Arash tersenyum penuh keyakinan. “Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan menggunakan bukti-bukti tambahan untuk menekan dewan direksi agar memecat Haka. Setelah itu, kita akan membeli saham-saham perusahaan dengan harga murah.”
Sepulangnya mereka dari tempat tersebut, malam itu Derana tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang nantinya. Dirinya tahu bahwa jalan yang mereka pilih memang penuh dengan risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Lalu pada keesokan harinya, Arash dan Derana mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka gegas mengirimkan bukti-bukti tambahan kepada dewan direksi. Bukti-bukti tersebut tidak hanya mengungkapkan kelicikan Haka dalam penggelapan pajak, tetapi juga menunjukkan keterlibatannya dalam skandal yang lebih mengerikan lagi. Haka ternyata telah memanipulasi laporan keuangan perusahaan selama bertahun-tahun, menyembunyikan kerugian besar dan mengalihkan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi. Hal itu nyatanya tidak membuat dewan direksi terkejut. Derana berhasil membuat mereka marah saat menerima bukti-bukti tersebut. Hingga pada saat itu, mereka segera mengadakan rapat darurat untuk membahas tindakan yang harus diambil. Posisi Haka kini benar-benar terancam, dan kemungkinan besar ia akan dipecat dari jabatannya sebagai CEO. Bahkan saham di perusahaannya mulai merosot tajam. Dalam sekejap, Arash dan Derana melancarkan serangan mereka, membeli saham-saham dengan kecepatan yang memukau. Mereka mengambil alih kendali perusahaan dengan tangan besi. Membuat Haka dan Ilona tidak punya pilihan selain menyaksikan kehancuran mereka sendiri dari kejauhan. Namun, di tengah kemenangan mereka, Derana mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa ada yang tidak beres, seolah-olah ada kekuatan yang lebih besar yang bermain di balik semua ini. Ia mulai meragukan niat Arash dan bertanya-tanya apakah dia hanya menjadi pion dalam permainan yang lebih besar. Maka dari itu, Derana mencoba menyusun kembali potongan-potongan informasi yang ia miliki, berharap menemukan jawaban yang bisa meredakan keraguannya. Bahkan sampai membuat Derana diam-diam masuk ke dalam ruang pribadi Arash, saat lelaki itu tidak ada di rumah. Derana menghela napas dalam-dalam sebelum mulai memeriksa setiap jengkal laci di ruang kerja Arash. Tangannya gemetar sedikit saat ia membuka laci pertama, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Setiap laci yang dibuka, ia teliti dengan seksama, mengamati setiap kertas, pena, dan benda kecil lainnya yang mungkin menyimpan rahasia. Harapannya semakin memudar seiring dengan laci-laci yang kosong, namun ia tidak menyerah. Di laci terakhir, di bawah tumpukan dokumen lama, ia menemukan sebuah buku catatan kecil yang tampak usang. Meski sempat ragu, ia mencoba meraihnya. Namun, belum sempat itu terjadi derit pintu ruang kerja Arash terdengar terbuka dengan tiba-tiba. Derana terkejut begitu berbalik badan, ia melihat lelaki itu yang sudah berdiri di ambang pintu dengan menunjukkan tatapan tajam dan penuh tanya. “Derana? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arash dengan nada curiga. Derana berusaha menenangkan dirinya, mencari alasan yang masuk akal. “Oh, Arash… Aku, aku hanya ingin membantumu membersihkan ruangan ini. Jadi, aku membereskan mejanya,” jawabnya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdebar kencang. Arash mengangguk perlahan, tampak menerima alasan Derana. “Baiklah, tapi lain kali beri tahu aku dulu sebelum masuk ke ruang kerjaku,” katanya sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Derana menghela napas lega, menyadari bahwa ia berhasil membuat Arash percaya. