Sang Mentari mulai naik dari peradabannya, setelah membuat setengah dari bumi gelap tanpa cahaya. Dia menyisingkan sinar yang begitu terang hingga membuat mata silau.
Namun anehnya, burung-burung justru menyambutnya dengan kicauan merdu. Bahkan angin pun begitu, dia bergerak sepoi-sepoi menebarkan bau embun yang sangat khas.Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi para maid di kediaman Bara sudah terlihat sangat sibuk, termasuk Kara. Gadis itu terlihat sangat amat sibuk membersihkan tempat tidur yang ada di kamar tamu. Meski tidak terpakai, selimut dan sprei tetao diganti setiap minggunya.Bara yang kebetulan sudah selesai bersiap untuk bekerja, sedang berjalan melewati kamar tamu. Pandangan matanya tiba-tiba terfokus pada Kara. Dia bahkan menghentikan langkah kakinya untuk bisa menatap gadis itu sedikit lebih lama.Baju maid yang berupa dress hitam, berpadu dengan renda putih di beberapa bagian seolah memperlihatkan tubuh sexy Kara. Kaki putih mulus nan bersih, dengan rambut yang digelung rapi seakan menambah kemolekannya.Bara larut dalam pemandangan yang sedikit menggoda hasratnya. Entah mengapa, pria itu justru menelan kasar salivanya sambil mengendurkan dasi yang tadi sudah terpasang rapi. Lalu, dia berdehem sambil menyimpan kedua tangannya di saku celana.Sungguh, tingkahnya sangat lucu jika Kara melihatnya. Namun sayangnya, gadis itu masih fokus dan tidak menyadari keberadaan Bara.Namun deheman berat pria itu membuat Kara menoleh ke arah sumber suara. Melihat sang manikan sudah berdiri di ambang pintu, membuat Kara menghampirinya dengan senyum ramah."Selamat pagi, Tuan Bara. Apa Anda membutuhkan sesuatu?""Tidak ada. Aku hanya ingin memberimu ini. Di dalam ada uang senilai 150 ribu." Bara mengeluarkan dompet dan mengambil sebuah kartu dari dalam sana, lalu menyodorkan kartu itu pada Kara. "Masuklah ke ruang kerjaku, ada kontrak kerja sama kita di atas meja. Jika setuju, tanda tangani itu. Jika belum, kau bisa menghubungiku."Kara yang sempat tertegun beberapa saat, langsung mengangguk setelah mendengarkan penjelasan lengkap dari Bara. Pria dengan jas hitam itu pun bersiap pergi setelah Kara menerima kartunya. Namun baru satu langkah, ia terhenti lagi."Malam ini, beri aku layanan pertamamu!"Jantung Kara berdetak sedikit keras mendengar permintaan dari Bara. Meski dia telah mempersiapkan hati dan mentalnya, Kara tetap saja gugup saat Bara memintanya secara terang-terangan.Setelah mengatakan hal yang ingin dia katakan, Bara melanjutkan langkahnya sambil menutup mulut. Dia bahkan mempercepat langkah kakinya, seperti pencuri yang hampir tertangkap basah."Sial! Kenapa aku bisa tergoda?" pikir Bara.Senyum lega sempat terukir sesaat setelah manik mata Kara melihat Bara pergi. Yah, setidaknya dia sudah bisa membayar hutang judi sang ayah dan kembali bekerja dengan tenang.Dia pun segera pergi ke ruang kerja Bara. Matanya langsung tertuju pada selembar kertas yang ada di atas meja. Segeralah dia baca isi kontrak yang poin-poinnya yang tidak banyak itu, lalu mencoba memikirkan keuntungan yang bisa dia ambil.Butuh setidaknya 5 menit, hingga ia membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Tanda tangan yang mengartikan, bahwa dia telah setuju dengan beberapa poin yang tertera."Baiklah Kara, sekarang saatnya kembali bekerja! Semangat!" seru Kara untuk menyemangati dirinya sendiri.Rasa tidak sabar untuk segera melunasi hutang, membuat Kara bekerja dengan ekstra hari ini. Gadis itu sudah menyusun rencana untuk pergi sebentar sore harinya, sebelum Bara pulang ke rumah.Kamar mandi dia gosok dengan mengerahkan kekuatan penuh, lalu mencuci dan menggosok baju. Dia bekerja sangat cepat, tetapi semua pekerjaannya bersih dan terbilang sempurna. Benar, inilah