"Jo ... Jo ... ente sudah jadi bos property hebat, ngajakin nongkrong kok masih aja di warkop," ucap Ipul dengan nada meledek.Joseph dan Aidan tertawa kecil."Ente juga, Dan. Sudah jadi sutradara terkenal apa kagak mampu gitu ngopi di kafe? Paradion Gold misalnya," lanjut Ipul sambil duduk di sebelah Joseph."Lebih nikmat ngopi di warkop. Sekalian nostalgia masa SMA," jawab Joseph santai.Ipul mengangkat sepotong pisang goreng. "Punya teman sukses gak jamin bikin kita makan enak." Ia menggigit gorengannya, "Semalaman ane udah bayangin minum kopi sambil makan camilan ala orang Barat. Eh, tetap aja gorengan jadi teman setia kopi.""Selesai syuting film baru, gue traktir di Paradion," tukas Aidan diiringi tawa ringan.Ipul menoleh, menatap Aidan dengan wajah sumringah. "Alhamdulillah, janji adalah utang."Joseph geleng-geleng, "Lu itu udah jadi juragan kontrakan, masih aja ngarep traktiran.""Ente kalau dikasih pilihan gratisan atau bayar pilih mana?"Joseph menjawab tanpa ragu, "gratis
Hari berganti, Zira sibuk dengan pelatihan akting yang memang diwajibkan oleh Aidan untuk diikuti semua pemain filmnya. Sore ini, aula di gedung akademi akting ramai dengan peserta pelatihan. "Braga!" sapa Lea, instruktur akting saat melihat Braga memasuki aula. "Ingin melihat kemampuan anak didikku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan."Aku tidak meragukan keahlianmu. Ada meeting sekitar sini, jadi mampir lihat sebentar saja," jawab Braga dengan senyum memuji sambil menjabat tangan Lea.Lea tertawa kecil, "aku merasa tersanjung dengan pujianmu itu." Ia mempersilakan Braga duduk sebelum berkata, "mari kita lihat kemampuan mereka."Lea berjalan mendekati panggung lalu berkata dengan tegas. "Zizi, David. Kita coba latihan adegan pertemuan pertama antara Alexa dan Demon." Zira dan David berjalan ke tengah panggung. "Rileks, Zi," kata David dengan senyum tipis.Zira menarik napas dalam-dalam, tersenyum sebelum berkata pelan, "ok!"Lea berdiri di bawah panggung mengamati setiap gerakan
Zira terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dan kening sedikit berkeringat akibat menahan nyeri yang menusuk punggung. Setiap gerakan kecil yang ia lakukan memicu rasa sakit. Meskipun begitu, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan di depan Braga."Braga, terima kasih," ucap Zira pelan dengan suara yang terdengar letih. Ia mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya tampak bergetar sedikit. "Aku baik-baik saja, kamu bisa pulang."Braga menoleh, tersenyum lembut. "Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.""Ada perawat, kamu gak perlu khawatir," balas Zira penuh ketenangan. Braga menghela napas, menatap penuh khawatir. "Zizi, biarkan aku menemanimu. Setidaknya ... sampai keluargamu datang."Zira pun mengangguk, mengalah. Meskipun ada rasa canggung yang ia rasakan karena hanya berdua dengan Braga dalam satu ruangan tanpa pasien lain. Ia baru merasa lega ketika mendengar suara ketukan pintu. Namun, saat melihat orang yang masuk ke dalam ruangan adalah Aidan, ada rasa kesal sekal
