Sementara kegaduhan itu terjadi, di tempat lain, Derana dan Arash tengah merayakan kehancuran Haka dan Ilona dari kejauhan. Mereka duduk di balkon apartemen, bersama dinginnya angin malam yang menyapu wajah mereka. Derana mengangkat gelas sampanye, tak terelak jika kini senyum tipis juga menghiasi wajahnya.
Sementara Arash, dengan tatapan penuh kemenangan, mengamati setiap gerakan di bawah sana, seolah-olah menikmati setiap detik kehancuran yang mereka ciptakan, sembari mencari kepastian bahwa rencana mereka selanjutnya berjalan sesuai harapan. “Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu, bukan?” kata Arash dengan suara penuh kepuasan, matanya berkilat dengan kegembiraan. Wanita yang duduk di sampingnya itu mengangguk, “Ya! Itu sedikit membuatku lega.” Sekali lagi mereka bersulang, suara gelas yang beradu menggema di malam yang sunyi, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka. “Ini baru permulaan,” kata Arash lagi dengan nada dingin. “Kita akan memastikan mereka merasakan penderitaan yang sama seperti yang mereka berikan padamu.” Sembari menyesap wine di tangannya, Derana diam-diam melirik Arash yang tengah menyunggingkan senyum samar di satu sudut bibirnya. Lelaki itu menatap kegelapan malam tanpa menyadari Derana yang kini tengah merasakan kebimbangan. Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya, membawa serta aroma anggur yang pekat. Derana merasa terombang-ambing antara kepuasan dan ketakutan. Dirinya tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Satu sisi, Derana merasakan keganjalan yang tak bisa diabaikan dalam diri Arash. Sikap Arash itu terlihat menyimpan dendam yang mendalam pada Haka. Melalui sikap puas yang terpancar dari wajah Arash begitu terang-terangan, seolah-olah lelaki itu telah mencapai sesuatu yang besar. Namun, Derana berusaha mencoba menepis pikiran buruk yang mulai merayapi benaknya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin ada alasan lain di balik senyum puas Arash. Wanita itu berusaha untuk tetap tenang dan tidak terbawa oleh emosinya sendiri, meskipun hatinya terus berdebar tak menentu dengan bayangan keraguan yang tetap menghantui. Hari-hari berikutnya, Haka dan Ilona hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan rasa malu. Setiap langkah mereka diawasi, setiap gerakan mereka menjadi bahan pembicaraan. Mereka tidak bisa lagi menikmati kehidupan mewah yang dulu mereka banggakan. Meskipun Ilona sendiri sudah mencoba untuk mempertahankan penampilannya di hadapan para sosialita dengan menghadiri sebuah arisan. Namun, setiap kali ia melangkah masuk ke ruangan, tatapan tajam dan bisikan-bisikan tak nyaman itu yang menyambutnya. “Itu dia, Ilona,” bisik seorang wanita dengan nada mengejek. “Bagaimana bisa dia masih berani muncul di sini?” Pada saat itu, Ilona merasakan pipinya memerah, namun ia tetap berusaha tersenyum dan menyapa dengan anggun, meski hatinya terasa hancur. Sementara itu, Haka juga menghadiri rapat dengan para kolega besar di kantornya. Biasanya, ia akan menjadi pusat perhatian, dihormati dan disegani. Namun kini, lelaki itu merasa terkucilkan. Setiap kali ia mencoba berbicara, rekan-rekannya tampak enggan mendengarkan. “Apakah dia masih punya kredibilitas?” gumam salah satu kolega dengan nada sinis. Haka merasakan beban berat di pundaknya, menyadari bahwa posisinya yang dulu kuat kini mulai goyah. Haka tidak bisa mengendalikan diri. Kini rasa frustasinya memuncak. Bahkan, di balik dinding kamar, Haka dan Ilona terus bertengkar hebat sepulangnya mereka dari luar. Keduanya saling menyalahkan atas situasi yang mereka hadapi. “Ini semua salah kamu!” teriak Ilona dengan mata berapi-api. “Kalau saja kamu lebih berhati-hati mungkin semua ini tidak akan terjadi!” Haka membalas dengan suara keras, “Dan kamu pikir aku yang harus disalahkan? Kamu juga punya andil dalam semua ini!” Namun, di tengah pertengkaran itu, mereka tiba-tiba terdiam. Kesadaran akan situasi mereka yang genting membuat mereka cepat bergerak. