Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara.
"Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna." Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain. Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai. Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan David yang mengambil video permainan Zira dan membagikannya ke medsos. David memberikan sebotol air mineral ke Zira sambil berkata, "menakjubkan. Bagaimana kamu bisa melakukannya?" Zira mengambil botol itu, meneguknya sambil tertawa kecil. "Rahasia," balasnya sambil mengedipkan mata. "Tapi intinya... tinggal percaya diri dan lompat." David tertawa sambil menggeleng. "Aku juga nggak mau kalah darimu." Dengan semangat, mereka berdua mulai melakukan tantangan parkour bersama. *** Zira bersiul pelan saat memasuki rumah. Ia mengganti sepatu dengan sandal rumah. Ketika hendak meletakkan sepatu ke rak, suara keras Aidan mengagetkannya. "Dari mana? Jam segini baru pulang." Aidan berdiri di ambang pintu ruang tamu, suaranya dingin. Zira melihat jam tangannya sendiri, mengernyit. "Baru jam 8." "Kamu itu seorang wanita tetap saja tidak baik keluar sendiri," kata Aidan penuh penekanan. Zira mendesah panjang, berjalan melewati Aidan lalu duduk di sofa ruang tengah. Sambil meletakkan tas ransel kecilnya, ia berkata, "aku tidak keluar sendiri. Lagipula, aku bukanlah anak kecil yang harus diberikan jam malam." Aidan ikut duduk di samping Zira, menatap tajam ke mata wanita berparas cantik itu. "Aku tidak mau ada skandal antar pemainku!" Zira mengerutkan alisnya, merasa bingung. "Apa maksudmu?" Tanpa bicara, Aidan menyodorkan ponselnya ke Zira. Di layar tampak video parkour yang diunggah David. Zira menatap layar ponsel itu dan tersenyum senang. "Dilihat dari sudut manapun, aku memang terlihat mengagumkan," ucapnya narsis diiringi tawa kecil. Ia mengambil ponselnya sendiri dari dalam tas, mengetikkan nama akun David sambil melihat ponsel Aidan. "Zizi, aku serius!" Aidan memperingatkan. Zira berkata santai sambil mengembalikan ponsel Aidan ke meja. "Kenapa? Tidak ada yang aneh di sini. Komentarnya semua positif." Ia berdiri, menenteng tasnya. "Mau ke mana?" tanya Aidan lebih keras. Zira mendesah kesal, "mau mandi pun harus laporan padamu?" Ia berjalan kembali. "Aneh banget," gumamnya. Aidan menggelengkan kepala seraya menatap Zira yang semakin menjauh. *** Menjelang tidur, Zira duduk di depan cermin, mengoleskan krim malam sambil mendengarkan musik. Sedang asyik-asyiknya menirukan suara penyanyi, mendadak lagunya berubah menjadi dering telpon. Zira berdecak, melihat nomor telpon asing di ponselnya. "Siapa telpon malam-malam?" Ia pun menggulir tombol terima. "Dengan saudara Zira Ceisya?" Zira mengernyit, berpikir siapa yang memanggillnya dengan panggilan seformal itu. Dia baru tiba di Indonesia, mana mungkin operator pinjol menelponnya. "Iya, saya sendiri," jawab Zira singkat. "Kami dari kantor kepolisian. Apa anda mengenal saudara Genjiro Akarsana? Sekarang beliau sedang berada di kantor." "Hah?" pekik Zira terkejut. "Ngapain Genji di kantor polisi? Anda jangan menipu saya, ya Pak." "Sebaiknya Anda segera datang ke Kantor Polisi sekarang untuk kejelasan informasi. Terima kasih." Zira terdiam, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengambil jaket lalu turun ke lantai bawah masih dengan bando kelincinya. Sampai di depan pintu kamar Genji, ia menggedornya dengan keras. "Ada apa gedor-gedor?" tanya Aidan dengan suara serak seperti baru bangun tidur. "Genji mana?" tanya Zira. Aidan meraup wajah, mengumpulkan kesadaran, membuka pintu lebih lebar. "Dia belum pulang," jawabnya pelan. "Jangan-jangan benar lagi dia di kantor polisi," tukas Zira dengan nada khawatir. "Antar aku ke kantor polisi sekarang!" Aidan terkejut tapi dengan sigap ia mengambil hoodie di gantungan baju lalu keluar kamar menyusul Zira yang sudah membuka pintu rumah. Mereka menuju kantor polisi dengan mobil Aidan. Setelah 30 menit perjalanan, mereka pun sampai. Zira bergegas turun ketika Aidan berhenti di tempat parkir. Ia berjalan cepat ke dalam kantor sambil mencari keberadaan sang adik. Saat melihat adiknya duduk di depan petugas, ia pun mendekati mereka. Tidak berselang lama, Aidan juga sudah berada di belakang mereka. "Ada apa ini, Pak?" tanya Zira dengan nada cemas sekaligus bingung. "Saudara Genjiro dilaporkan telah berselingkuh dengan istri Bapak Tukiman," jelas petugas singkat. "Hah!?" Zira melongo tidak percaya dengan penjelasan petugas. Ia pun menoleh ke arah adiknya. Genji menghela napas panjang. "Aku cuma ambil orderan ojol, Kak. Pas nyampe rumahnya Pak Tukiman, ibu Rudiah naik ke mobil. Tiba-tiba suaminya datang, langsung narik aku keluar dan mukul!" Genji menunjuk wajahnya yang memar, "Lihat ini! Aku enggak tahu apa-apa, tapi dituduh jadi selingkuhannya." Zira menahan tawa mendengar cerita sang adik. Ia kembali menoleh ke petugas. "Jadi, sudah jelas kalau hanya salah paham ya, Pak?" "Iya, Bu. Bapak Tukiman dan istrinya juga sudah meminta maaf ke saudara Genjiro. Tapi, adik Anda menuntut ganti rugi atas tindakan anarkis Pak Tukiman," terang petugas Polisi. Zira menoleh ke adiknya lagi, mengamati luka memar di wajah Genji. "Saya juga tidak terima adik saya dipukul sampai seperti ini, Pak. Permintaan maaf saja tidak cukup. Memangnya berobat tidak butuh biaya?" cerocosnya membela sang adik. Pak Tukiman mendesah, wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, Mbak, saya khilaf. Tapi saya benar-benar enggak punya uang." "Enak aja, coba Pak Polisi cek ATM bapak ini," jawab Zira tegas. Ia menatap kesal ke arah Tukiman. "Atau bapak mau masuk penjara?" Tukiman menghela napas, melirik ke istri yang duduk di sebelahnya. Ia pun mengeluarkan dompet lalu menyerahkan beberapa lembar merah kepada petugas Polisi sesuai dengan permintaan Genji. Genjiro tersenyum puas menerima uang ganti rugi untuk luka di wajahnya. Setelah bersalaman dengan petugas, Genji pun keluar kantor polisi bersamaan dengan sang kakak dan Aidan. "Bagi sini!" pinta Zira ketus sambil mengulurkan tangan. "Bukannya langsung pulang malah ngojek dulu." "Kan, cari tambahan uang buat ganti punya Kakak," bela Genji. Zira mengangkat tangannya hendak memukul sang adik, tapi dihadang oleh Aidan yang sigap memegang tangan Zira.Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,
Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?"Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuha
"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t
Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online. "Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online."Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel.""Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria."Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Ak
Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya."Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan.Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap.Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu."Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?"Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dar
Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift."Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan.Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?"Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?""Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil.Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." Davi