Zira menoleh terkejut ke arah suara pria di sebelahnya. "Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya dengan nada bingung.Aidan mengangkat bahu, "cukup lama untuk melihat dan mendengar kamu mengigau saat tidur." Ia mengatur ranjang Zira pada posisi setengah tidur lalu meletakkan sop iga di meja makan yang terpasang di ranjang. "Makanlah, masih hangat."Zira menatap sekilas ke arah Aidan lalu mengambil sendok, menyuapkan sop ke dalam mulutnya. Ia tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Bagaimana rasanya?" tanya Aidan pelan."Enak," jawab Zira singkat, menikmati setiap tetes sop.Aidan tersenyum senang, menatap hangat ke arah sang wanita. "Zi, aku boleh bicara?" tanyanya kemudian terdengar ragu."Bukannya sudah bicara dari tadi?" Zira menjawab sedikit ketus.Aidan menghela napas. "Aku harap kamu bersedia menjalani operasi cedera punggungmu."Zira menghentikan aktivitasnya, menatap kesal ke arah Aidan sambil meletakkan sendok dengan keras. "Apa maksudmu?""Tenang dulu," ucap Aidan lembut. "Aku tah
"Genji ke mana sih?" gumam Zira sambil menggigit bibir, menahan buang air. Melihat pintu terbuka, ia tersenyum tipis tapi sedetik kemudian hanya gerutuan yang keluar dari mulutnya. "Ah, kenapa dia lagi??"Aidan berjalan pelan mendekati ranjang Zira. Melihat wajah memerah sang wanita, ia pun berkata, "kamu baik-baik saja?"Ia mencoba meletakkan tangan di kening sang wanita, tapi ditepis oleh Zira. "Aku gak papa," ucap Zira ketus.Aidan mengernyit, memperhatikan gerak-gerik Zira. "Mau ke toilet?" ucapnya menebak.Zira diam, memutar bola mata dengan wajah yang semakin merah. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun mengangguk. Ia terkejut ketika Aidan langsung menggendongnya menuju toilet.Jarak yang sangat dekat membuatnya merasa seolah waktu terhenti, aroma khas aquatic menguar kuat dari tubuh Aidan membuat tenang. Ia menatap sendu wajah pria yang memiliki kumis tipis dengan garis rahang yang tegas. Mata Aidan yang tajam dengan alis tebal memang terlihat menakutkan, tapi bagi Zira ada kelembu
Genji menengok sekilas ke belakang sesaat keluar dari rumah dosennya. Ia berdecak kesal, menggerutu, berjalan menuju motor bebek yang ia parkir di halaman rumah sang dosen."Benar-benar dah, Pak Abdi! Kalau gak ingat berkah ilmu tergantung guru, udah keluar semua ini nama binatang."Ia menstarter motor, tapi seolah nasib sial menyertainya, motor tidak nyala juga. "Ah elah, kenapa juga ni motor pakai ngadat segala." Ia berusaha menstarter kembali sambil berdo'a. Saat motor hidup, ponselnya berbunyi. Dengan terpaksa, ia mematikan kembali mesin motornya."Siapa lagi ini yang telpon?" ucapnya sambil membuka ponsel. "Ah, tuan putri." Ia pun menekan tombol terima."Bakso akiw?""Sekarang?" Ia mematikan panggilan lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. "Demi kelancaran donasi, mohon kerja samanya, ya," ucapnya penuh harap sambil mengelus kepala motor lalu kembali menstarter motor. Bersyukur motor langsung hidup tanpa kendala.Genji melajukan motor menuju mangga besar, kawasan Ch
Zira memasang earphone di telinga, memutar musik lewat ponselnya. Ia Menoleh sekilas ke arah Aidan. Sambil mengangkat alis, ia berkata, "ngomong apa?"Aidan menghela napas, merasa sia-sia telah menyatakan keinginannya. Ia hanya bisa menggeleng lalu berkata, "ah, bukan apa-apa."Zira mengangkat bahu, lalu membaca naskah film yang diberikan oleh Cita tadi siang. Sedangkan Aidan membuka ponsel, bermain game sambil menemani Zira.Setelah membaca beberapa lembar, Zira mengernyit sambil berpikir. Ia pun menoleh ke Aidan lagi. "Dan, ini ada tambahan adegan romantis antara Alexa dengan Demon?"Aidan berkata tanpa menoleh, "iya, kemarin Cita sudah bicara, biar konflik Reina dan Alexa lebih intens.""Adegannya ciuman?" tanya Zira pelan.Seketika Aidan berhenti main ponsel lalu mengambil naskah dari tangan Zira. Ia membaca dengan teliti tambahan adegan yang disusun Cita. Tanpa ragu, ia menelpon Cita memintanya untuk menghapus adegan tersebut.Zira tersenyum tipis melihat sikap Aidan. Ia bisa mer
