Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam.
Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?" Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan sekilas, menimbulkan desiran aneh dalam hati Zira. Namun, ia berusaha untuk duduk santai tanpa memedulikan Aidan yang juga sudah duduk kembali. Zira membuka penutup jendela, melihat ke arah kota yang sudah membesarkan namanya sebagai seorang stuntwoman. "Berat untuk meninggalkan Tiongkok?" tanya Aidan pelan. Zira melirik tajam dan berkata dengan ketus, "bukan urusanmu." Ia pun memejamkan mata, tidak ingin bicara dengan pria itu lagi. *** Sebelum pesawat mendarat, Zira melirik keluar jendela, menyaksikan daratan Jakarta yang semakin mendekat. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan lega. Setelah perjalanan panjang, akhirnya ia bisa meninggalkan pesawat. Ia segera keluar dari pesawat menuju pengambilan bagasi, tapi Aidan terus saja mengikuti seolah tidak memberikan ruang baginya untuk bernapas. Zira terdiam sesaat ketika tiba di terminal kedatangan melihat seorang wanita yang bertubuh tinggi bak model dengan dandanan tebal tiba-tiba memeluk Aidan. "Astaga! Seleranya sekarang seperti itu?" ucapnya membatin. "Zizi, mau bareng?" tawar Aidan sambil melepas pelukan wanita berbaju merah seksi. Zira menatap sinis ke arah wanita yang terus menempel pada Aidan. "Tidak, terima kasih tawarannya. Aku tidak mau jadi setan," ucapnya ketus penuh sindiran. "Dia siapa?" tanya wanita yang bergelantungan seperti monyet di lengan Aidan. Ia kembali berkata dengan manja. "Ayo kita pulang sekarang. Tante Luna dan Om Guntur sudah menunggu di rumah. Lagipula, dia sudah menolak tawaran baikmu." Zira berdecih pelan, ketara sekali dia tidak menyukai perempuan genit itu. Aidan mengangguk pada Zira lalu meninggalkannya sendirian. "Semudah itu kamu menggantikanku dengan wanita lain," gumam Zira sambil menatap punggung Aidan yang semakin jauh hingga tidak lagi terlihat. Hatinya kembali terasa sakit mengingat interaksi Aidan dan perempuan yang menggandenganya. "Andai dulu kamu semanis dan sehangat itu, mungkin akulah yang berjalan di sampingmu hingga sekarang." Gadis itu lalu menarik napas panjang demi menutupi kegetiran dalam dadanya. Zira melanjutkan langkah sambil menengok kanan kiri mencari adiknya yang seharusnya sudah datang menjemput. Namun, sang adik tidak terlihat. Ia pun mengambil ponsel lalu menekan tombol memanggil. "Genjiro Akarsana!" Zira berteriak kencang saat panggilan telpon sudah tersambung. "Kamu baru bangun?" tanyanya dengan nada kesal. "Cepat ke sini atau mati!" lanjut Zira memerintah lalu segera memutus panggilan. Wajahnya merah padam dengan napas tidak teratur karena Genji yang lupa jemput. Ia kemudian duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Matanya mengernyit kala satu pesan masuk dari nomor asing. "Studio AB?" Zira bergumam sambil mencoba mengingat nama tersebut. "Ah, sepertinya salah kirim. Abaikan saja," ucapnya pelan lalu menutup aplikasi pesan, ganti berselancar di medsos. Sesekali ia melihat jam di pergelangan tangannya. "Genji lama banget," gumamnya kesal. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas lalu duduk bersandar sambil menutup mata. Tidak berselang lama suara bariton membuatnya terjaga kembali. "Kak Zizi, bangun." Zira mengerjap lalu menatap tajam sang adik yang berdiri tegap di depannya. "Maaf ya kak," ucap Genji menyesal. "Aku beneran lupa." Zira berdiri dengan wajah garang. "Bawa koperku!" Ia lalu berjalan keluar bandara diikuti sang adik. "Langsung pulang saja, aku capek." Saat Genji sedang fokus menyetir, tiba-tiba Zira bertanya. "Gen, kamu tahu studio AB?" "Eng ... gak tahu," jawab Genji tergagap. Zira merasa adiknya menyembunyikan sesuatu, tapi rasa lelah membuatnya enggan berpikir. Ia memilih tidak bertanya lebih jauh dan memejamkan mata. Setelah hampir sejam perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah. Zira turun dan memandangi rumah dua lantai di dalam komplek perumahan yang cukup elite. "Bagus juga pilihanmu," ucapnya memuji dengan wajah bangga. Masuk ke dalam