Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online.
"Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja." Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online. "Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan. Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?" Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel." "Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut. Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria. "Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Aku mau ke Primrose Hospital, apakah searah?" Braga berkata pada sopirnya, "kita antar Nona Zizi dulu." Sang sopir mengangguk lalu melajukan mobil sesuai perintah majikannya. Dari dalam lobby, Aidan mengepalkan tangan melihat Zira pergi bersama dengan Braga. *** "Bu dokter, sepertinya jantungku bermasalah. Bisakah Anda membantuku?" Zira bercanda sesaat membuka pintu ruangan dokter yang bertuliskan dr. Aisyah Salsabila. "Aku ini dokter anak bukan dokter penyakit dalam," balas Aisyah sambil tersenyum lebar. Ia lalu berdiri, berjalan mendekat dan memeluk sahabatnya erat. "Kapan pulang?" "Tadi malam," jawab Zira dengan senyum manis. Aisyah melepas pelukannya dan mempersilakan Zira untuk duduk lalu mengambilkan sebotol air mineral yang tersedia di kulkas mini kantor. Aisyah menyerahkan minuman sambil berkata, "kali ini menetap?" Zira mengangguk saat menerima botol minum. Membuka lalu meminumnya. Setelah minum, ia menghela napas panjang. "Hari-hariku akan terasa sangat panjang." "Kenapa?" "Aidan," ucap Zira terdengar pilu. Aisyah menepuk pelan bahu sahabatnya. "Kamu bertemu dengannya?" Zira menarik napas panjang lalu menceritakan setiap detail kejadian yang ia alami sejak bertemu dengan Aidan setelah 10 tahun berlalu. "Aku rasa Aidan masih menyukaimu," ucap Aisyah memberikan hasil analisanya. Zira berdecih, "spekulasimu terlalu mengada-ada." "Kamu tidak merasa dia sengaja membuatmu tinggal di rumahnya karena ingin kembali bersamamu?" Zira menggeleng. "Tidak mungkin. Dia pasti balas dendam karena aku menolak filmnya. Pria dingin, angkuh yang tidak bisa menerima penolakan." Aisyah mengernyit, menyipitkan mata. "Tapi, kalau dari cerita Joseph sepertinya dia masih menunggumu. Kamu juga, kan?" Zira tertawa kecil sambil mengibaskan tangan. "Mana mungkin." Aisyah tiba-tiba meletakkan stetoskop di atas dada Zira. "Tapi, jantungmu seperti ini karena 'dia', kan?" Zira berpikir sejenak. "Aku rasa tidak. Sebelum pulang, aku syuting hingga tidak tidur selama 2 hari." Aisyah mengelus rambut sang sahabat sambil berkata lembut, "kasihannya saudaraku ini." Tiba-tiba terdengar suara perut menggeram. Mereka berdua menoleh dan langsung tertawa. “Ayo kita rayakan kepulanganmu,” kata Aisyah sambil mengirim pesan pada suaminya. “Kita makan bareng teman Joseph, ya?” “Oke, nggak masalah,” jawab Zira singkat. Meski hatinya berdebar lagi, ia mencoba mengabaikannya. *** Aisyah dan Zira berjalan berdampingan menuju restoran, namun tiba-tiba Zira berhenti dan menarik tangan Aisyah dengan cemas. “Temannya Joseph itu… Aidan?” bisiknya dengan nada panik. Aisyah menatap Zira dengan senyum yang sulit disembunyikan. “Maaf, Joseph nggak bilang namanya di pesan. Tapi bukankah ini hal yang bagus?” “Fiuh, benar-benar hari yang panjang,” gumam Zira saat melangkah masuk, tangan Aisyah masih digandeng erat. “Zizi, apa kabar?” sapa Joseph dengan senyum lebar begitu melihat mereka. “Kamu makin berotot sekarang, ya?” ledeknya. "Berhenti meledekku, Jo. Lihat saja dirimu seperti tulang. Aku lihat dokter muda di rumah sakit tampan-tampan, tampak menggoda." Zira duduk dan membalas ledekan Joseph. Joseph terkekeh, “Aisyah nggak sepertimu. Baginya, aku pria tertampan di dunia ini.” Zira melirik Aisyah yang tersenyum kecil, lalu mendengus. “Kalau netizen yang nilai, wajahmu cuma sepertiga dari ketampanan ayah mertua dan kakak iparmu.” “Sudah, Jo,” potong Aisyah sambil melirik suaminya. “Maaf, sayang,” kata Joseph sambil mencium punggung tangan Aisyah. Zira yang baru saja meneguk minumannya langsung tersedak ketika Joseph menyindir, “Kalian tidak ingin seperti kami?” Aidan segera bertindak, menggantikan