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Haka dengan suara lebih tenang. Amarahnya pun sedikit meredam. “Kita harus segera mencari solusi!” ucapnya lagi yang membuat Ilona mengangguk, lalu menyeka air mata di pipinya. “Kita harus bersatu, bukan saling menyalahkan,” tambahnya dengan suara bergetar. Haka menghela napas dalam-dalam. Setelah merasakan sedikit ketenangan, justru terlintas kecurigaan yang kini mulai merayapi pikirannya. Rasanya ada yang sangat janggal. Saat Haka tiba-tiba menerima kabar mengejutkan. Arash dan Derana, dua orang yang yang ia anggap penting tiba-tiba mengumumkan pernikahan mendadak. Tidak hanya itu, Arash juga tiba-tiba menerima kerjasama besar dengan perusahaan dirinya, meskipun sebelumnya selalu sulit untuk bekerja sama karena kesibukan Arash. “Kenapa, Haka? Apa yang kamu pikirkan?” Garis-garis yang terlihat muncul di dahi Haka kini membuat Ilona bertanya. Lelaki yang sudah duduk di tepi ranjang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu hal penting. “Kenapa mereka menikah begitu mendadak?” gumam Haka. Pada saat itu, dia belum menjawab pertanyaan Ilona. “Menikah? Mendadak? Siapa yang menikah mendadak?” tanya Ilona. “Dan kenapa Arash tiba-tiba setuju bekerja sama denganku?” Lelaki itu justru bergumam lagi. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Ilona, aku rasa kita harus lebih berhati-hati dengan Arash dan Derana,” katanya dengan nada serius. Membuat Ilona menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. “Apa maksudmu?” tanya Ilona. “Aku tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu yang aneh dengan mereka. Kita harus mencari tahu lebih banyak dulu,” jawab Haka. Sementara itu, di sebuah kafe yang tersembunyi di sudut kota, Arash dan Derana terus merencanakan langkah-langkah berikutnya. Mereka tahu bahwa menghancurkan reputasi Haka dan Ilona hanyalah permulaan. Arash memiliki rencana yang lebih besar, dan Derana siap untuk memainkan perannya. “Langkah pertama sudah berhasil,” kata Arash sambil menyesap kopinya. “Sekarang, kita harus memastikan mereka tidak punya kesempatan untuk bangkit kembali.” Derana mengangguk, matanya bersinar penuh semangat. “Aku sudah menyiapkan semua yang kita butuhkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.” “Langkah selanjutnya adalah memastikan mereka kehilangan semua yang mereka miliki,” ucap Arash dengan tegas. “Kita akan mengambil alih perusahaan Haka dan memastikan Ilona tidak punya tempat untuk kembali.” Derana kembali mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Bagaimana kita bisa melakukannya?”Arash tersenyum penuh keyakinan. “Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan menggunakan bukti-bukti tambahan untuk menekan dewan direksi agar memecat Haka. Setelah itu, kita akan membeli saham-saham perusahaan dengan harga murah.” Sepulangnya mereka dari tempat tersebut, malam itu Derana tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang nantinya. Dirinya tahu bahwa jalan yang mereka pilih memang penuh dengan risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Lalu pada keesokan harinya, Arash dan Derana mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka gegas mengirimkan bukti-bukti tambahan kepada dewan direksi. Bukti-bukti tersebut tidak hanya mengungkapkan kelicikan Haka dalam penggelapan pajak, tetapi juga menunjukkan keterlibatannya dalam skandal yang lebih mengerikan lagi. Haka ternyata telah memanipulasi laporan keuangan perusahaan selama bertahun-tahun, menyembunyikan kerugian besar dan men
Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai dingin itu memecah keheningan ruang yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Sesosok tinggi dengan pakaian rapi itu terlihat datang dari ruang pribadi. Dengan semangat yang masih setengah terjaga, Derana bersiap untuk menghadapi hari baru.Namun, aroma samar kopi yang sudah dingin yang tercium di udara itu membuatnya melangkah ke ruang makan. Tidak ada yang terlihat, kecuali cangkir kosong dengan kehangatan yang tersisa di meja makan. Detak jarum jam yang mengalun lebih keras itu membuat Derana memindai pandang. Dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan angka delapan yang membuatnya langsung menarik napas dalam-dalam.Kesunyian ruang membuatnya urung untuk menemui Arash. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Arash, “Aku akan keluar sebentar untuk bertemu kolega. Semoga harimu menyenangkan di kantor.” Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Dengan perasaan lega, ia bersiap untuk pergi, berharap pertemuan
Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyal
Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
“Aku... aku tidak tahu.”Mendengar itu, Arash berdiri dengan cepat. Lalu tanpa berkata apa pun, dia pergi meninggalkan meja makan dan menuju kamar mandi. Derana mengikuti dengan cemas, merasa bersalah dan bingung dengan apa yang terjadi. “Arash, aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.“Wajahmu terlihat—” Derana semakin khawatir saat melihat Arash mulai menggaruk kulitnya yang memerah. “Arash, kamu baik-baik saja?” tanya Derana dengan nada cemas. Namun, Arash hanya terdiam membisu. Terlihat jika kulitnya yang semakin memerah dan bengkak. Derana tahu bahwa ini bukan pertanda baik.“Sebaiknya kita pergi ke dokter saja.”Pada saat itu, Arash memang masih terdiam. Tetapi tatapan yang ditujukan pada Derana sudah tak lagi ramah.“Tidak perlu!” jawabnya dengan nada datar.“Tapi—” Derana meletakkan harap. Tapi ia kembali dibuat bungkam karena tatapan Arash yang semakin mengintimidasi.“Keluarlah! Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamarku!” k
Pagi itu, suasana di basement yang yang sepi, lampu neon yang redup memantulkan bayangan samar di dinding beton. Suara langkah kaki Derana bergema saat seseorang berjalan menuju mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di pojok ruangan. Mesin mobil dinyalakan, mengisi keheningan dengan deru yang lembut. Perlahan, mobil itu bergerak keluar dari basement, melewati pintu otomatis yang terbuka dengan suara berderit. Cahaya matahari pagi menyambut di ujung jalan keluar, memberikan kontras yang tajam dengan kegelapan basement.“Bzzz… Bzzz…”Tiba-tiba, dering ponsel yang bergetar di dalam tasnya memecah hening dalam kabin. Membuat Derana merogoh tasnya yang tergeletak di kursi penumpang, wanita itu mencoba mencari ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Namun, belum sempat mengeluarkan benda itu, dering ponsel yang semula bergetar, kini tak lagi terdengar. Derana menarik napas panjang, merasa sedikit lega namun juga penasaran siapa yang menelepon. Ia kembali fokus pada kemudi,
Perasaan tak tenang masih menyelimuti hati Haka, saat lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Ilona di depan gedung rumah sakit.Alih-alih masuk, lelaki itu justru berkata. “Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.”Membuat Ilona menatap Haka dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Baiklah.” “Aku tidak akan lama,” Haka menambahkan.Lalu, hanya dengan sebaris senyum yang Haka perlihatkan di depan sang wanita, membuatnya lekas mengangguk. Tatapan matanya masih mengikuti Haka yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu gedung rumah sakit.Dengan langkah pasti, lelaki itu berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Meski pikirannya terbagi, atas rasa penasaran yang menggelitik di benaknya tak bisa diabaikan. Rasa penasaran itu semakin kuat, hingga membuat Haka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Di dalam pikirannya, Haka bergumam, “Aku tidak yakin, Derana secepat itu melupakan aku. Apa mereka hanya berpura-pura?”Haka terlalu yakin akan perasaa
Haka baru saja tiba di ruang kantornya dengan emosi yang membara. Pikirannya masih dipenuhi oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya, bagaimana Arash memeluk Derana dengan erat saat itu. Wajah Haka ditekuk murung, matanya menatap kosong ke arah meja kerjanya. Entah mengapa ia merasa dikhianati, bahkan hatinya campur baur antara marah dan sedih menguasai dirinya.“Apa yang ada dipikiran Arash? Dan kenapa dia memeluk Derana?” batinnya berkata. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat. Pintu terbuka dengan keras, dan Ilona muncul dengan wajah panik. Kedatangannya yang terburu-buru membuat Haka sedikit tersentak dari lamunannya. “Haka, ada yang harus kamu dengarkan sekarang juga,” kata Ilona dengan nada mendesak, matanya penuh kekhawatiran.Haka menatap Ilona dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi. “Apa yang terjadi, Ilona?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. “Apakah ini tentang Arash dan Derana?”Ilona mengerut