Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai dingin itu memecah keheningan ruang yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Sesosok tinggi dengan pakaian rapi itu terlihat datang dari ruang pribadi. Dengan semangat yang masih setengah terjaga, Derana bersiap untuk menghadapi hari baru.
Namun, aroma samar kopi yang sudah dingin yang tercium di udara itu membuatnya melangkah ke ruang makan. Tidak ada yang terlihat, kecuali cangkir kosong dengan kehangatan yang tersisa di meja makan. Detak jarum jam yang mengalun lebih keras itu membuat Derana memindai pandang. Dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan angka delapan yang membuatnya langsung menarik napas dalam-dalam. Kesunyian ruang membuatnya urung untuk menemui Arash. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Arash, “Aku akan keluar sebentar untuk bertemu kolega. Semoga harimu menyenangkan di kantor.” Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Dengan perasaan lega, ia bersiap untuk pergi, berharap pertemuannya nanti bisa membawa sedikit keceriaan di hari yang sunyi ini. Jam sudah menunjukkan angka sembilan ketika Derana tiba di sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota. Derana segera memesan coffee latte favoritnya dan memilih meja di dekat jendela, tempat ia bisa melihat keramaian jalan di luar. Sambil menunggu seseorang yang menghubunginya tadi malam. Tak lama setelah kemudian, pesanan Derana akhirnya tiba. Namun, saat pelayan itu meletakkannya di atas meja, tangannya sedikit gemetar dan tak sengaja menumpahkan minuman tersebut dan sedikit mengenai baju Derana. Membuat wanita itu terkejut dan merasa sedikit malu saat beberapa orang di sekitar menoleh ke arahnya. Dengan senyum yang dipaksakan, ia berkata, “Tidak apa-apa.” Meskipun jelas terlihat noda di bajunya. Derana segera bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menuju kamar mandi, berharap bisa membersihkan noda tersebut sebelum semakin menyebar. Setelah lama berkutat di sana—meski tak sepenuhnya menghilang, Derana melangkah keluar dari toilet umum dengan perasaan lega. Restoran itu ramai, penuh dengan suara tawa dan percakapan yang bercampur dengan aroma makanan lezat. Namun, langkahnya terhenti seketika ketika matanya menangkap sosok yang tak asing di sudut ruangan. Lelaki itu duduk di salah satu meja, sendirian, dengan ekspresi yang berubah drastis begitu melihat Derana. Mata mereka bertemu, dan seketika suasana restoran yang hangat terasa dingin dan menegangkan bagi Derana seorang. “Haka?” gumamnya nyaris tak bersuara. Bahkan, ia langsung mengambil satu langkah mundur kewaspadaan saat Haka mendekat. “Derana,” Suara Haka terdengar rendah, namun penuh kemarahan. “Berani sekali kau muncul di sini setelah mengkhianatiku.” “Apa maksud semua ini?” katanya dengan gigi terkatup rapat, suaranya bergetar karena letupan amarah yang membara. Derana membalas tatapan itu dengan tak kalah tajam. “Aku tidak lagi akan menerima perlakuan semena-mena darimu, Haka. Tidak hanya perasaan, tapi kau juga telah menghancurkan hidupku.” Haka terdiam, ia mencoba mencerna kata-kata wanita itu. “Apa yang kau inginkan dariku?” Derana mengambil napas dalam-dalam. “Aku ingin membuat kau menyesal. Aku ingin kau tahu betapa sakitnya hatiku karena perselingkuhanmu dengan Ilona.” Haka mengepalkan tangannya. “Oh, rupanya kau benar-benad iri dengan Ilona? Kau tidak aka tahu apa-apa!” “Ya! Kau benar, aku memang tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu, kau hanya lelaki bodoh, menjilat ludahmu sendiri dengan kembalinya mantan kekasihmu itu.” Derana terkekeh mencemoohnya. “Apa kau bilang? Berani sekali!” “Apa berita di media juga ulahmu? Bagaimana bisa kau tiba-tiba menikah dengan Arash?” Kini giliran Haka yang terkekeh. “Arash pasti akan marah besar jika dia tahu, kau hanya memanfaatkannya.” “Aku tidak peduli itu,” sahut sang wanita. Lalu menyeringai. “Wanita sialan! Kau akan menyesal, Derana!” kata lelaki itu dengan suara rendah, giginya menggertak menahan ancaman yang jelas. Derana merasakan jantungnya semakin berdebar kencang. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang, meski ancaman itu jelas terpancar dari mata Haka membuatnya sulit bernapas. “Lakukan saja! Aku tidak takut!” jawabnya dengan suara sedikit bergetar. Pada saat itu, Derana ingin melenggang pergi, namun langkahnya terhenti ketika Haka tiba-tiba menghalangi jalannya. Menatapnya penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Membuat Derana hanya bisa membeku di sana, merasakan hatinya yang berdebar kencang. Ia tahu bahwa Haka tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Dengan berat hati, ia tetap berdiri di tempatnya, menatap Haka dengan sama intensnya. Seperti tatapan nyalang yang lelaki itu berikan padanya. Dengan satu langkah kaki, Haka mendekati Derana. “Kau pikir kau bisa lolos begitu saja, Derana? Kau salah besar. Akan ku pastikan kau menderita lebih dari yang pernah kau bayangkan.” Derana mundur selangkah, merasakan dinding dingin di belakangnya. Ia tahu bahwa ancaman Haka bukanlah omong kosong belaka. “Aku tidak takut itu,” katanya, meskipun suaranya tidak sekuat yang ia harapkan. Namun, sebelum Derana sempat bereaksi, Haka meraih lengannya dengan kasar dan menyeretnya keluar dari restoran. “Agh!” Sehingga Derana terkejut. Orang-orang di sekitar mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing untuk memperhatikan apa yang terjadi. Meskipun Derana mencoba melawan, tetapi cengkeraman Haka terlalu kuat untuk perempuan sepertinya “Lepaskan!” Tanpa peduli, Haka tetap menyeretnya menjauhi keramaian. Derana merasa panik, tetapi ia tahu bahwa berteriak atau melawan hanya akan membuat situasinya semakin buruk. Haka tetap menggenggam tangannya dengan erat, membawanya melewati tangga sempit Hingga akhirnya, mereka tiba di atap rooftop yang tinggi, bahkan sepi jauh dari lalu lalang. Haka melepaskan cengkeramannya dan mendorong Derana ke dinding. “Kau pikir setelah kau mengkhianatiku, kau bisa lolos begitu saja?” “Aku akan memastikan kau membayar untuk ini.” imbuhnya dengan suara yang penuh kemarahan. Derana menatap Haka dengan mata penuh ketakutan, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap kuat. “Aku tidak takut padamu! Karena sekarang, aku punya kendali lebih besar,” Derana terkekeh dan berkata dengan nada sarkastik. Haka membalasnya dengan tersenyum sinis “Kendali? Memangnya kau tahu apa tentang kendali. Menjaga harta ayahmu saja kau tidak becus!” “Aku akan memastikan kau menyesal telah mengkhianatiku.” “Kau pikir aku akan terus menjadi wanita lemah yang bisa kau manipulasi?” “Kau salah besar, Haka! Aku telah melihat kebenaran. Tidak ada lagi penjelasan yang bisa menghapus rasa sakit yang kau berikan. Ini adalah akhir dari permainan kau dan wanita yang kau banggakan itu." Setelah mengatakan hal itu, Derana tetap mengusahakan agar terlihat tenang. “Kau bisa mencoba, tapi aku tidak akan membiarkanmu menang.” Haka mengangkat tangannya, siap untuk memukul. Namun, dengan sigapnya Derana menepis dan langsung menghempasnya. Membuat Haka mengernyit heran dengan perubahan Derana yang ia lihat. “Berani kau menyentuhku lagi, Haka!” “Kau akan menyesal telah mengkhianatiku,” kata Haka dengan nada berbalik mengancam tak terima. Derana menatap Haka dengan mata yang penuh ketakutan, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap kuat. “Kita lihat saja nanti. Ingat, Derana, aku selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang kuinginkan.” Haka tersenyum sinis sebelum berbalik dan meninggalkan Derana sendirian dengan perasaan takut dan bingung. Derana menghela napas lega setelah Haka benar-benar tak terlihat lagi. Wanita itu baru saja menerima ancaman yang membuat darahnya berdesir. Di balik senyumnya yang tenang, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, ancaman itu bukan sekadar gertakan. Haka, dengan tatapan dinginnya, telah menanamkan rasa takut yang mendalam di hatinya. Namun, Derana tidak akan menyerah begitu saja. Ia menguatkan diri, mengingatkan dirinya bahwa ia lebih kuat dari yang terlihat. Dengan tekad, ia bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Wanita itu berdiri terpaku di tempatnya. Ia menatap ketinggian yang membuatnya nanar. Kini kakinya terasa lemas, dan tangannya gemetar saat ia mencoba