Share

05. Tatapan Selidik

Sementara kegaduhan itu terjadi, di tempat lain, Derana dan Arash tengah merayakan kehancuran Haka dan Ilona dari kejauhan. Mereka duduk di balkon apartemen, bersama dinginnya angin malam yang menyapu wajah mereka. Derana mengangkat gelas sampanye, tak terelak jika kini senyum tipis juga menghiasi wajahnya.

Sementara Arash, dengan tatapan penuh kemenangan, mengamati setiap gerakan di bawah sana, seolah-olah menikmati setiap detik kehancuran yang mereka ciptakan, sembari mencari kepastian bahwa rencana mereka selanjutnya berjalan sesuai harapan.

“Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu, bukan?” kata Arash dengan suara penuh kepuasan, matanya berkilat dengan kegembiraan.

Wanita yang duduk di sampingnya itu mengangguk, “Ya! Itu sedikit membuatku lega.”

Sekali lagi mereka bersulang, suara gelas yang beradu menggema di malam yang sunyi, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka.

“Ini baru permulaan,” kata Arash lagi dengan nada dingin. “Kita akan memastikan mereka merasakan penderitaan yang sama seperti yang mereka berikan padamu.”

Sembari menyesap wine di tangannya, Derana diam-diam melirik Arash yang tengah menyunggingkan senyum samar di satu sudut bibirnya. Lelaki itu menatap kegelapan malam tanpa menyadari Derana yang kini tengah merasakan kebimbangan.

Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya, membawa serta aroma anggur yang pekat. Derana merasa terombang-ambing antara kepuasan dan ketakutan. Dirinya tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Satu sisi, Derana merasakan keganjalan yang tak bisa diabaikan dalam diri Arash. Sikap Arash itu terlihat menyimpan dendam yang mendalam pada Haka. Melalui sikap puas yang terpancar dari wajah Arash begitu terang-terangan, seolah-olah lelaki itu telah mencapai sesuatu yang besar. Namun, Derana berusaha mencoba menepis pikiran buruk yang mulai merayapi benaknya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin ada alasan lain di balik senyum puas Arash. Wanita itu berusaha untuk tetap tenang dan tidak terbawa oleh emosinya sendiri, meskipun hatinya terus berdebar tak menentu dengan bayangan keraguan yang tetap menghantui.

Hari-hari berikutnya, Haka dan Ilona hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan rasa malu. Setiap langkah mereka diawasi, setiap gerakan mereka menjadi bahan pembicaraan. Mereka tidak bisa lagi menikmati kehidupan mewah yang dulu mereka banggakan.

Meskipun Ilona sendiri sudah mencoba untuk mempertahankan penampilannya di hadapan para sosialita dengan menghadiri sebuah arisan. Namun, setiap kali ia melangkah masuk ke ruangan, tatapan tajam dan bisikan-bisikan tak nyaman itu yang menyambutnya.

“Itu dia, Ilona,” bisik seorang wanita dengan nada mengejek.

“Bagaimana bisa dia masih berani muncul di sini?”

Pada saat itu, Ilona merasakan pipinya memerah, namun ia tetap berusaha tersenyum dan menyapa dengan anggun, meski hatinya terasa hancur.

Sementara itu, Haka juga menghadiri rapat dengan para kolega besar di kantornya. Biasanya, ia akan menjadi pusat perhatian, dihormati dan disegani. Namun kini, lelaki itu merasa terkucilkan. Setiap kali ia mencoba berbicara, rekan-rekannya tampak enggan mendengarkan. “Apakah dia masih punya kredibilitas?” gumam salah satu kolega dengan nada sinis. Haka merasakan beban berat di pundaknya, menyadari bahwa posisinya yang dulu kuat kini mulai goyah.

Haka tidak bisa mengendalikan diri. Kini rasa frustasinya memuncak. Bahkan, di balik dinding kamar, Haka dan Ilona terus bertengkar hebat sepulangnya mereka dari luar. Keduanya saling menyalahkan atas situasi yang mereka hadapi.

“Ini semua salah kamu!” teriak Ilona dengan mata berapi-api.

“Kalau saja kamu lebih berhati-hati mungkin semua ini tidak akan terjadi!” Haka membalas dengan suara keras, “Dan kamu pikir aku yang harus disalahkan? Kamu juga punya andil dalam semua ini!”

Namun, di tengah pertengkaran itu, mereka tiba-tiba terdiam. Kesadaran akan situasi mereka yang genting membuat mereka cepat bergerak.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Haka dengan suara lebih tenang. Amarahnya pun sedikit meredam.

“Kita harus segera mencari solusi!” ucapnya lagi yang membuat Ilona mengangguk, lalu menyeka air mata di pipinya.

“Kita harus bersatu, bukan saling menyalahkan,” tambahnya dengan suara bergetar.

Haka menghela napas dalam-dalam. Setelah merasakan sedikit ketenangan, justru terlintas kecurigaan yang kini mulai merayapi pikirannya.

Rasanya ada yang sangat janggal. Saat Haka tiba-tiba menerima kabar mengejutkan. Arash dan Derana, dua orang yang yang ia anggap penting tiba-tiba mengumumkan pernikahan mendadak. Tidak hanya itu, Arash juga tiba-tiba menerima kerjasama besar dengan perusahaan dirinya, meskipun sebelumnya selalu sulit untuk bekerja sama karena kesibukan Arash.

“Kenapa, Haka? Apa yang kamu pikirkan?” Garis-garis yang terlihat muncul di dahi Haka kini membuat Ilona bertanya. Lelaki yang sudah duduk di tepi ranjang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu hal penting.

“Kenapa mereka menikah begitu mendadak?” gumam Haka. Pada saat itu, dia belum menjawab pertanyaan Ilona.

“Menikah? Mendadak? Siapa yang menikah mendadak?” tanya Ilona.

“Dan kenapa Arash tiba-tiba setuju bekerja sama denganku?” Lelaki itu justru bergumam lagi. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ilona, aku rasa kita harus lebih berhati-hati dengan Arash dan Derana,” katanya dengan nada serius. Membuat Ilona menatapnya dengan mata penuh pertanyaan.

“Apa maksudmu?” tanya Ilona.

“Aku tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu yang aneh dengan mereka. Kita harus mencari tahu lebih banyak dulu,” jawab Haka.

Sementara itu, di sebuah kafe yang tersembunyi di sudut kota, Arash dan Derana terus merencanakan langkah-langkah berikutnya. Mereka tahu bahwa menghancurkan reputasi Haka dan Ilona hanyalah permulaan. Arash memiliki rencana yang lebih besar, dan Derana siap untuk memainkan perannya.

“Langkah pertama sudah berhasil,” kata Arash sambil menyesap kopinya. “Sekarang, kita harus memastikan mereka tidak punya kesempatan untuk bangkit kembali.”

Derana mengangguk, matanya bersinar penuh semangat. “Aku sudah menyiapkan semua yang kita butuhkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.”

“Langkah selanjutnya adalah memastikan mereka kehilangan semua yang mereka miliki,” ucap Arash dengan tegas. “Kita akan mengambil alih perusahaan Haka dan memastikan Ilona tidak punya tempat untuk kembali.”

Derana kembali mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Bagaimana kita bisa melakukannya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status