Share

2. Kamu tetaplah sama

"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M."

Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.

Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.

Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu."

"Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."

Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?

"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi tegas sebelum kembali naik ke lantai dua.

Zira terdiam, berpikir dalam-dalam. Ia sudah menolak film Aidan ketika Braga menghubunginya bulan lalu. Bagaimana bisa ia bekerja dengan orang yang sudah membuatnya terluka begitu dalam hingga ia melarikan diri bertahun-tahun? Namun sekarang karena ulah adiknya, ia terpaksa harus bergabung di film Aidan.

Genji berkata pelan bahkan nyaris berbisik. "Bukannya tujuan Kakak pulang ke Indonesia karena ingin melanjutkan karier di sini? Menurutku film Bang Aidan adalah peluang yang bagus. Bahkan, banyak para aktris yang rela menyerahkan tubuhnya demi peran dalam film."

"Diam! Ini semua gara-gara kebodohanmu!" Zira membentak keras, lalu bangkit dari kursi dengan kasar. Ia melangkah menuju taman belakang, duduk di ayunan sambil membuka aplikasi perbankan di ponselnya. Saat melihat saldo yang hanya tinggal satu digit, ia tak bisa menahan umpatan, "Arghhh! Sial! Bagaimana aku bisa menyewa kontrakan jika cuma segini?"

Ia terpikirkan satu nama yang mungkin bisa membantunya terlepas dari Aidan. Ia pun segera mencari kontak sang ibu dan melakukan panggilan. "Ma...," panggilnya dengan suara lesu.

"Zizi, kebetulan sekali kamu telpon. Ini desainernya sedang survei restoran. Terima kasih, ya sayang sudah bantu mengembangkan restoran. Mama yakin setelah ini, semua akan kembali membaik. Nanti Mama akan mengirim rancangan desainnya," ucap sang Mama penuh semangat. "Oh iya, kamu telpon Mama ada apa?"

Belum juga Zira menjawab, ibunya kembali berbicara. "Mama senang kamu memutuskan tinggal di Jakarta menemani Genji. Adikmu itu sering berpikiran pendek, dia masih belum dewasa. Kamu harus bersabar dan terus bimbing dia ya. Apalagi Genji sudah lama menunda skripsinya. Mama titip Genji, ya sayang?"

Zira tersenyum kecut, "iya, Ma." Ia pun menutup panggilan. "Genji memang berpikir pendek," gumamnya sambil menghela napas panjang.

***

"Kamu sudah mengambil keputusan?" tanya Aidan saat Zira memasuki ruang kerjanya.

Zira berjalan mendekat ke arah Aidan yang sedang duduk di depan komputer. Dengan tatapan serius, ia letakkan dua map yang sebelumnya pria itu berikan. "Aku setuju tapi aku juga mengajukan syarat."

Aidan tersenyum tipis. "Apa syaratmu?"

Zira duduk lalu menyerahkan selembar kertas kepada Aidan. "Aku ingin kita membuat garis batas," ucapnya tegas. "Ini peraturan yang harus kamu taati selama aku tinggal di sini."

Aidan membaca isi peraturan itu dengan alis yang sedikit terangkat, matanya menyipit sejenak. "Aku tidak masalah dengan peraturanmu, tapi... tidak boleh membawa lawan jenis ke rumah... tidakkah itu berlebihan?"

"Oh, kamu biasa bawa wanita untuk tidur di rumahmu?" Zira berkata pedas.

Aidan menatap lembut Zira sambil berkata, "cuma kamu wanita yang pernah tidur di kamarku."

Mendadak hati Zira berdesir saat mendengar pengakuan Aidan, tapi ingatan akan sikap dingin Aidan di masa lalu memaksanya untuk terus mawas diri. "Tidak bawa ke rumah tapi ke kamar hotel," ucapnya dengan nada menyindir.

Aidan tertawa kecil. "Tuduhan tanpa bukti itu namanya fitnah."