mengendalikan rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya. Pemandangan kota yang biasanya menenangkan, kini berubah menjadi lautan kekhawatiran. Derana kembali menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku bisa melewati ini,” bisiknya pada diri sendiri, meskipun suaranya terdengar goyah. Angin yang berhembus, seolah membuatnya merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam tubuhnya. Namun, bayangan Haka dan kata-katanya yang penuh amarah terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berdaya di hadapan ketinggian yang menakutkan Pengkhianatan Haka masih terasa segar, dan dia merasa sulit untuk mempercayai siapa pun. “Bagaimana jika aku salah lagi?” pikirnya. Derana menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ia juga tahu bahwa untuk bangkit, ia harus menghadapi ketakutannya dan menerima perubahan dalam dirinya. “Aku tidak akan membiarkan masa lalu mengendalikan masa depanku,” ucapnya dengan tegas.Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyal
Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
“Aku... aku tidak tahu.”Mendengar itu, Arash berdiri dengan cepat. Lalu tanpa berkata apa pun, dia pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamar mandi. Derana mengikuti dengan cemas, merasa bersalah dan bingung dengan apa yang terjadi. “Arash, aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.“Wajahmu terlihat—” Derana semakin khawatir saat melihat Arash mulai menggaruk kulitnya yang memerah. “Arash, kamu baik-baik saja?” tanya Derana dengan nada cemas. Namun, Arash hanya terdiam membisu. Terlihat jika kulitnya yang semakin memerah dan bengkak. Derana tahu bahwa ini bukan pertanda baik.“Sebaiknya kita pergi ke dokter saja.”Pada saat itu, Arash memang masih terdiam. Tetapi tatapan yang ditujukan pada Derana sudah tak lagi ramah.“Tidak perlu!” jawabnya dengan nada datar.“Tapi—” Derana meletakkan harap. Tapi ia kembali dibuat bungkam karena tatapan Arash yang semakin mengintimidasi.“Keluarlah! Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamarku!” k
Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut
Haka berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Arash, hatinya dipenuhi kemarahan. Kerja sama dengan Arash selalu menjadi tantangan, mengingat betapa sibuk dan berpengaruhnya pria itu dalam perusahaan. Namun, dokumen yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa mengetuk, Haka membuka pintu kantor Arash dan masuk dengan wajah marah. Arash, yang sedang duduk di belakang meja dengan tumpukan dokumen di depannya, mengangkat kepala dan menatap Haka dengan alis terangkat.“Haka, ada apa ini?” tanya Arash dengan nada tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kejengkelan.“Apa kau tidak punya sopan santun?”Haka tidak menjawab. Dia berjalan mendekat dan melemparkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Arash. Kertas-kertas itu berserakan, beberapa jatuh ke lantai.“Jelaskan ini, Arash!” seru Haka dengan suara keras.Arash menghela napas, mengambil salah satu dokumen dan membacanya sekilas. “Ini laporan keuangan perusahaan. Apa yang ingin kau ketahui?”“Transaksi mencurigakan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela dapur, menciptakan pantulan cahaya hangat di atas meja. Cahaya itu menyinari wajah Haka, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegang.Lelaki itu duduk di kusri meja makan, menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa hambar, tidak mampu mengusir kecemasan yang menghantui pikirannya.Ilona datang menghampiri dengan senyum hangat, membawa sepiring roti panggang dan selai. Dia duduk di seberang Haka, menatapnya dengan mata yang berbinar penuh harapan.“Selamat pagi, Sayang,” sapanya lembut.Haka mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum meskipun ketegangan masih menyumpal urat kepalanya, membuat setiap detak jantung terasa seperti dentuman keras di telinganya. “Selamat pagi, Ilona,” jawabnya dengan suara yang sedikit serak. “Terima kasih sudah membawa roti.”Faktanya, kehadiran Ilona langsung memberikan sedikit kelegaan di tengah ketegangan yang melingkupi ruangan.Ilona menyuguhkan se