salah satu keahlian Kara yang disukai Helena.Pukul 4 sore semua pekerjaan Kara telah selesai dengan sempurna, namun sejenak pun Kara tak berniat untuk beristirahat. Dia melepas celemek putihnya dan menggantinya dengan jaket rajut, lalu buru-buru pergi dengan sebuah taxi.Tepat pada saat Kara akan masuk ke dalam taxi, Bara yang kebetulan pulang lebih cepat, secara tidak sengaja melihatnya. Tindakan Kara yang buru-buru, membuat Bara ragu untuk sesaat.Pikirannya menjadi kacau untuk sesaat, dia mengira gadis kecil itu sedang buru-buru kabur setelah mendapatkan uang muka."Gadis itu, bukan ingin kabur kan?" batin Bara was-was.Bara yang pada saat itu di antar oleh asisten pribadinya, langsung meminta pria bertubuh ramping itu pergi mengikuti taxi yang dinaiki Kara."Akan ku cincang, jika dia benar-benar kabur setelah mendapatkan keuntungan!" gumam Bara kemudian mengumpat beberapa kali, lantaran berhasil dibodohi oleh seorang pembantu.Dari rumah Bara, perlu setidaknya 45 menit bagi Kara untuk sampai di tempat tujuannya. Kawasan dengan banyak gedung-gedung perkantoran sederhana.Berbekal informasi dari salah seorang preman yang dia hubungi tadi siang, Kara datang sambil membawa kartu ATM yang diberikan oleh Bara."Kita sudah sampai, Nona."Taxi berhenti di depan sebuah gedung 3 lantai dengan cat berwarna cream. Tidak ada papan nama yang terpampang di sana, namun supir taxi menjelaskan jika bangunan itu sudah sesuai dengan alamat yang diberikan Kara.Namun Kara tidak langsung mendatangi gedung tersebut setelah turun dari taxi. Dia justru mendatangi sebuah toko buah yang ada di sudut jalan untuk mencoba bertanya."Ada urusan apa, Nona?" tanya wanita paruh baya pemilik toko buah itu."Oh, saya hanya ingin bertemu dengan seseorang. Dia memberiku alamat ini."Kening wanita itu mengkerut, "Seseorang?" Dia memandang Kara dari atas hingga ke bawah dengan teliti, lalu dia mendekatkan diri dengan Kara dan bertanya dengan lirih. "Apa dia pria dengan bekas luka di atas alis?"Kara mencoba mengingat kejadian satu minggu yang lalu. Dari beberapa preman yang mendatangi rumahnya dulu, memang ada 1 orang dengan luka di kening. Orang itu juga yang melemparkan secarik kertas bertuliskan nomor ponsel.Kara mengangguk sebagai jawaban."Nak, apa dia menawarkan pekerjaan untukmu?" tanyanya lagi."Oh, bukan!" Kara menggeleng dengan cepat.Belum sempat wanita penjual buah itu bertanya lagi, dua orang pria berjalan ke arah mereka. Tanpa basa-basi, mereka langsung bertanya pada Kara. "Hei, Nona! Kau cari aku?"Kara langsung menoleh dan menatap dua orang yang tidak asing di ingatannya. Benar, mereka adalah orang yang mengeroyok ayahnya minggu lalu."Ya, aku datang untuk membayar!" ketus Kara."Kau datang dua hari lebih cepat rupanya. Kemari, ikut denganku!" Pria itu memberi isyarat agar Kara mengikutinya masuk ke dalam bangunan.Kara yang merasa tidak nyaman dan sedikit was-was, merogoh saku dan menyodorkan kartu ATM."Tidak perlu, aku hanya datang untuk menyerahkan ini!" tegas Kara.Dua pria itu saling memandang untuk sesaat. Sebelum akhirnya, salah seorang pria menjelaskan maksud mereka."Kau tetap harus masuk untuk menandatangani sesuatu, Nona!"Namun Kara juga tetap kukuh pada pendiriannya, "Kalau begitu, bawa saja kemari."Tindakan keras kepala Kara, sontak saja membuat dua preman itu menjadi sedikit geram.Pria dengan bekas luka itu coba mendekati Kara dan berbisik. "Apa kau ingin mereka yang ada disini tahu, jika ayahmu punya hutang judi?"Mendengar itu, Kara seolah tidak punya cara lain untuk ikut dengan mereka masuk ke dalam. Namun sebelum mengikuti mereka, Kara yang sempat melihat pisau kecil di antara buah-buahan, langsung mengambil dan menaruhnya di dalam tas.Wanita penjual buah itu jelas