Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift.
"Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan. Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?" Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?" "Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil. Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." David mengulurkan tangan ke arah Zira. "Senang berkenalan dengan Anda. Zizi." Zira menjabat tangan David. "Dari dulu saya penasaran dengan pemeran pengganti Blue Demon. Saya pikir dia adalah pria yang didandani seperti wanita. Ternyata mereka menggunakan seorang stuntwoman. Saya benar-benar mengagumi kemampuan Anda," ucap David dengan pandangan penuh puja. "Anda berlebihan," jawab Zira sopan. "Sepertinya kita seumuran, apakah saya boleh berbicara informal?" David bertanya agak ragu. Zira tersenyum. "Tentu, David." "Kamu tahu alasanku mau ikut proyek ini?" Zira mengedikkan bahu. "Karena Sutradara Aidan dan kamu," lanjut David terdengar membual di telinga Zira. "Kamu memang aktor yang pintar mengambil hati," ledek Jerry diikuti tawa oleh mereka bertiga. Tidak lama kemudian datang Braga bersama dengan Lala dan manajernya. "Akhirnya yang ditunggu datang juga. Sang tokoh utama," ucap David tersenyum. Ia sedikit membungkukkan badan. "My Reina." Lala tersenyum simpul, "kamu benar-benar tukang membual." "Aidan sudah datang?" Braga menginterupsi. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. "Dia sudah di atas," jawab Jerry pelan. Braga mengangguk lalu berjalan menuju lift diikuti yang lain. Saat tiba di ruang meeting besar, Zira terpaku untuk sesaat. Ia melihat Aidan duduk di pojok ruangan diapit dua wanita. David menepuk pelan bahu Zira. "Jangan berhenti di tengah jalan, Nona," ucapnya diiringi tawa kecil. Zira tersenyum canggung, malu dengan perbuatannya. "Kita duduk di sana saja," ajak David lembut sambil menunjuk kursi bagian tengah dari meja meeting. Zira mengangguk, mengikuti langkah David. Tidak lama kemudian, beberapa artis mulai memasuki ruangan membuat suasana menjadi ramai. Hingga akhirnya suara Braga menggema ke setiap sudut ruangan,membuat suasana kembali tenang. Ia memberikan sambutan singkat sebelum sesi perkenalan para pemain. "Anggun dan terlihat lembut," gumam Zira saat Lala memperkenalkan diri. "Karena itulah netizen menjulukinya peri tak bersayap," bisik David yang mendengar gumaman Zira. Zira tersenyum, kembali menatap ke arah artis lain yang sedang memperkenalkan diri. Ketika tiba gilirannya, seketika ruangan sunyi. Semua mata tertuju padanya dengan pandangan yang berbeda. Ia bisa merasakan tekanan dari setiap mata para pemain lain. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. Dengan senyum termanisnya, ia memperkenalkan diri. "Saya Zira Ceisya sebagai Alexa. Mohon bimbingannya." Ia pun membungkuk sedikit sebagai bentuk penghormatan. *** Saat sesi pembacaan naskah, ruangan terasa lebih ramai dengan interaksi para pemain. Zira berusaha tetap tenang dan fokus, namun matanya tak sengaja bertemu dengan Aidan, membuat jantung berdetak lebih kencang sedikit mengganggu konsentrasinya. Setelah 3 jam, acara pembacaan naskah pun selesai. Aidan berdiri di tengah ruangan lalu berkata, "terima kasih atas kerja kerasnya hari ini. Mari kita terus berusaha untuk film ini hingga selesai." Tepuk tangan membahana di seluruh ruangan, merasa puas dengan kelancaran pembacaan naskah. Selesai acara, Zira pun bersiap keluar, tapi tiba-tiba Soraya melangkah mendekatinya dengan langkah angkuh. "Jadi, kamu yang mengambil peran Alexa dariku?" tanya Soraya dengan ketus. Zira menoleh dengan tenang. "Peran Alexa sudah diputuskan oleh produser dan sutradara. Aku hanya melakukan pekerjaanku," jawabnya singkat namun tegas. Soraya mendengus kecil, lalu menatap Zira dari atas ke bawah dengan pandangan merendahkan. "Dasar, selalu saja ada yang mencoba mengambil jalan pintas. Hati-hati, orang seperti kamu biasanya cepat naik tapi juga cepat jatuh." Zira tetap tenang, meskipun ada amarah yang mulai bergolak. Ia tahu Soraya mencoba memprovokasinya, dan dia tidak ingin memberikan kepuasan itu kepada wanita di depannya. "Terima kasih atas nasihatnya," balas Zira dengan senyum. "Tapi aku lebih suka membuktikan diri dengan kemampuan, bukan kata-kata kosong." Soraya tersenyum masam, jelas tak puas dengan respons Zira. "Kita lihat saja nanti, seberapa lama kamu bisa bertahan," katanya, lalu keluar ruangan. David yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka, mendekati Zira lalu berkata pelan. "Abaikan saja dia." "Sepertinya dia dekat dengan Sutradara," ucap Zira sambil melirik ke arah Aidan. "Soraya itu seperti lalat, mendekat ke setiap makanan." Zira mengangguk kecil, pandangannya kembali tertuju pada Aidan yang seolah tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi, sibuk berbincang dengan Jerry. Sesaat, Zira merasa seperti ia kembali menjadi gadis yang tidak terlihat, meskipun dirinya sudah berubah menjadi seseorang yang lebih kuat dan independen. "Zizi, kamu ada acara?" tanya David pelan memecah lamunan Zira. "Mau ikut parkour? Itung-itung buang sial atas ucapan kasar Soraya," ajak David sambil menaikkan alisnya. Zira berpikir sejenak, melihat jam lalu tersenyum. "Ayo!" Mereka berdua berjalan beriringan keluar ruangan setelah berpamitan dengan Aidan, Braga, dan Jerry. "Sepertinya aku harus gerak lebih cepat," gumam Braga terdengar jelas di telinga Aidan. Jerry yang mendengarnya pun menimpali, "Pesonamu masih kalah dari David. Mereka baru bertemu tapi sudah sedekat itu." Aidan hanya diam mendengarkan perkataan mereka berdua. Namun, tatapan matanya tajam ke arah pintu seolah mampu melihat apa yang berada di balik pintu.Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara."Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna."Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain.Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai.Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan
Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,
Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?"Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuha
"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t
Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online. "Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online."Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel.""Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria."Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Ak
Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya."Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan.Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap.Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu."Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?"Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dar