Sepiring sandwich daging telah tersaji di meja makan berdampingan dengan secawan saus jamur. Pagi ini Yura memutuskan untuk bangun lebih pagi dari biasanya agar bisa membuat sarapan untuk suami tercintanya. Sudah tiga hari ini Yura melakukan hal tersebut, bukan apa-apa, hanya ingin menjaga hubungan yang sudah mulai membaik selama beberapa hari ini—sejak dari pantai kemarin— saja. Waktu pulang lelaki itu memang masih tidak tentu. Bukan seperti yang ia harapkan, tetapi ada kemajuan sejak mereka saling mengutarakan perasaan. Pesan-pesan yang Yura kirimkan terbalas meskipun berjarak beberapa jam. Setidaknya, ada sedikit perubahan. “Bukankah aku sudah bilang kalau tidak perlu bangun pagi dan membuat sarapan?” Yura yang sedang sibuk dengan daging ayam panggangannya hanya menyunggingkan senyum. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa pemilik suara bariton itu. Aroma fresh spicy yang berpadu dengan citrus dan musky, juga sedikit lavender yang menggelitik rongga hidung seakan bertukar sinyal
[“Kalau pun Pak Arya memberitahumu, aku yang akan mengusirmu dari bandara jika kau datang. Macam-macam saja kau ini.”]Suara lantang Erna menggema di dapur, melalui paggilan video yang beberapa menit lalu tersambung mereka akhirnya bertukar sapa. Setelah semalam melewatkan kabar dan tak bisa mengantar Erna ke bandara, Yura memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu melalui panggilan saja. Yura yang kala itu sedang memotong wortel hanya melempar senyum saja. Ia baru saja melayangkan protes kepada Erna yang pergi begitu saja tanpa memberitahunya saat itu juga. Tidak terkejut dengan nada bicara Erna yang begitu pedas, wanita itu memang demikian jika mendapati Yura memiliki niat yang nekat dan tak masuk akal. Padahal, menurut Yura, tidak masalah. Pergi ke bandara dengan keadaan hamil juga bukanlah sebuah momen yang menakutkan.“Tidak ada larangan ibu hamil ke bandara by the way, lalu kenapa kau harus mengusirku?” ujarnya setelah terkekeh.[“Aku tahu, tapi ibu hamil datang tengah malam k
Bel rumah sudah ditekan berulang kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Pintu utama dikunci, padahal biasanya, Yura tidak pernah menguncinya selama ia belum pulang. Bahkan saat dirinya pulang subuh sekali pun, pintu utama itu selalu mudah untuk ia buka. Akan tetapi untuk kali ini berbeda. Satpam di depan rumahnya tidak tahu apa-apa, sebab baru saja berganti shift dengan rekannya. Hari sudah larut, hampir pukul satu malam. Ini kesalahan besar yang entah bisa dimaafkan Yura atau tidak. Dia tak bisa pulang seperti janjinya sebab sang ibu tiba-tiba saja malam ini demam dan tak bisa ditinggalkan. Ia tak punya pilihan selain tinggal di sana sampai sang ibu stabil. Sementara dia sudah berjanji dengan Yura akan pulang pukul tujuh malam. Sembari berdiri di depan pintu, Gin memeriksa ponselnya. Pria itu hendak menghubungi istrinya. Namun, kedua matanya melebar saat melihat Ada panggilan tak terjawab dari Yura, Ayah, Bunda, Arkatama, dan entah berapa banyak lagi nomor-nomor itu berusaha
Setitik cairan rasa besi terasa di lidahnya. Disusul dengan rasa panas dan perih setelahnya. Sepertinya kepalan tangan ayahnya mengayun terlalu kuat hingga membuat sudut bibirnya terluka. Cukup beruntung sebab Arkatama sigap menangkap tubuhnya. Tidak tahu apa jadinya jika kepalanya membentur tembok yang kokoh itu. Ia tak siap dengan tindakan ayahnya yang tiba-tiba. Semua itu diluar ekspektasinya. Satu hal yang pasti, Wira tak pernah melakukan ini sebelumnya. Semasa kecil mungkin hanya tamparan biasa, bukan sampai meninju hingga berdarah seperti sekarang ini.Rasanya, Gin ingin melayangkan protes, tetapi apa yang baru saja ia lakukan rasanya cukup menjelaskan mengapa sang ayah tega memukul putranya sendiri hingga terluka. Setimpal dengan perbuatannya. Gin hanya bisa mendesis dan memejamkan kedua matanya saat tangan sang ayah terangkat kembali. Pria itu pasrah jika harus menerima pukulan lagi. Akan tetapi, Martha yang melihat tindakan suaminya segera berlari ke arah pintu dan dengan se
