Share

3. Benarkah jantungku berdetak lebih kencang karenamu?

Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online.

"Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."

Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online.

"Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.

Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya.

"Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"

Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel."

"Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.

Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria.

"Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Aku mau ke Primrose Hospital, apakah searah?"

Braga berkata pada sopirnya, "kita antar Nona Zizi dulu."

Sang sopir mengangguk lalu melajukan mobil sesuai perintah majikannya.

Dari dalam lobby, Aidan mengepalkan tangan melihat Zira pergi bersama dengan Braga.

***

"Bu dokter, sepertinya jantungku bermasalah. Bisakah Anda membantuku?" Zira bercanda sesaat membuka pintu ruangan dokter yang bertuliskan dr. Aisyah Salsabila.

"Aku ini dokter anak bukan dokter penyakit dalam," balas Aisyah sambil tersenyum lebar. Ia lalu berdiri, berjalan mendekat dan memeluk sahabatnya erat. "Kapan pulang?"

"Tadi malam," jawab Zira dengan senyum manis.

Aisyah melepas pelukannya dan mempersilakan Zira untuk duduk lalu mengambilkan sebotol air mineral yang tersedia di kulkas mini kantor.

Aisyah menyerahkan minuman sambil berkata, "kali ini menetap?"

Zira mengangguk saat menerima botol minum. Membuka lalu meminumnya. Setelah minum, ia menghela napas panjang. "Hari-hariku akan terasa sangat panjang."

"Kenapa?"

"Aidan," ucap Zira terdengar pilu.

Aisyah menepuk pelan bahu sahabatnya. "Kamu bertemu dengannya?"

Zira menarik napas panjang lalu menceritakan setiap detail kejadian yang ia alami sejak bertemu dengan Aidan setelah 10 tahun berlalu.

"Aku rasa Aidan masih menyukaimu," ucap Aisyah memberikan hasil analisanya.

Zira berdecih, "spekulasimu terlalu mengada-ada."

"Kamu tidak merasa dia sengaja membuatmu tinggal di rumahnya karena ingin kembali bersamamu?"

Zira menggeleng. "Tidak mungkin. Dia pasti balas dendam karena aku menolak filmnya. Pria dingin, angkuh yang tidak bisa menerima penolakan."

Aisyah mengernyit, menyipitkan mata. "Tapi, kalau dari cerita Joseph sepertinya dia masih menunggumu. Kamu juga, kan?"

Zira tertawa kecil sambil mengibaskan tangan. "Mana mungkin."

Aisyah tiba-tiba meletakkan stetoskop di atas dada Zira. "Tapi, jantungmu seperti ini karena 'dia', kan?"

Zira berpikir sejenak. "Aku rasa tidak. Sebelum pulang, aku syuting hingga tidak tidur selama 2 hari."

Aisyah mengelus rambut sang sahabat sambil berkata lembut, "kasihannya saudaraku ini."

Tiba-tiba terdengar suara perut menggeram. Mereka berdua menoleh dan langsung tertawa.

“Ayo kita rayakan kepulanganmu,” kata Aisyah sambil mengirim pesan pada suaminya. “Kita makan bareng teman Joseph, ya?”

“Oke, nggak masalah,” jawab Zira singkat. Meski hatinya berdebar lagi, ia mencoba mengabaikannya.

***

Aisyah dan Zira berjalan berdampingan menuju restoran, namun tiba-tiba Zira berhenti dan menarik tangan Aisyah dengan cemas. “Temannya Joseph itu… Aidan?” bisiknya dengan nada panik.

Aisyah menatap Zira dengan senyum yang sulit disembunyikan. “Maaf, Joseph nggak bilang namanya di pesan. Tapi bukankah ini hal yang bagus?”

“Fiuh, benar-benar hari yang panjang,” gumam Zira saat melangkah masuk, tangan Aisyah masih digandeng erat.

“Zizi, apa kabar?” sapa Joseph dengan senyum lebar begitu melihat mereka. “Kamu makin berotot sekarang, ya?” ledeknya.

