemukan kembali makna hidup dan tujuan yang selama ini hilang. Arash bukan hanya seorang CEO, tetapi dia juga dikenal sebagai Ikon Industri, seorang pemimpin yang dihormati dan cukup disegani. Kekayaan yang dimiliki lelaki itu sudah tak terhitung dan jaringan koneksi yang dimilikinya sangat membentang luas. Derana sering mendengarnya, jika banyak orang-orang berbondong-bodong mengejar kerja sama dengan Arash, berharap mendapatkan sepotong dari keberhas
“Apa yang akan Anda rencanakan?” “Rencana ini tidak terlalu sulit untuk Anda. Aku akan menjelaskan nanti di perjalanan.” Lalu, tanpa ingin mendesaknya lagi, Derana mengiakan. Mereka meninggalkan kafe dan menuju mobil mewah Arash yang sudah menunggu di luar. Sepanjang perjalanan, Derana tidak bisa berhenti memikirkan keputusan yang baru saja diambilnya. Apakah ini benar-benar jalan yang tepat? “Kita akan mengadakan konferensi pers besok untuk mengumumkan pernikahan kita. Aku ingin kamu bersiap-siap,” ucap Arash memecah keheningan pada akhirnya. Derana mengangguk pelan. “Tapi bagaimana dengan Haka dan Ilona? Apa rencanamu selanjutnya?” Lelaki di sampingnya itu tersenyum tipis. “Kita akan mulai dengan menghancurkan reputasi mereka. Aku punya beberapa informasi yang bisa kita gunakan. Tapi untuk sekarang, fokuslah pada peranmu sebagai istriku dulu.” Tidak ada tanggapan yang bisa Derana ungkapkan, selain helaan napasnya yang mengalun. Mungkin untuk saat ini, ia akan mengikuti perinta
Malam itu, di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, Haka dan Ilona sedang menikmati makan malam. Mereka tidak menyadari badai yang akan datang. Tawa dan percakapan mereka mengalir dengan mudah, merasa aman dalam kebohongan mereka. Namun, malam itu akan menjadi awal dari kehancuran mereka. Sebab, di balik itu. Di sudut gelap restoran, seorang pria dengan jaket hitam tengah mengamati mereka dengan seksama. Dia mengambil beberapa foto dengan kamera kecilnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang yang kini berada di sebuah apartemen mewah di lantai atas gedung pencakar langit, Derana menerima pesan tersebut. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa rencana balas dendamnya mulai berjalan. Arash telah mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan Haka dan Ilona, termasuk foto-foto dan rekaman percakapan yang bisa menghancurkan reputasi mereka. “Besok pagi, kita akan mengirimkan semua bukti itu ke media,” kata Arash dengan nada dingin. “Aku ingin mereka merasakan rasa mal
Sementara kegaduhan itu terjadi, di tempat lain, Derana dan Arash tengah merayakan kehancuran Haka dan Ilona dari kejauhan. Mereka duduk di balkon apartemen, bersama dinginnya angin malam yang menyapu wajah mereka. Derana mengangkat gelas sampanye, tak terelak jika kini senyum tipis juga menghiasi wajahnya. Sementara Arash, dengan tatapan penuh kemenangan, mengamati setiap gerakan di bawah sana, seolah-olah menikmati setiap detik kehancuran yang mereka ciptakan, sembari mencari kepastian bahwa rencana mereka selanjutnya berjalan sesuai harapan. “Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu, bukan?” kata Arash dengan suara penuh kepuasan, matanya berkilat dengan kegembiraan. Wanita yang duduk di sampingnya itu mengangguk, “Ya! Itu sedikit membuatku lega.” Sekali lagi mereka bersulang, suara gelas yang beradu menggema di malam yang sunyi, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka. “Ini baru permulaan,” kata Arash lagi dengan nada dingin. “Kita akan memastikan mereka merasakan p
Arash tersenyum penuh keyakinan. “Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan menggunakan bukti-bukti tambahan untuk menekan dewan direksi agar memecat Haka. Setelah itu, kita akan membeli saham-saham perusahaan dengan harga murah.” Sepulangnya mereka dari tempat tersebut, malam itu Derana tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang nantinya. Dirinya tahu bahwa jalan yang mereka pilih memang penuh dengan risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Lalu pada keesokan harinya, Arash dan Derana mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka gegas mengirimkan bukti-bukti tambahan kepada dewan direksi. Bukti-bukti tersebut tidak hanya mengungkapkan kelicikan Haka dalam penggelapan pajak, tetapi juga menunjukkan keterlibatannya dalam skandal yang lebih mengerikan lagi. Haka ternyata telah memanipulasi laporan keuangan perusahaan selama bertahun-tahun, menyembunyikan kerugian besar dan men