gelas Zira, memberikan tisu, dan menepuk lembut punggungnya. Wajah Zira memerah, tapi ia pura-pura tak peduli. Hatinya mendadak bergetar lebih kuat saat menyadari perubahan sikap Aidan. Setelah makanan datang, mereka pun mulai menyantapnya. Hati Zira kembali terusik kala Aidan mengambil semangkuk sop ikan lalu memisahkan daun bawangnya dan kemudian memberikan sop tersebut ke depannya. Tidak hanya berhenti di situ saja, Aidan mengupaskan kulit udang untuknya juga. "Kenapa kamu menjadi hangat seperti ini?" ucap Zira membatin. Ia merasakan detak jantungnya kembali berjalan tidak normal. *** Selepas makan malam, mereka berjalan beriringan menuju parkir hingga terpisah di mana Zira ganti semobil dengan Aidan. "Takdir macam apa ini?" ucap Zira pelan. Aidan tersenyum tipis, pandangannya tetap lurus ke jalan. "Mungkin Joseph benar kalau kita berjodoh." Zira mendadak diam lalu menoleh, menatap tajam ke arah Aidan. "Joseph bukan Tuhan." "Mau bertaruh?" Aidan menyeringai kecil. Zira terdiam cukup lama, memikirkan perkataan Aidan. "Jika memang berjodoh, kita tidak akan berpisah." Aidan menoleh sejenak, matanya lembut namun penuh keyakinan. “Kita masih bisa memperbaikinya.” Kata-kata itu menggantung di udara, membuat jantung Zira semakin berdebar tak karuan. Ia menatap pria di sebelahnya, mencoba memahami apa yang tersirat dari ucapannya. Ada getir, pilu yang menjalar dalam hatinya. Ia memutuskan untuk memejamkan mata, mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Mobil kembali sunyi hingga Aidan berhenti dan mematikan mesin mobil. "Kamu sudah memindahkan barang-barangmu?" tanya Zira saat mereka memasuki rumah bersama. "Besok pagi saja, ya? Malam ini aku ambil pakaian dulu," jawab Aidan terdengar lelah. Mereka berjalan berdampingan menaiki tangga hingga masuk ke dalam kamar. Saat Aidan mengepak pakaiannya ke dalam koper, Zira merasa sedikit bersalah. "Kamu mau tidur di mana? Bukannya tidak ada kamar lagi?" Aidan menutup kopernya, berjalan perlahan ke arah Zira. "Jika kamu khawatir denganku, kenapa tidak membiarkanku tidur di sini saja?" Zira terkejut mendapat tatapan lembut Aidan yang sama seperti dulu. "Stop! Berhenti di situ!" Ia berteriak saat Aidan hanya tinggal berjarak kurang dari semeter darinya. Ia merasakan degupan jantungnya seolah sedang lomba lari. "Jika sudah selesai, sebaiknya kamu segera keluar. Aku mau tidur." Aidan berhenti sejenak, tapi setelah Zira selesai berbicara, ia kembali berjalan ke arah sang wanita. Zira mundur hingga terjatuh di kasur.Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya."Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan.Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap.Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu."Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?"Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dar
Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift."Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan.Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?"Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?""Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil.Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." Davi
Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara."Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna."Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain.Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai.Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan
Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,
"Jo ... Jo ... ente sudah jadi bos property hebat, ngajakin nongkrong kok masih aja di warkop," ucap Ipul dengan nada meledek.Joseph dan Aidan tertawa kecil."Ente juga, Dan. Sudah jadi sutradara terkenal apa kagak mampu gitu ngopi di kafe? Paradion Gold misalnya," lanjut Ipul sambil duduk di sebelah Joseph."Lebih nikmat ngopi di warkop. Sekalian nostalgia masa SMA," jawab Joseph santai.Ipul mengangkat sepotong pisang goreng. "Punya teman sukses gak jamin bikin kita makan enak." Ia menggigit gorengannya, "Semalaman ane udah bayangin minum kopi sambil makan camilan ala orang Barat. Eh, tetap aja gorengan jadi teman setia kopi.""Selesai syuting film baru, gue traktir di Paradion," tukas Aidan diiringi tawa ringan.Ipul menoleh, menatap Aidan dengan wajah sumringah. "Alhamdulillah, janji adalah utang."Joseph geleng-geleng, "Lu itu udah jadi juragan kontrakan, masih aja ngarep traktiran.""Ente kalau dikasih pilihan gratisan atau bayar pilih mana?"Joseph menjawab tanpa ragu, "gratis
