Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online.
"Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja." Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online. "Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan. Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?" Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel." "Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut. Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria. "Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Aku mau ke Primrose Hospital, apakah searah?" Braga berkata pada sopirnya, "kita antar Nona Zizi dulu." Sang sopir mengangguk lalu melajukan mobil sesuai perintah majikannya. Dari dalam lobby, Aidan mengepalkan tangan melihat Zira pergi bersama dengan Braga. *** "Bu dokter, sepertinya jantungku bermasalah. Bisakah Anda membantuku?" Zira bercanda sesaat membuka pintu ruangan dokter yang bertuliskan dr. Aisyah Salsabila. "Aku ini dokter anak bukan dokter penyakit dalam," balas Aisyah sambil tersenyum lebar. Ia lalu berdiri, berjalan mendekat dan memeluk sahabatnya erat. "Kapan pulang?" "Tadi malam," jawab Zira dengan senyum manis. Aisyah melepas pelukannya dan mempersilakan Zira untuk duduk lalu mengambilkan sebotol air mineral yang tersedia di kulkas mini kantor. Aisyah menyerahkan minuman sambil berkata, "kali ini menetap?" Zira mengangguk saat menerima botol minum. Membuka lalu meminumnya. Setelah minum, ia menghela napas panjang. "Hari-hariku akan terasa sangat panjang." "Kenapa?" "Aidan," ucap Zira terdengar pilu. Aisyah menepuk pelan bahu sahabatnya. "Kamu bertemu dengannya?" Zira menarik napas panjang lalu menceritakan setiap detail kejadian yang ia alami sejak bertemu dengan Aidan setelah 10 tahun berlalu. "Aku rasa Aidan masih menyukaimu," ucap Aisyah memberikan hasil analisanya. Zira berdecih, "spekulasimu terlalu mengada-ada." "Kamu tidak merasa dia sengaja membuatmu tinggal di rumahnya karena ingin kembali bersamamu?" Zira menggeleng. "Tidak mungkin. Dia pasti balas dendam karena aku menolak filmnya. Pria dingin, angkuh yang tidak bisa menerima penolakan." Aisyah mengernyit, menyipitkan mata. "Tapi, kalau dari cerita Joseph sepertinya dia masih menunggumu. Kamu juga, kan?" Zira tertawa kecil sambil mengibaskan tangan. "Mana mungkin." Aisyah tiba-tiba meletakkan stetoskop di atas dada Zira. "Tapi, jantungmu seperti ini karena 'dia', kan?" Zira berpikir sejenak. "Aku rasa tidak. Sebelum pulang, aku syuting hingga tidak tidur selama 2 hari." Aisyah mengelus rambut sang sahabat sambil berkata lembut, "kasihannya saudaraku ini." Tiba-tiba terdengar suara perut menggeram. Mereka berdua menoleh dan langsung tertawa. “Ayo kita rayakan kepulanganmu,” kata Aisyah sambil mengirim pesan pada suaminya. “Kita makan bareng teman Joseph, ya?” “Oke, nggak masalah,” jawab Zira singkat. Meski hatinya berdebar lagi, ia mencoba mengabaikannya. *** Aisyah dan Zira berjalan berdampingan menuju restoran, namun tiba-tiba Zira berhenti dan menarik tangan Aisyah dengan cemas. “Temannya Joseph itu… Aidan?” bisiknya dengan nada panik. Aisyah menatap Zira dengan senyum yang sulit disembunyikan. “Maaf, Joseph nggak bilang namanya di pesan. Tapi bukankah ini hal yang bagus?” “Fiuh, benar-benar hari yang panjang,” gumam Zira saat melangkah masuk, tangan Aisyah masih digandeng erat. “Zizi, apa kabar?” sapa Joseph dengan senyum lebar begitu melihat mereka. “Kamu makin berotot sekarang, ya?” ledeknya. "Berhenti meledekku, Jo. Lihat saja dirimu seperti tulang. Aku lihat dokter muda di rumah sakit tampan-tampan, tampak menggoda." Zira duduk dan membalas ledekan Joseph. Joseph terkekeh, “Aisyah nggak sepertimu. Baginya, aku pria tertampan di dunia ini.” Zira melirik Aisyah yang tersenyum kecil, lalu mendengus. “Kalau netizen yang nilai, wajahmu cuma sepertiga dari ketampanan ayah mertua dan kakak iparmu.” “Sudah, Jo,” potong Aisyah sambil melirik