rumah, Zira terpukau oleh design interior yang sangat sesuai dengan keinginannya. Genji menjelaskan singkat tentang kondisi rumah sambil membawakan koper sang kakak ke dalam kamar. Tanpa rasa curiga, Zira masuk ke dalam kamar sesuai ucapan sang adik. Tidak tidur dua hari selama syuting membuatnya langsung mengantuk begitu melihat ranjang putih besar. Ia pun merebahkan diri dan tertidur pulas. *** Zira menggeliat, merasakan hangatnya sinar matahari yang menembus tirai kamar. Sesuatu yang berbeda membuatnya enggan membuka mata, hingga tiba-tiba ia sadar bahwa yang dipeluknya bukanlah guling. Seketika, matanya terbuka lebar. “Astaga! Apa ini?” Zira mundur cepat, menatap makhluk di sebelahnya. Refleks, kakinya melayang, menendang tubuh yang ternyata adalah— “Aduh!” Aidan terjatuh ke lantai, mengelus pantatnya yang terasa sakit. “Siapa yang menendangku?" tanyanya linglung, setengah berdiri. Zira menatapnya dengan mata melotot, dadanya mendadak berdetak lebih cepat saat melihat Aidan yang hanya mengenakan celana boxer. "Aidan?! Apa yang kamu lakukan di sini?" Aidan bangkit, sedikit kebingungan sebelum akhirnya berkata, “ini kamarku.” Ia lalu mengambil celana training yang tergantung di balik pintu. Zira berdiri terpaku, wajahnya berubah dari kaget menjadi bingung total. "Kamarmu? Tapi kata Genji ...," ucapnya menggantung. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, sampai matanya terpaku pada deretan piala dan plakat bertuliskan 'Penghargaan Sutradara Terbaik Aidan Balangga.' “Gennnnjiiirooo!” Zira berteriak, lalu bergegas keluar kamar mencari sang adik. Genjiro, yang tengah santai sarapan, mengabaikan teriakan itu sampai sebuah keplakan keras mendarat di kepalanya. "Aduh!" pekik Genji, memegang kepalanya yang nyut-nyutan. “Kenapa sih, Kak? Pukul aja terus, kalau aku gegar otak gimana?” Zira menghela napas panjang, mencoba menahan amarah. "Genji, kenapa kamu nggak bilang kalau Aidan tinggal di sini? Dan lebih parah lagi, kenapa kamu suruh aku tidur di kamarnya?" Genji mengangkat bahu, wajahnya terlihat sedikit bersalah, tapi tetap tenang. "Bang Aidan pemilik rumah ini dan kamar dengan ranjang besar hanya ada di kamarnya," ucapnya pelan, lalu melanjutkan makan. Zira mengerutkan dahi, jelas merasa semakin bingung. "Apa? Jadi uangku yang 5M itu ...?" Genji merapikan sendok dan piringnya. Dengan kepala menunduk, ia berkata pelan, "Aku pakai uang Kakak untuk bangun rumah di kampung nelayan. Kasian mereka gak punya tempat tinggal karena digusur. Tanah yang mereka tempati ternyata milik negara." Ia menarik napas sebelum lanjut berkata, "aku pikir Kakak tidak akan kembali secepat ini. Maaf." Zira terdiam, merasa marah sekaligus tersentuh. "Kamu mengasihi orang lain tapi membiarkan kakakmu terlantar." Genji sedikit mencondongkan badan sambil berkata dengan penuh semangat. "Kakak gak usah khawatir. Bang Aidan sudah mengijinkan kita tinggal di sini. Aku juga bekerja sambilan ... jadi uang kakak pasti akan aku kembalikan." "Aidan bukan seorang yang murah hati. Syarat apa yang dia ajukan?" tanya Zira mencoba mengembalikan kewarasan otaknya. Genji menatap sang kakak dengan wajah cerah. "Bang Aidan tidak seburuk yang kakak pikirkan," ucapnya pelan. "Kak Zizi cukup ikut main di filmnya." Zira mengangkat alisnya. "Film?" "Iya betul." Aidan yang sudah memakai baju lengkap ikut menimpali pembicaraan dua kakak beradik itu. "Aku yakin Braga sudah menghubungimu." Zira berusaha mengingat nama tersebut. Namun, menjadi miskin dalam sekejap membuat daya ingatnya menurun seketika. Aidan meletakkan dua buah map di depan Zira. "Baca dengan teliti kontrak perjanjiannya." "Aku belum bilang setuju," ucap Zira ketus. "Setelah baca isi map merah, aku yakin kamu langsung setuju," kata Aidan dengan seringai tipis lalu berjalan ke arah mesin kopi."Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t
Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online. "Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online."Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel.""Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria."Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Ak