Hari berganti, Zira sibuk dengan pelatihan akting yang memang diwajibkan oleh Aidan untuk diikuti semua pemain filmnya. Sore ini, aula di gedung akademi akting ramai dengan peserta pelatihan. "Braga!" sapa Lea, instruktur akting saat melihat Braga memasuki aula. "Ingin melihat kemampuan anak didikku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan."Aku tidak meragukan keahlianmu. Ada meeting sekitar sini, jadi mampir lihat sebentar saja," jawab Braga dengan senyum memuji sambil menjabat tangan Lea.Lea tertawa kecil, "aku merasa tersanjung dengan pujianmu itu." Ia mempersilakan Braga duduk sebelum berkata, "mari kita lihat kemampuan mereka."Lea berjalan mendekati panggung lalu berkata dengan tegas. "Zizi, David. Kita coba latihan adegan pertemuan pertama antara Alexa dan Demon." Zira dan David berjalan ke tengah panggung. "Rileks, Zi," kata David dengan senyum tipis.Zira menarik napas dalam-dalam, tersenyum sebelum berkata pelan, "ok!"Lea berdiri di bawah panggung mengamati setiap gerakan
Zira terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dan kening sedikit berkeringat akibat menahan nyeri yang menusuk punggung. Setiap gerakan kecil yang ia lakukan memicu rasa sakit. Meskipun begitu, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan di depan Braga."Braga, terima kasih," ucap Zira pelan dengan suara yang terdengar letih. Ia mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya tampak bergetar sedikit. "Aku baik-baik saja, kamu bisa pulang."Braga menoleh, tersenyum lembut. "Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.""Ada perawat, kamu gak perlu khawatir," balas Zira penuh ketenangan. Braga menghela napas, menatap penuh khawatir. "Zizi, biarkan aku menemanimu. Setidaknya ... sampai keluargamu datang."Zira pun mengangguk, mengalah. Meskipun ada rasa canggung yang ia rasakan karena hanya berdua dengan Braga dalam satu ruangan tanpa pasien lain. Ia baru merasa lega ketika mendengar suara ketukan pintu. Namun, saat melihat orang yang masuk ke dalam ruangan adalah Aidan, ada rasa kesal sekal
Zira menoleh terkejut ke arah suara pria di sebelahnya. "Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya dengan nada bingung.Aidan mengangkat bahu, "cukup lama untuk melihat dan mendengar kamu mengigau saat tidur." Ia mengatur ranjang Zira pada posisi setengah tidur lalu meletakkan sop iga di meja makan yang terpasang di ranjang. "Makanlah, masih hangat."Zira menatap sekilas ke arah Aidan lalu mengambil sendok, menyuapkan sop ke dalam mulutnya. Ia tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Bagaimana rasanya?" tanya Aidan pelan."Enak," jawab Zira singkat, menikmati setiap tetes sop.Aidan tersenyum senang, menatap hangat ke arah sang wanita. "Zi, aku boleh bicara?" tanyanya kemudian terdengar ragu."Bukannya sudah bicara dari tadi?" Zira menjawab sedikit ketus.Aidan menghela napas. "Aku harap kamu bersedia menjalani operasi cedera punggungmu."Zira menghentikan aktivitasnya, menatap kesal ke arah Aidan sambil meletakkan sendok dengan keras. "Apa maksudmu?""Tenang dulu," ucap Aidan lembut. "Aku tah
Zira menghela napas panjang, merebahkan tubuhnya di atas ranjang queen size. Sambil memandang langit kamar, ia pun berpikir akan pertanyaan Remi.Ia sadar betul kalau pria itu akan senang mengetahui jika hubungannya dengan Aidan sudah mulai membaik. Namun, bagaimana jika kedua pria itu bertemu? Akankah tetap baik-baik saja?Letih yang menyergap perlahan mengalihkan beban pikiran wanita itu. Matanya semakin redup dan mimpi pun datang menyambut.Dalam tidurnya, ia melihat seorang anak kecil tersenyum padanya. Ia pun menghampiri anak tersebut, tapi ketika tangannya hendak meraih pundak si anak kecil, tiba-tiba senyum itu menghilang bersamaan dengan fakta ia hanya sendirian di taman bunga itu.Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut matanya. Ia merasakan luka dan perih yang teramat sangat. Saat itulah, matanya kembali terbuka. Zira menangis sendirian dalam kamar. Terakhir kali ia memimpikan anak kecil itu 2 tahun lalu, dan sekarang mimpi itu kembali hadir."Eden," gumamnya penuh kesedih