"Sudah semua?" tanya Zira saat keluar dari toilet setelah mengganti baju pasien dengan bajunya sendiri. Hari ini dokter sudah membolehkannya pulang dan menjalani rawat jalan.Aidan yang masih merapikan baju Zira di dalam tas berhenti sebentar lalu melihat sekeliling ruangan. "Iya, tinggal ini saja."Zira mengangguk, duduk di sofa menunggu Aidan menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama, suara pintu terbuka. "Aidan! Di sini juga?" tanya Braga terkejut melihat Aidan merapikan barang pribadi Zira."Iya," jawab Aidan singkat.Braga mengangkat alis, bertanya dalam hati sejak kapan Zira dan Aidan menjadi dekat. Ia mendekati Zira, ikut duduk di sebelah wanita itu.Ia menoleh ke arah Aidan lagi dan memperhatikannya. Dengan tatapan heran ia pun berkata, "omong-omong sejak kapan kalian dekat?"Zira terkejut, "ha?" Ikut melihat ke arah Aidan. "Oh itu, apa aku tidak pernah mengatakan kalau Aidan teman SMA-ku?"Braga kaget, tidak menyangka Aidan sudah lama mengenal Zira. Pantas saja pria itu mudah mem
Sudah 3 minggu, Zira beserta tim film melakukan syuting di Surabaya. Hari ini mereka akan pindah lokasi ke Bali. Rombongan kru film memilih menggunakan bus dan kapal penyeberangan, sedangkan para artis ada yang memilih naik pesawat. Zira sendiri memilih naik kapal bersama kru, meskipun harus berlama-lama duduk di mobil saat menuju pelabuhan Ketapang. Ia ingin merasakan semilir angin laut.Zira berjalan perlahan menaiki tangga menuju bagian atas kapal. Ia tersenyum tipis saat tiba di anak tangga terakhir. Dilihatnya Aidan sedang berdiri di salah satu sisi kapal sambil memejamkan mata. Ia pun perlahan mendekati pria tersebut."Tidak istirahat?"Zira terkejut lalu terkekeh pelan, "bagaimana kamu tahu?"Aidan membuka mata, menoleh dengan senyum lembut. "Aku hafal aromamu," ucapnya menggoda."Sekarang, kamu pandai menggoda orang ya."Sang sutradara tersenyum, merapikan anak rambut wanitanya yang terurai. Menatap mata Zira dengan penuh kasih sayang. Rasa rindu yang mendalam, suasana yang me
Suara baku hantam di gedung tua membahana, menciptakan suasana yang mencekam di tengah malam. Dengan napas terengah-engahnya, seorang perempuan berlari menghindar dari kejaran anak buah Demon. Desingan peluru menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Di bawah sana, seorang pria muda tergeletak bersimbah darah. Wajah perempuan itu mendadak pucat pasi. Teman klubnya bernasib naas di tangan Demon.Setitik air mata menetes dari sudut matanya. Apakah pria itu yang akan menjadi saudara iparnya kelak? Tidak. Ia harus menyelamatkan Reina. Tangannya mengepal kuat, dengan kecepatan penuh ia kembali berlari hingga suara sang sutradara menghentikan aksinya."Cut!"Aidan tersenyum puas melihat akting Zira dan juga para stuntman. "Kerja bagus semua. Kita istirahat 15 menit."Zira berjalan mendekat ke arah sang sutradara. Duduk di sebelahnya sambil melihat layar monitor."Bagaimana?"Aidan menunjuk layar, "memuaskan. Kamu bisa menyampaikan kemarahan sekaligus takut bersamaan.""Bena