melihat pisaunya diambil, tetapi ia tidak menghentikan Kara atau pun berteriak. Ekspresi wajahnya justru terlihat cemas, seolah dia tahu jika pria yang ada di seberang tokonya bukanlah orang baik.Bangunan tiga lantai dengan cat cream yang terlihat cerah di luar, nyatanya tidak seperti bayangan Kara. Begitu dia masuk, bau alkohol tercium begitu pekat, membaur bersama asap rokok yang mengepul.Ruangan tanpa pendingin udara dan hanya ada beberapa kipas, membuatnya semakin pengap. Kara yang baru saja masuk, langsung merasa tidak nyaman."Bos, dia datang!" ucap salah seorang yang membawa Kara masuk.Manik mata Kara langsung tertuju pada salah seorang pria bertubuh kecil. Ya, dia ingat dengan baik kalau pria itulah yang membuat ibu dan adiknya bersimpuh dan menjadikannya korban."Maaf, saya tidak punya banyak waktu." Kara mencoba berbicara dengan sopan, meski ada gejolak amarah dalam hati. "Di dalam sini ada 200 ribu. Jadi, tolong beri saya surat lunasnya," lanjut Kara sambil menyodorkan kartu.Pria bertubuh kecil yang sedang duduk santai di atas sofa, hanya memandang kartu di tangan Kara sesaat. Dia menyunggingkan bibirnya, lalu berkata dengan nada ketus."200 ribu hanya pokok. Kau masih harus membayar bunganya sebesar 50 ribu."Mendengar itu, Kara tidak bisa lagi menahan emosinya. "Konyol! Hutangnya hanya 100 ribu dollar dan Anda meminta 200 ribu minggu lalu. Bagaimana bisa meminta 50 ribu lagi sekarang?"Kara menjadi kesal lantaran merasa di permainkan."Ambil 200 ribu ini dan berikan aku tanda lunasnya. Atau masalah ini akan sampai di kepolisian!"Ancaman Kara langsung membuat salah seorang dari mereka mengulurkan tangan dan meraih lehernya. Dia pun langsung melawan dengan menendang perut pria itu, hingga akhirnya dia berhasil bebas dari cekikan.Setelah bebas, Kara mencoba kabur. Dia berlari secepat mungkin menuju pintu, tetapi seseorang berhasil menarik rambutnya.Tubuh Kara terpelanting ke belakang dengan cukup keras. Tubuh yang menghantam lantai membuatnya kesulitan untuk berdiri dengan cepat.Pria yang sempat mendapat tendangan dari Kara, langsung membalas dendam dengan menarik paksa baju yang dia kenakan. Satu persatu dari kesepuluh orang mendekat, mencoba bertindak kasar.Kara teringat akan pisau di tasnya. Tapi belum sempat ia mengambilnya, salah seorang dari preman itu membekap mulutnya. Dua orang memegangi kedua tangan Kara dan dua orang lagi memegangi kakinya, sambil merentangkannya selebar mungkin."Bos, mau mencobanya dulu tidak? Sepertinya dia masih gadis."Kara berusaha memberontak. Namun kelima orang yang memegangi tubuhnya terlalu kuat."Baiklah, ayo kita coba."Pria yang sejak tadi duduk dan menonton, perlahan bangkit berdiri. Dia berjalan dengan santai mendekati Kara yang tidak berdaya sambil membawa sebuah tongkat kecil di tangannya.Tongkat itu dia mainkan dan mulai menyentuh tubuh Kara. Dimulai dari leher, lalu semakin turun dan turun lagi. Sesampainya di kaki, tongkat itu ditarik naik ke atas dengan pelan, hingga membuat rok Kara ikut terangkat.Namun, tiba-tiba saja ....BRAK!!!"Wah, wah, wah. Permainan apa yang sedang kalian mainkan?"Kini, semua mata tertuju pada seorang pria berjas hitam yang berdiri dengan santai usai menerobos masuk begitu saja. Kedatangan pria itu bahkan membuat pemimpin dari para preman bangkit berdiri."Siapa kau?" tanya sang bos preman dengan nada ketus, sambil menunjukkan wajah tak suka lantaran kesenangannya di usik.Namun bukannya segera menjawab, pria yang ditanya justru menoleh ke sekeliling seolah tidak tahu siapa yang dimaksud, "Kau bertanya padaku?"Tindakan pria asing yang bahkan tidak dikenal oleh Kara itu, tentu saja membuat emosi para preman tersulut. Tanpa basa basi, bos dari para preman langsung menyuruh anak buahnya untuk menyerbu.Setidaknya ada lima orang yang menyerbu dalam waktu bersamaan. Beberapa pukulan dilayangkan, tetapi tidak ada satupun yang mengenai pria itu. Sampai akhirnya, dua orang yang memegangi kaki Kara pun ikut bertarung."Hei, hei! Satu lawan tujuh, itu tidak adil!" teriak seorang pria sambil berjalan masuk dengan santainya di tengah pergulatan.Kedatanga