Sudah 3 minggu, Zira beserta tim film melakukan syuting di Surabaya. Hari ini mereka akan pindah lokasi ke Bali. Rombongan kru film memilih menggunakan bus dan kapal penyeberangan, sedangkan para artis ada yang memilih naik pesawat. Zira sendiri memilih naik kapal bersama kru, meskipun harus berlama-lama duduk di mobil saat menuju pelabuhan Ketapang. Ia ingin merasakan semilir angin laut.Zira berjalan perlahan menaiki tangga menuju bagian atas kapal. Ia tersenyum tipis saat tiba di anak tangga terakhir. Dilihatnya Aidan sedang berdiri di salah satu sisi kapal sambil memejamkan mata. Ia pun perlahan mendekati pria tersebut."Tidak istirahat?"Zira terkejut lalu terkekeh pelan, "bagaimana kamu tahu?"Aidan membuka mata, menoleh dengan senyum lembut. "Aku hafal aromamu," ucapnya menggoda."Sekarang, kamu pandai menggoda orang ya."Sang sutradara tersenyum, merapikan anak rambut wanitanya yang terurai. Menatap mata Zira dengan penuh kasih sayang. Rasa rindu yang mendalam, suasana yang me
Suara baku hantam di gedung tua membahana, menciptakan suasana yang mencekam di tengah malam. Dengan napas terengah-engahnya, seorang perempuan berlari menghindar dari kejaran anak buah Demon. Desingan peluru menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Di bawah sana, seorang pria muda tergeletak bersimbah darah. Wajah perempuan itu mendadak pucat pasi. Teman klubnya bernasib naas di tangan Demon.Setitik air mata menetes dari sudut matanya. Apakah pria itu yang akan menjadi saudara iparnya kelak? Tidak. Ia harus menyelamatkan Reina. Tangannya mengepal kuat, dengan kecepatan penuh ia kembali berlari hingga suara sang sutradara menghentikan aksinya."Cut!"Aidan tersenyum puas melihat akting Zira dan juga para stuntman. "Kerja bagus semua. Kita istirahat 15 menit."Zira berjalan mendekat ke arah sang sutradara. Duduk di sebelahnya sambil melihat layar monitor."Bagaimana?"Aidan menunjuk layar, "memuaskan. Kamu bisa menyampaikan kemarahan sekaligus takut bersamaan.""Bena
"Mama,"Kompak, Zira dan Aidan memanggil wanita baya di depan mereka."Itu Tante, cewek penggoda, pelakor," ucap Soraya cukup keras dengan senyum culas.Wanita baya itu berjalan mendekat ke arah Zira. Soraya makin tersenyum lebar membayangkan sebuah tamparan mendarat di pipi wanita yang sudah merebut Aidan darinya. Namun, apa yang ia lihat sungguh di luar prediksi, wanita baya itu malah memeluk Zira dengan erat. Mulutnya pun melongo, ingin protes tapi ucapan tegas menghentikannya."Kamu tidak perlu mengantarku lagi, Soraya. Putriku sudah kembali.""Hah," Soraya terhenyak. "I ... ya, Tante." Ia pun kembali ke kamarnya dengan seribu tanya.Sementara itu, Zira menunduk dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Luna, ibunya Aidan dengan cara yang canggung."Mama kangen sama kamu," ucap wanita baya itu dengan lembut.Zira terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Ada perasaan malu dan juga bersalah.Aidan yang menyadari keterkejutan Zira, mendekati sang ibu. "M
"Hapus photonya!" Genji menatap tajam wanita cantik yang beberapa hari terakhir ini sering membuat masalah dengannya.Lala membalas tatapan Genji dengan tak kalah sengit. Tidak ada ketakutan dari sorot matanya. Mencibir dan mendengus kasar, lalu berkata, "kalau aku tidak mau menghapusnya, kamu mau apa?"Genji mendekatkan wajah ke telinga sang artis, berkata pelan tapi penuh penekanan. "Aku bisa menghancurkan kariermu. Hanya dalam hitungan detik semua orang akan tahu wujud aslimu."Ia kembali menatap sang wanita dengan seringaian sinis. Aura intimidasi menguar dari tubuhnya. "Bagaimana jika orang-orang tahu seorang Camilla Safea, artis dengan julukan peri tak bersayap tega melukai wanita lain karena cemburu?"Lala bergetar, refleks kakinya mundur selangkah. "Kamu bicara apa?"Genji mengeluarkan ponsel, memutar video dan menunjukkan ke wanita itu. "Sudah paham di mana posisimu sekarang?"Sang artis menatap video dengan tubuh bergetar. Ia tidak menyangka ada seseorang yang merekam tindak