"Mama,"Kompak, Zira dan Aidan memanggil wanita baya di depan mereka."Itu Tante, cewek penggoda, pelakor," ucap Soraya cukup keras dengan senyum culas.Wanita baya itu berjalan mendekat ke arah Zira. Soraya makin tersenyum lebar membayangkan sebuah tamparan mendarat di pipi wanita yang sudah merebut Aidan darinya. Namun, apa yang ia lihat sungguh di luar prediksi, wanita baya itu malah memeluk Zira dengan erat. Mulutnya pun melongo, ingin protes tapi ucapan tegas menghentikannya."Kamu tidak perlu mengantarku lagi, Soraya. Putriku sudah kembali.""Hah," Soraya terhenyak. "I ... ya, Tante." Ia pun kembali ke kamarnya dengan seribu tanya.Sementara itu, Zira menunduk dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Luna, ibunya Aidan dengan cara yang canggung."Mama kangen sama kamu," ucap wanita baya itu dengan lembut.Zira terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Ada perasaan malu dan juga bersalah.Aidan yang menyadari keterkejutan Zira, mendekati sang ibu. "M
"Hapus photonya!" Genji menatap tajam wanita cantik yang beberapa hari terakhir ini sering membuat masalah dengannya.Lala membalas tatapan Genji dengan tak kalah sengit. Tidak ada ketakutan dari sorot matanya. Mencibir dan mendengus kasar, lalu berkata, "kalau aku tidak mau menghapusnya, kamu mau apa?"Genji mendekatkan wajah ke telinga sang artis, berkata pelan tapi penuh penekanan. "Aku bisa menghancurkan kariermu. Hanya dalam hitungan detik semua orang akan tahu wujud aslimu."Ia kembali menatap sang wanita dengan seringaian sinis. Aura intimidasi menguar dari tubuhnya. "Bagaimana jika orang-orang tahu seorang Camilla Safea, artis dengan julukan peri tak bersayap tega melukai wanita lain karena cemburu?"Lala bergetar, refleks kakinya mundur selangkah. "Kamu bicara apa?"Genji mengeluarkan ponsel, memutar video dan menunjukkan ke wanita itu. "Sudah paham di mana posisimu sekarang?"Sang artis menatap video dengan tubuh bergetar. Ia tidak menyangka ada seseorang yang merekam tindak
Jam sudah menunjuk angka 9, sudah larut untuk berkeliaran di jalan. Badannya pun terasa sangat lelah, merindukan kasur. Namun, ia tidak bisa mengabaikan undangan makan malam Braga begitu saja. Beruntung kali ini sang adik bersedia menemani tanpa drama. Zira berjalan memasuki restoran mewah dengan langkah ragu. Ia menatap penampilannya yang tidak sesuai dengan kemewahan restoran. Ya, setelah selesai syuting dirinya memang langsung menuju restoran tanpa mengecek lebih dulu seperti apa tempat yang dipilih Braga."Hai!" sapanya saat tiba di tempat duduk sang Produser.Braga tersenyum senang melihat kedatangan wanita yang sudah ditunggunya. "Sulit mencari restorannya? Duduklah."Zira duduk sambil berkata, "aku seperti alien di planet asing.""Santai saja, kamu tetap cantik," ucap Braga merayu dengan senyum lebar.Zira tersenyum canggung, lebih ke merasa mual. Dirinya memang bukan tipe wanita yang suka mendengar pujian fisik.Tidak berselang lama, makanan pun datang. Suasana restoran sudah
Zira tertawa mendengar spekulasi yang diutarakan Jerry. Sudah menjadi kewajaran seorang stuntwoman ataupun stuntman terluka selama syuting. Kurangnya koordinasi dengan pemain lain, kesalahan teknis, ataupun human error lainnya.Dirinya bahkan sering melakukan adegan berbahaya seperti melompat dari gedung yang tinggi, menerobos kaca, balapan mobil hingga kecelakaan dan mobil terbakar. Ia tidak merasa curiga sama sekali dengan stuntman lain, karena saat itu dirinya juga menyadari tidak terlalu fokus sehingga terlambat menghindari tendangan lawannya."Ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Jerry dengan wajah bingung."Kamu berlebihan, Jer. Kesalahan itu bisa terjadi kapan dan di mana saja," ungkap Zira."Tapi ... aku pikir ucapan Jerry bisa dijadikan pertimbangan," ucap Aidan menyela. Ia merasa ucapan penulis skenario itu ada benarnya juga."Ayolah, kalian berdua membuat perutku sakit," kata Zira diiringi tawa kecil. Membuatnya mendapat tatapan tajam dari Aidan. Ia segera menutup mulut,
