Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya.
"Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan. Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap. Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu." Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?" Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dari sutradara Liam atas kinerja Aidan. Namun, ia juga memiliki kekhawatiran sendiri akan masa lalu mereka. "Aku memang biasa akting depan kamera, tapi hanya sebagai stuntwoman tanpa dialog. Sejujurnya, aku takut tidak bisa memenuhi ekspektasi kalian," ucap Zira pelan. Aidan terkekeh pelan, ada sedikit kehangatan dalam tawanya. "Sejak kapan kamu menjadi seorang yang pesimis?" tanyanya, seolah mengejek tapi juga mencoba menyemangati. Zira berdecak kesal, menyesal mengakui kelemahannya di depan pria yang memiliki bahu lebar itu. Aidan berkata kembali dengan lembut tapi tegas, "Jerry dan Braga bukanlah orang yang sembarangan dalam memilih pemain." "Bagaimana denganmu?" tanya Zira dengan sorot mata tajam. "Aku percaya dengan pilihan mereka," jawab Aidan tanpa ragu. Ia kemudian berdiri, mengambil kopernya, dan melangkah keluar kamar. "Kamu tidak pernah percaya padaku," gumam Zira saat Aidan sudah menghilang di balik pintu. *** Di luar kamar, Aidan terkejut mendapati Genji berdiri di depan pintu. Matanya menyipit, menatap Genji penuh arti. "Kurangi kebiasaan mengupingmu itu," ucap Aidan pelan tapi tegas. Genji salah tingkah, menggaruk tengkuknya. "Bang Aidan mau ke mana bawa koper?" "Taruh koperku di kamarmu," ucap Aidan lalu berjalan menuju kamar Genji di lantai satu. "Hah?" Genji melongo lalu berjalan mengikuti Aidan yang sudah sampai tangga. "Bang, ranjangku kecil. Mau tidur di mana?" Aidan berhenti, menoleh ke arah Genji dengan senyum tersembunyi. "Pantaskah pemilik rumah tidur di lantai?" Lalu lanjut berjalan lagi. "Ah, sial!" Genji menggerutu, menggaruk kepalanya lalu mengambil ponsel di saku. Mengirimkan sebuah pesan yang berbunyi, "misi gagal." *** Pagi menjelang siang, suasana rumah dua lantai dengan cat warna hijau itu sudah berisik. Zira menyalakan musik cukup keras, kebiasaan yang ia lakukan ketika selesai mandi. Setelah merasa penampilannya sempurna, ia pun berjalan penuh percaya diri keluar kamar. Saat tiba di ruang tengah, ia melihat adiknya sedang menonton TV. "Kamu gak kuliah?" “Tinggal skripsi. Nanti sore aku ada part time,” jawab Genji tanpa menoleh. "Sudah 23 tahun belum lulus juga. Mau jadi mahasiswa abadi?" ledek Zira sambil mengganti sandal rumah dengan sepatu. Genji berdecak akhirnya menoleh ke sang kakak. "Ini juga lagi diusahakan. Santai saja, tahun ini pasti lulus." "Bagus deh, Kakak suka optimismu," ucap Zira tersenyum. "Aku pergi dulu." “Cantik amat, mau ke mana?” tanya Genji penasaran. Zira mengibaskan rambut dengan dramatis. "Kencan dong." “Kencan sama siapa? Wah, Mama harus tahu ini," kata Genji sedikit mengancam. “Dasar tukang ngadu!” Zira menanggapi dengan kesal dan berjalan keluar. Namun, sebelum pintu tertutup, ia berbalik lagi. “Aidan pergi?” “Kayaknya sih, Bang Aidan pergi kencan juga. Dia sering ketemu cewek di luar,” Genji menanggapi santai. Zira mendengus kesal. “Dasar playboy,” gumamnya, sebelum menutup pintu dengan sedikit keras. *** Saat tiba di halte, Zira melihat Braga yang sudah menunggunya di parkiran kafe. Ia tersenyum manis dan berjalan ke arah pria dengan setelan kemeja slim fit itu. “Sudah lama nunggu?” tanya Zira lembut. "Baru sampai juga. Ayo, masuk!" ajak Braga. Mereka berjalan berdampingan memasuki kafe. Saat mereka akan menuju lantai 2 kafe, tanpa sengaja Zira melihat Aidan sedang duduk dengan seorang wanita. Ia pun berhenti sebentar, menatap ke arah Aidan yang tengah tertawa lebar. Perasaan aneh menyusup di hatinya. Ia merasakan nyeri yang tak terjelaskan. "Aidan memang selalu menjadi bunga untuk para wanita," ucap Braga ikut menatap ke arah pandang Zira. "Siapa wanita itu?" tanya Zira berusaha tetap tenang. “Soraya, model sekaligus aktris. Dia juga pemeran di film 'Dua Wajah' ,” jawab Braga. “Mau gabung?” Zira menolak halus, merasa tak nyaman. Mereka pun melanjutkan langkah menuju lantai 2 kafe. Duduk di teras luar sambil menikmati angin pantai. "Pemandangan di sini bagus juga," puji Zira menikmati terpaan angin sore. "Makanan di sini juga enak," balas Braga memuji. Seorang pelayan datang membawakan menu. Zira membiarkan Braga memesankan untuknya karena ia tidak tahu menu mana yang enak. "Zizi, sebenarnya aku masih berharap kamu mau memerankan Reina. Lala memang bagus, tapi kepribadiannya sangat merepotkan," kata Braga penuh pengharapan. "Aku tidak ingin dikenal sebagai perebut peran. Selain itu, aku tidak yakin mampu memainkan peran Reina. Dia gadis yang polos, lembut, tapi penuh gairah. Sangat berkebalikan denganku," balas Zira to the point. Ia melihat kekecewaan di wajah Braga. "Tapi, aku tetap bersedia menjadi stuntwoman Reina. Dengan catatan untuk adegan aksinya saja." "Bahkan syuting belum dimulai pun kamu sudah menjiwai peran Alexa," kata Braga dengan senyum kagum. Zira tertawa kecil, "antagonis memang lebih cocok untukku." Mereka tertawa menikmati makan siang bersama. Selepas makan siang, Braga mengantar Zira pulang. "Terima kasih makan siangnya, Braga. Hati-hati di jalan," ucap Zira setelah turun dari mobil. Braga mengangguk lalu kembali melajukan mobilnya. Ia tersenyum kecil sambil melihat spion yang masih menampakkan siluet Zira. "Wanita yang menarik." ***Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift."Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan.Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?"Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?""Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil.Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." Davi
Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara."Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna."Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain.Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai.Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan
Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,
Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?"Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuha
"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t
Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online. "Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online."Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel.""Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria."Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Ak