Jam sudah menunjuk angka 9, sudah larut untuk berkeliaran di jalan. Badannya pun terasa sangat lelah, merindukan kasur. Namun, ia tidak bisa mengabaikan undangan makan malam Braga begitu saja. Beruntung kali ini sang adik bersedia menemani tanpa drama. Zira berjalan memasuki restoran mewah dengan langkah ragu. Ia menatap penampilannya yang tidak sesuai dengan kemewahan restoran. Ya, setelah selesai syuting dirinya memang langsung menuju restoran tanpa mengecek lebih dulu seperti apa tempat yang dipilih Braga."Hai!" sapanya saat tiba di tempat duduk sang Produser.Braga tersenyum senang melihat kedatangan wanita yang sudah ditunggunya. "Sulit mencari restorannya? Duduklah."Zira duduk sambil berkata, "aku seperti alien di planet asing.""Santai saja, kamu tetap cantik," ucap Braga merayu dengan senyum lebar.Zira tersenyum canggung, lebih ke merasa mual. Dirinya memang bukan tipe wanita yang suka mendengar pujian fisik.Tidak berselang lama, makanan pun datang. Suasana restoran sudah
Zira tertawa mendengar spekulasi yang diutarakan Jerry. Sudah menjadi kewajaran seorang stuntwoman ataupun stuntman terluka selama syuting. Kurangnya koordinasi dengan pemain lain, kesalahan teknis, ataupun human error lainnya.Dirinya bahkan sering melakukan adegan berbahaya seperti melompat dari gedung yang tinggi, menerobos kaca, balapan mobil hingga kecelakaan dan mobil terbakar. Ia tidak merasa curiga sama sekali dengan stuntman lain, karena saat itu dirinya juga menyadari tidak terlalu fokus sehingga terlambat menghindari tendangan lawannya."Ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Jerry dengan wajah bingung."Kamu berlebihan, Jer. Kesalahan itu bisa terjadi kapan dan di mana saja," ungkap Zira."Tapi ... aku pikir ucapan Jerry bisa dijadikan pertimbangan," ucap Aidan menyela. Ia merasa ucapan penulis skenario itu ada benarnya juga."Ayolah, kalian berdua membuat perutku sakit," kata Zira diiringi tawa kecil. Membuatnya mendapat tatapan tajam dari Aidan. Ia segera menutup mulut,
Aidan melepas headset, berlari ke arah Zira tanpa memedulikan pandangan kru dan pemain. Kecemasan terlihat jelas di raut wajahnya. "Zizi ...,"Tidak mendapat respon selain suara rintihan, ia bergegas menggendong sang wanita. Berjalan cepat ke arah pintu keluar sambil berteriak, "Genji! Siapkan mobil!"Braga terdiam melihat aksi sang sutradara. Berpikir apakah dirinya sudah kalah? Ia hanya bisa menatap Zira yang berada dalam rengkuhan Aidan."Syuting kita lanjutkan besok," ucap Braga kemudian menenangkan kru yang sedang kebingungan.Jerry mendekatinya, berkata pelan, "aku akan menyusul Aidan."Braga mengangguk, "kabari jika ada apa-apa."Sementara itu, Soraya yang melihat dari jauh menatap penuh amarah sambil mengepalkan tangan. "Dia berani mengambil Aidan dariku?"***Genji mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Melihat darah menetes dari kening sang kakak, membuatnya takut sekaligus khawatir. Bagaimana pun juga hanya Zira satu-satunya saudara yang dia
Braga berjalan penuh percaya diri memasuki rumah, tempat syuting film kali ini. Postur tubuh yang tegap, kemeja abu slim fit dibalut jas hitam memancarkan pesona pria mapan, bahu yang lebar mampu membuat para wanita ingin bersandar. Lala tersenyum dengan mata berbinar cerah melihat kedatangan pria matang itu. Ia pun berdiri ingin menyambutnya, tapi sedetik kemudian senyum itu luntur. Tangannya terkepal erat menatap Braga yang malah mendekati Zira. "Aku bilang apa. Digigit anjing yang ditolong itu menyakitkan, bukan?" Lala menoleh kaget tiba-tiba mendengar ocehan Soraya yang entah kapan sudah berdiri di sampingnya. Ia hanya melirik kesal lalu meninggalkan wanita itu sendiri. "Zira ...," gumam Soraya. "Dasar penggoda murahan." Tatapannya tajam penuh iri ke arah Zira yang sedang berbicara dengan Braga. *** Sementara itu, Jerry yang merasa kasihan dengan Aidan berusaha mengganggu usaha Braga. Sambil membawa segelas kopi, ia berjalan ke arah Zira dan Braga. "Kopi," ucap Jerry