Aidan melepas headset, berlari ke arah Zira tanpa memedulikan pandangan kru dan pemain. Kecemasan terlihat jelas di raut wajahnya. "Zizi ...,"Tidak mendapat respon selain suara rintihan, ia bergegas menggendong sang wanita. Berjalan cepat ke arah pintu keluar sambil berteriak, "Genji! Siapkan mobil!"Braga terdiam melihat aksi sang sutradara. Berpikir apakah dirinya sudah kalah? Ia hanya bisa menatap Zira yang berada dalam rengkuhan Aidan."Syuting kita lanjutkan besok," ucap Braga kemudian menenangkan kru yang sedang kebingungan.Jerry mendekatinya, berkata pelan, "aku akan menyusul Aidan."Braga mengangguk, "kabari jika ada apa-apa."Sementara itu, Soraya yang melihat dari jauh menatap penuh amarah sambil mengepalkan tangan. "Dia berani mengambil Aidan dariku?"***Genji mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Melihat darah menetes dari kening sang kakak, membuatnya takut sekaligus khawatir. Bagaimana pun juga hanya Zira satu-satunya saudara yang dia
Braga berjalan penuh percaya diri memasuki rumah, tempat syuting film kali ini. Postur tubuh yang tegap, kemeja abu slim fit dibalut jas hitam memancarkan pesona pria mapan, bahu yang lebar mampu membuat para wanita ingin bersandar. Lala tersenyum dengan mata berbinar cerah melihat kedatangan pria matang itu. Ia pun berdiri ingin menyambutnya, tapi sedetik kemudian senyum itu luntur. Tangannya terkepal erat menatap Braga yang malah mendekati Zira. "Aku bilang apa. Digigit anjing yang ditolong itu menyakitkan, bukan?" Lala menoleh kaget tiba-tiba mendengar ocehan Soraya yang entah kapan sudah berdiri di sampingnya. Ia hanya melirik kesal lalu meninggalkan wanita itu sendiri. "Zira ...," gumam Soraya. "Dasar penggoda murahan." Tatapannya tajam penuh iri ke arah Zira yang sedang berbicara dengan Braga. *** Sementara itu, Jerry yang merasa kasihan dengan Aidan berusaha mengganggu usaha Braga. Sambil membawa segelas kopi, ia berjalan ke arah Zira dan Braga. "Kopi," ucap Jerry
Di sebuah rumah mewah bergaya Eropa, semua orang terdiam melihat ke arah pemain yang sedang beradu akting. Aidan, sang sutradara menatap layar dengan serius sambil mendengarkan suara pemain lewat headset. Seorang gadis dengan gaya maskulin berdiri di samping jendela lantai dua. Tatapannya tajam ke arah luar. "Wajahnya terlihat tidak asing," ucapnya menggumam. Seketika raut muka sang gadis berubah menjadi ketakutan dan kecemasan. Tubuhnya tampak gemetar dengan tangan kanan menggenggam erat sebuah gelas minum. "Dia ...," "Cut!" teriak Aidan menghentikan syuting. Ia menatap dingin ke arah Zira sambil berkata, "Zizi, perlihatkan rasa terkejut!" Zira menghela napas. Ini adalah kali kesepuluh dia mengulang adegan di hari pertama syuting. Rasa lelah setelah pengambilan adegan bertarung tadi pagi membuat konsentrasinya sedikit buyar. Namun, ia tetap harus professional. "Semua, siap pada posisinya!" teriak asisten sutradara. Meskipun suaranya masih terdengar kencang, tapi tidak bisa