Zira duduk terpaku, menatap Aidan yang kini sangat dekat. Bahkan, aroma khas tubuh pria itu menyeruak hingga ke inderanya. Jantung Zira bertabuhan seperti genderang yang memukul-mukul di dalam dada. Ia menyilangkan kedua tangan menutup dada saat Aidan mendekatkan wajahnya."Kamu mau apa?" tanya Zira, nada suaranya mengandung kecemasan.Aidan tertawa kecil, menyentil dahinya dengan lembut. Ia lalu duduk di samping Zira dengan ekspresi yang lebih serius. "Zi, aku tahu kamu membenciku. Tapi, film ini juga penting buatku. Aku sangat berharap kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya penuh harap.Zira mengendurkan pengawasannya, melepas tangan dari dada. "Jika kamu takut filmmu hancur gara-gara aku, batalkan saja perjanjian itu."Aidan menghela napas. Menoleh dan menatap lembut mata Zira lalu berkata, "kamu benar-benar tidak ingin main di filmku?"Zira terdiam, berpikir kalimat terbaik yang harus ia ucapkan. Dalam hatinya ia mengakui kehebatan Aidan. Ia juga sering mendengar pujian dar
Hari pembacaan naskah tiba. Zira berjalan penuh percaya diri dalam balutan jeans dan kemeja santai menuju Best Entertainment, perusahaan media milik Braga. Ketika sampai di lobby, ia bertemu dengan Jerry yang baru keluar dari lift."Zizi, pagi sekali datangnya," sapa Jerry sopan.Zira mengangkat alis, melihat jam di pergelangan tangannya. "Jadwal reading table jam 9, kan?"Jerry tertawa kecil. "Iya betul. Tapi, kita tinggal di Indonesia, tahu sendiri kan bagaimana kebiasaan orang-orang?""Dan aku tidak mau jadi bagian dari kebiasaan buruk itu," balas Zira diiringi tawa kecil.Jerry ikut tertawa. Tidak berselang lama, seorang pemuda dengan gaya flamboyan memasuki lobby, berjalan mendekat ke arah mereka. Jerry tersenyum dan mengulurkan tangan menyambut sang aktor. "David, kamu juga datang pagi. Wah, semangat sekali para aktor ini." David tersenyum, melepas kacamatanya. "Aku tidak mau kena omelan Aidan." Ia menoleh ke arah Zira. "Apakah ini Zira Ceisya? Akhirnya kita bertemu juga." Davi
Zira tersenyum lebar ketika tiba di taman parkour. "Wow!" Matanya berbinar-binar melihat beberapa orang melompat dan berlari dari satu rintangan ke rintangan lainnya, tubuh mereka seolah melayang di udara."Look!" David menunjuk satu rintangan di mana ada sebuah bangunan yang lebih tinggi dibanding lainnya. "Aku belum pernah melihat ada yang bisa menaklukan itu dengan sempurna."Merasa tertantang, Zira menyeringai kecil. "Mari kita lihat, apa aku bisa melakukannya?" Ia pun memasuki area dalam parkour berbaur dengan pengunjung lain.Tubuhnya melesat dari satu bangunan ke bangunan lain dengan gesit, Ia mencengkeram kuat tiang-tiang yang menghalangi, lalu menjejak lantai tanpa ragu. Ia menambah kecepatannya saat mendekati bangunan tertinggi. Sekali lompat, ia berhasil mencapai puncak dengan gerakan yang mulus dan presisi. Tanpa kehilangan keseimbangan, ia pun mendarat sempurna di lantai.Semua pengunjung terpesona dengan penampilan Zira, mereka bertepuk tangan meriah. Begitu juga dengan
Zira merasakan desiran aneh di dada saat Aidan memegang pergelangan tangannya. Jantung berdegup tidak karuan, meskipun ia tahu Aidan melakukan itu karena untuk menghindari permasalahan di kantor polisi lagi. Tatapan mereka bertaut lama, membuat waktu seolah berhenti hingga suara Genji menyela mereka, "ya elah malah tatap-tatapan kayak lagi syuting drama aja." Aidan buru-buru melepas tangannya, membuat suasana mendadak canggung. Terlihat jelas mereka berdua menjadi salah tingkah. Bahkan, Zira bisa merasakan pipinya mulai memanas."Gen, aku bareng kamu!" teriak Zira sambil berlari mengejar sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.Aidan tersenyum tipis melihat kelakuan Zira, sebelum akhirnya mengikuti ke parkiran.***Akhir pekan yang dinanti semua orang tiba juga. Menyetir mobil Genji, Zira pergi menuju sebuah mall di ibu kota untuk bertemu dengan Aisyah. Jakarta kota yang asing untuknya, karena itulah ia menggunakan bantuan GPS. Meskipun begitu tetap saja ia sampai di mall setelah 1,