Bibir mungil itu terlihat pucat, meski Gin masih bisa melihat residu pelembab yang berada dipermukaan. Taburan bedak yang tidak terlalu tebal telah luntur karena air mata. Kemudian, satu hal lagi yang membuat hati lelaki itu semakin berdenyut nyeri, dress satin berwarna merah masih melekat di badan Yura. Dari ketiga hal itu saja, Gin sudah bisa menduga bahwa istrinya telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat acara semalam menjadi spesial.Semua sudah berantakan. Entah siapa yang harus ia salahkan, yang pasti diri sendiri.Gin menarik sebuah kursi agar lebih dekat dengan brankar tempat istrinya berbaring. Ia duduk di sana dan memberanikan diri untuk meraih salah satu tangan Yura yang tak terpasang infus. Dikecupnya tangan itu dengan pelan bersamaan dengan sebulir air yang mulai mengalir deras. Tidak ada kata yang sanggup meluncur dari bibi lelaki itu. Otot-otot disekitar rahangnya seakan lumpuh, beku, dan kaku. Bahkan kata maaf saja hanya bisa ia teriakkan dalam hati. Pada akhir
Yura menyibak kelopak mata saat merasakan sebuah sensasi dingin menusuk hidungnya. Perlahan ia mengerjap, menyeimbangkan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Sebuah dinding familiar dari tempat yang tidak pernah ingin ia kunjungi lagi mulai terlihat jelas, kemudian aroma antiseptic yang tercium samar, yang lebih dominan rasa kering karena ada udara sejuk yang terus merangsek masuk ke rongga hidungnya. Detik berikutnya ia menyadari sebuah selang oksigen terpasang di indera penciuman, kemudian selang infus membuat tangan kirinya kesulitan bergerak. Ia sedang terbaring di atas brankar. Tanpa diminta, rekaman peristiwa semalam terputar ulang di kepalanya. Sontak, Yura menggerakkan kedua tangan untuk memegang bagian perut dan berusaha menundukkan kepala. Meski tak terlalu yakin, tetapi Yura percaya jika masih ada sebuah nyawa yang bertahan di dalam sana. Saat bergerak pun ia tak merasakan sakit karena tindakan medis. Kepercayaan itu mulai bertambah saat merasakan gerakan aktif bayinya y
Gerakan kepala seseorang di atas brankar, mencuri perhatian Gin. Pria itu segera menegakkan tubuhnya ketika menyadari bahwa wanita yang ia tunggu sedari tadi sudah terbangun. Tidak peduli seberapa berat kepalanya saat ini, Gin hanya ingin melihat istrinya, lalu meminta maaf—apa pun reaksinya. Akan tetapi, baru saja menurunkan sebelah kakinya yang tersilang, tangan Martha bergerak memberikan kode ‘jangan’ kepadanya. Sang bunda seolah tahu apa niat yang ada di dalam hatinya. Martha meminta agar dirinya tetap diam di tempat, atau kalau bisa melanjutkan saja istirahatnya. Gin menolaknya dengan gelengan, ia tetap ingin bicara dengan istrinya tetapi balasan gestur sang bunda membuatnya urung. Pria itu melepas desah panjang sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju sofa. Pada sebuah cermin kecil yang tergantung di atas wastafel, Gin mengamati penampilannya yang cukup buruk. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa sang bunda memintanya tak bicara dulu, wajahnya tak karuan. Sepertinya ia h
“Selamat siang, Pak, senang kita bertemu di sini. Apa ada anggota keluarga yang di rawat di sini?” Seperti biasa wanita itu menyapa dengan ceria bahkan semakin melebarkan pintu.“Ya.”“Ah, begitu rupanya. Maaf, saya sedang mencari pasien. Ibu muda yang depresi dan seperti biasa, self harm. Sudah masuk tiga hari yang lalu, tetapi pindah kamar, dan kebetulan ruangannya ada di area yang sama. Saya kira dipindah ke sini.” Dr. Arum menyunggingkan senyuman. Selama mendengarkan lawan bicara, Gin berpura-pura mengambil air di atas nakas seraya menggeser tubuhnya ke samping kepala brankar. Hal itu sengaja ia lakukan agar dr. Arum tak melihat wajah Yura. Sudah ia pastikan jika ahli medis yang menangani ibunya itu belum melihat wajah Yura sama sekali. Bukan apa-apa. Gin hanya tidak ingin privasinya diketahui, walau ia juga tahu jika dr. Arum bukan orang yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Hanya saja, jika dia tak tahu tentang Yura maka Gin tidak perlu merasa khawatir. Sebab, wanita i