suaminya. “Maaf, sayang,” kata Joseph sambil mencium punggung tangan Aisyah. Zira yang baru saja meneguk minumannya langsung tersedak ketika Joseph menyindir, “Kalian tidak ingin seperti kami?” Aidan segera bertindak, menggantikan gelas Zira, memberikan tisu, dan menepuk lembut punggungnya. Wajah Zira memerah, tapi ia pura-pura tak peduli. Hatinya mendadak bergetar lebih kuat saat menyadari perubahan sikap Aidan. Setelah makanan datang, mereka pun mulai menyantapnya. Hati Zira kembali terusik kala Aidan mengambil semangkuk sop ikan lalu memisahkan daun bawangnya dan kemudian memberikan sop tersebut ke depannya. Tidak hanya berhenti di situ saja, Aidan mengupaskan kulit udang untuknya juga. "Kenapa kamu menjadi hangat seperti ini?" ucap Zira membatin. Ia merasakan detak jantungnya kembali berjalan tidak normal. *** Selepas makan malam, mereka berjalan beriringan menuju parkir hingga terpisah di mana Zira ganti semobil dengan Aidan. "Takdir macam apa ini?" ucap Zira pelan. Aidan tersenyum tipis, pandangannya tetap lurus ke jalan. "Mungkin Joseph benar kalau kita berjodoh." Zira mendadak diam lalu menoleh, menatap tajam ke arah Aidan. "Joseph bukan Tuhan." "Mau bertaruh?" Aidan menyeringai kecil. Zira terdiam cukup lama, memikirkan perkataan Aidan. "Jika memang berjodoh, kita tidak akan berpisah." Aidan menoleh sejenak, matanya lembut namun penuh keyakinan. “Kita masih bisa memperbaikinya.” Kata-kata itu menggantung di udara, membuat jantung Zira semakin berdebar tak karuan. Ia menatap pria di sebelahnya, mencoba memahami apa yang tersirat dari ucapannya. Ada getir, pilu yang menjalar dalam hatinya. Ia memutuskan untuk memejamkan mata, mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Mobil kembali sunyi hingga Aidan berhenti dan mematikan mesin mobil. "Kamu sudah memindahkan barang-barangmu?" tanya Zira saat mereka memasuki rumah bersama. "Besok pagi saja, ya? Malam ini aku ambil pakaian dulu," jawab Aidan terdengar lelah. Mereka berjalan berdampingan menaiki tangga hingga masuk ke dalam kamar. Saat Aidan mengepak pakaiannya ke dalam koper, Zira merasa sedikit bersalah. "Kamu mau tidur di mana? Bukannya tidak ada kamar lagi?" Aidan menutup kopernya, berjalan perlahan ke arah Zira. "Jika kamu khawatir denganku, kenapa tidak membiarkanku tidur di sini saja?" Zira terkejut mendapat tatapan lembut Aidan yang sama seperti dulu. "Stop! Berhenti di situ!" Ia berteriak saat Aidan hanya tinggal berjarak kurang dari semeter darinya. Ia merasakan degupan jantungnya seolah sedang lomba lari. "Jika sudah selesai, sebaiknya kamu segera keluar. Aku mau tidur." Aidan berhenti sejenak, tapi setelah Zira selesai berbicara, ia kembali berjalan ke arah sang wanita. Zira mundur hingga terjatuh di kasur.Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya."Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan.Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap.Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu."Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?"Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dar
Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift."Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan.Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?"Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?""Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil.Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." Davi
Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara."Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna."Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain.Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai.Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan
Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,
Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?"Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuha
"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t