Zira mencebik, memutar malas bola matanya. "Satu lagi yang paling penting. Aku tetap ingin memakai kamar kemarin. Jadi, malam ini kamu harus sudah memindahkan barang-barangmu," ucapnya tegas.

"Oke! Tidak masalah," jawab Aidan dengan senyum yang sulit diartikan oleh Zira. "Aku senang kamu betah di sana."

Zira menatap dalam ke mata Aidan, mencoba mencari tahu maksud ucapan pria itu. Ia merasa senang tapi sekaligus khawatir.

***

Dengan mengenakan kaos crop top, kemeja terurai dan celana jeans ketat, Zira berjalan penuh percaya diri memasuki lobby Studio AB. Namun, ia sedikit kebingungan karena tidak ada siapapun di lobby, hingga suara seorang pria menyambutnya.

"Zira! Selamat datang!"

Braga, dengan langkah cepat yang hampir seperti berlari, mendekati Zira. Wajahnya berseri, terlihat jelas kebahagiaan dan antusiasme yang terpancar.

Zira tersenyum lembut, sedikit terkejut oleh sambutan hangat itu. "Anda, Pak Braga?"

"Panggil Braga saja. Kita seumuran," ucap pria yang suka berpenampilan formal itu.

Zira mengangguk lalu mengulurkan tangan. "Zira Ceisya, cukup panggil Zizi."

Setelah berjabat tangan, Braga mengarahkan Zira ke ruang meeting, di mana Aidan, Jerry, dan Cita sedang menunggu.

"Aidan, Jerry, Cita! Reina kita sudah tiba!" serunya sambil membuka pintu ruang meeting.

Jerry bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Zira dengan senyum lebar. "Akhirnya, kamu di sini. Tidak sia-sia usaha Aidan menyusulmu ke Tiongkok."

Zira terkejut dengan fakta yang diutarakan Jerry. Ia menatap ke arah Aidan yang sedang berjalan mendekatinya.

"Jadi itu alasannya kenapa kemarin kami bisa satu pesawat. Tapi ia tidak datang menemuiku, lalu ke mana?" tanya Zira dalam hati.

Aidan mengulurkan tangan kepada Zira, "terima kasih sudah bersedia ikut proyek film ini." Lalu menoleh sekilas ke Cita. "Ini Cita, penulis naskah utama bersama Jerry."

Zira menahan gejolak yang bergemuruh di dada. Dengan kemampuan aktingnya, ia tersenyum semanis mungkin, menjabat tangan Aidan dan Cita bergantian. Mereka lalu duduk kembali dengan posisi Zira berhadapan dengan Aidan.

Zira mendengarkan penjelasan Braga, tapi pikirannya tidak ada di sana. Sekali waktu ia melirik Aidan, ternyata pria tersebut tengah menatapnya begitu dalam. Ia menjadi semakin terganggu dengan hal itu.

"Bagaimana, Zi?" tanya Braga di akhir penjelasan membuat Zira kembali sadar.

Zira menggigit bibir pelan, menimbang. "Braga, setelah saya membaca naskahnya, saya lebih tertarik memerankan Alexa." Tatapan Zira berubah serius. "Karakter itu lebih pas buatku."

Braga menoleh pada Aidan, yang sejak tadi diam mendengarkan. "Aidan?"

Aidan menarik napas, tatapannya dingin seperti biasa. "Karakter Alexa memang lebih sesuai dengan Zizi. Wajahnya pas untuk Reina, tapi karakternya lebih kuat di Alexa."

Braga terdiam, memandang Jerry dan Cita yang juga mengangguk setuju.

"Baiklah," akhirnya Braga tersenyum, mengulurkan tangan. "Alexa is yours."

"Selamat datang di dunia Aidan Balangga, The cruel director," timpal Jerry dengan senyum lebar.

Zira mengernyit, tersenyum canggung. "Yes, he's so cruel," ucapnya dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status