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus lebih berhati-hati ke depannya. “Arash, apa sebenarnya tujuanmu?” tanya Derana spontan. Membuat Arash lekas menoleh dan menatapnya dengan mata yang penuh misteri. “Tujuanku? Hanya memastikan keadilan itu ditegakkan,” jawabnya. “Tapi ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita hadapi. Sesuatu yang belum kamu ketahui.” Pada saat itu, di depan Derana, raut lelaki itu tiba-tiba berubah. Wajah yang semula tenang, kini justru menunjukan senyum asimetris. Lalu, dia terkekeh. “Apa ada yang kamu rahasiakan dariku?” Derana merasa jantungnya berdebar lebih kencang saat menanyakan hal itu. Ia tahu, Arash tidak akan berkata jujur. Arash hanya tersenyum tipis. “Kamu akan tahu pada waktunya, Derana. Kamu akan tahu itu.” Hari-hari berlalu, dan Derana mulai merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara dirinya dan Arash. Meskipun mereka telah berhasil menghancurkan Haka dan Ilona, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Derana. Ia merasa ada rahasia besar yang belum diungkapkan oleh Arash.Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai dingin itu memecah keheningan ruang yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Sesosok tinggi dengan pakaian rapi itu terlihat datang dari ruang pribadi. Dengan semangat yang masih setengah terjaga, Derana bersiap untuk menghadapi hari baru.Namun, aroma samar kopi yang sudah dingin yang tercium di udara itu membuatnya melangkah ke ruang makan. Tidak ada yang terlihat, kecuali cangkir kosong dengan kehangatan yang tersisa di meja makan. Detak jarum jam yang mengalun lebih keras itu membuat Derana memindai pandang. Dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan angka delapan yang membuatnya langsung menarik napas dalam-dalam.Kesunyian ruang membuatnya urung untuk menemui Arash. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Arash, “Aku akan keluar sebentar untuk bertemu kolega. Semoga harimu menyenangkan di kantor.” Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Dengan perasaan lega, ia bersiap untuk pergi, berharap pertemuan
Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyal
Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
“Aku... aku tidak tahu.”Mendengar itu, Arash berdiri dengan cepat. Lalu tanpa berkata apa pun, dia pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamar mandi. Derana mengikuti dengan cemas, merasa bersalah dan bingung dengan apa yang terjadi. “Arash, aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.“Wajahmu terlihat—” Derana semakin khawatir saat melihat Arash mulai menggaruk kulitnya yang memerah. “Arash, kamu baik-baik saja?” tanya Derana dengan nada cemas. Namun, Arash hanya terdiam membisu. Terlihat jika kulitnya yang semakin memerah dan bengkak. Derana tahu bahwa ini bukan pertanda baik.“Sebaiknya kita pergi ke dokter saja.”Pada saat itu, Arash memang masih terdiam. Tetapi tatapan yang ditujukan pada Derana sudah tak lagi ramah.“Tidak perlu!” jawabnya dengan nada datar.“Tapi—” Derana meletakkan harap. Tapi ia kembali dibuat bungkam karena tatapan Arash yang semakin mengintimidasi.“Keluarlah! Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamarku!” k
Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut
Haka berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Arash, hatinya dipenuhi kemarahan. Kerja sama dengan Arash selalu menjadi tantangan, mengingat betapa sibuk dan berpengaruhnya pria itu dalam perusahaan. Namun, dokumen yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa mengetuk, Haka membuka pintu kantor Arash dan masuk dengan wajah marah. Arash, yang sedang duduk di belakang meja dengan tumpukan dokumen di depannya, mengangkat kepala dan menatap Haka dengan alis terangkat.“Haka, ada apa ini?” tanya Arash dengan nada tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kejengkelan.“Apa kau tidak punya sopan santun?”Haka tidak menjawab. Dia berjalan mendekat dan melemparkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Arash. Kertas-kertas itu berserakan, beberapa jatuh ke lantai.“Jelaskan ini, Arash!” seru Haka dengan suara keras.Arash menghela napas, mengambil salah satu dokumen dan membacanya sekilas. “Ini laporan keuangan perusahaan. Apa yang ingin kau ketahui?”“Transaksi mencurigakan