"Berhenti meledekku, Jo. Lihat saja dirimu seperti tulang. Aku lihat dokter muda di rumah sakit tampan-tampan, tampak menggoda." Zira duduk dan membalas ledekan Joseph.

Joseph terkekeh, “Aisyah nggak sepertimu. Baginya, aku pria tertampan di dunia ini.”

Zira melirik Aisyah yang tersenyum kecil, lalu mendengus. “Kalau netizen yang nilai, wajahmu cuma sepertiga dari ketampanan ayah mertua dan kakak iparmu.”

“Sudah, Jo,” potong Aisyah sambil melirik suaminya.

“Maaf, sayang,” kata Joseph sambil mencium punggung tangan Aisyah.

Zira yang baru saja meneguk minumannya langsung tersedak ketika Joseph menyindir, “Kalian tidak ingin seperti kami?”

Aidan segera bertindak, menggantikan gelas Zira, memberikan tisu, dan menepuk lembut punggungnya.

Wajah Zira memerah, tapi ia pura-pura tak peduli. Hatinya mendadak bergetar lebih kuat saat menyadari perubahan sikap Aidan.

Setelah makanan datang, mereka pun mulai menyantapnya. Hati Zira kembali terusik kala Aidan mengambil semangkuk sop ikan lalu memisahkan daun bawangnya dan kemudian memberikan sop tersebut ke depannya. Tidak hanya berhenti di situ saja, Aidan mengupaskan kulit udang untuknya juga.

"Kenapa kamu menjadi hangat seperti ini?" ucap Zira membatin. Ia merasakan detak jantungnya kembali berjalan tidak normal.

***

Selepas makan malam, mereka berjalan beriringan menuju parkir hingga terpisah di mana Zira ganti semobil dengan Aidan.

"Takdir macam apa ini?" ucap Zira pelan.

Aidan tersenyum tipis, pandangannya tetap lurus ke jalan. "Mungkin Joseph benar kalau kita berjodoh."

Zira mendadak diam lalu menoleh, menatap tajam ke arah Aidan. "Joseph bukan Tuhan."

"Mau bertaruh?" Aidan menyeringai kecil.

Zira terdiam cukup lama, memikirkan perkataan Aidan. "Jika memang berjodoh, kita tidak akan berpisah."

Aidan menoleh sejenak, matanya lembut namun penuh keyakinan. “Kita masih bisa memperbaikinya.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat jantung Zira semakin berdebar tak karuan. Ia menatap pria di sebelahnya, mencoba memahami apa yang tersirat dari ucapannya.

Ada getir, pilu yang menjalar dalam hatinya. Ia memutuskan untuk memejamkan mata, mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Mobil kembali sunyi hingga Aidan berhenti dan mematikan mesin mobil.

"Kamu sudah memindahkan barang-barangmu?" tanya Zira saat mereka memasuki rumah bersama.

"Besok pagi saja, ya? Malam ini aku ambil pakaian dulu," jawab Aidan terdengar lelah.

Mereka berjalan berdampingan menaiki tangga hingga masuk ke dalam kamar. Saat Aidan mengepak pakaiannya ke dalam koper, Zira merasa sedikit bersalah. "Kamu mau tidur di mana? Bukannya tidak ada kamar lagi?"

Aidan menutup kopernya, berjalan perlahan ke arah Zira. "Jika kamu khawatir denganku, kenapa tidak membiarkanku tidur di sini saja?"

Zira terkejut mendapat tatapan lembut Aidan yang sama seperti dulu. "Stop! Berhenti di situ!" Ia berteriak saat Aidan hanya tinggal berjarak kurang dari semeter darinya. Ia merasakan degupan jantungnya seolah sedang lomba lari. "Jika sudah selesai, sebaiknya kamu segera keluar. Aku mau tidur."

Aidan berhenti sejenak, tapi setelah Zira selesai berbicara, ia kembali berjalan ke arah sang wanita. Zira mundur hingga terjatuh di kasur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status