Melihat tangan Bara yang siap menarik pelatuk dan membuat timah panas itu melesat menembus kepalanya, tentu saja membuat pria bertubuh kurus itu ketakutan. "Ba-baik. Sa-saya akan membuatkan tanda lunasnya!" Tidak sampai dua menit. Dia yang sejak tadi sibuk menulis tanda bukti lunas, kini berjalan menghampiri Bara dengan gugup dan menyerahkan tanda buktinya.Bara menarik secarik kertas dari tangan pria itu, kemudian mengajak Kara pergi dari sana. Namun belum sempat ia keluar dari pintu, Bara sempat berpesan."Jika aku menemukan salah satu dari kalian mengacau lagi. Maka jangan menyesal jika tangan ini melewati batasnya!"Mereka bertiga pun pergi meninggalkan bangunan tiga lantai yang sangat pengap dan tidak bersahabat itu, menuju mobil. Bara terlihat berjalan lebih dulu, disusul oleh Kara dan Zee yang berjalan beriringan. Ketika masuk ke dalam mobil pun begitu. Bara sengaja masuk lebih dulu dengan membiarkan pintu mobilnya terbuka, berharap Kara cukup peka. Namun gadis itu justru mem
"Se-sekarang? Disini?" tanya Kara yang sudah pasti terkejut dengan permintaan tiba-tiba dari Bara. Tentu saja Kara sangat canggung jika harus memberikan service pertamanya saat itu, karena tak hanya ada mereka berdua di dalam mobil.Bara menatap Kara dan mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa? Bukankah di dalam kontrak tidak tertulis tempat dan waktu dimana kau harus melakukan tugasmu?" GLEK!Kara menelan kasar salivanya. Memang benar tidak ada penjelasan tentang tempat dan waktu di dalam perjanjian itu. Kapan dan dimana, semua terserah pada Bara. Hanya saja, dia tidak menyangka jika Bara akan meminta hal itu pada keadaan yang menurutnya kurang memungkinkan.Kara mengalihkan pandangannya ke depan, dan melihat Zer yang tengah mengubah posisi kaca tengahnya. Sepertinya, pria muda itu sangat ahli dalam memahami situasi. Terutama jika hal itu menyangkut urusan Bara."Ba-baiklah. Tapi sebelumnya, saya meminta maaf jika pelayanan pertama saya kurang memuaskan."Ketika Kara sibuk berbicara, t
Napas Bara perlahan menjadi sedikit cepat, pendek, dan berantakan. Tubuh yang semula hangat, langsung menjadi dingin dalam hitungan detik.Usahanya untuk bisa mencium sang kekasih, pada akhirnya harus kandas di jarak yang masih jauh. Dia pun langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Alexa tanpa sepatah katapun.Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih itu, langsung berlari masuk ke dalam toilet. Rasa mual di perut yang sudah tidak bisa ditahan, akhirnya ia keluarkan. Suara Bara yang sedang muntah secara tidak sengaja terdengar samar di telinga Alexa, membuat gadis itu semakin jengkel dengan respon sang kekasih.Padahal sebelum datang menemui sang kekasih, dia sudah memastikan mulutnya tidak bau. Dia bahkan menyemprotkan banyak pewangi mulut. Namun tetap saja hal itu tidak bisa membuat sang kekasih memberinya sebuah kecupan."Sial! Kenapa masih belum bisa? Dimana letak kesalahannya?"Bara langsung keluar setelah perutnya merasa lebih baik. Niat hati ingin meminta maaf pada Alexa,
Derap langkah kaki terdengar nyaring di dalam rumah. Tidak ada suara atau kegaduhan sedikitpun, padahal beberapa menit yang lalu Bara baru saja mendapatkan informasi tentang kedatangan orang tuanya.Setengah jam ia tempuh perjalanan dengan mengebut, bahkan sempat menerobos lampu merah. Namun ketika datang, dia justru tidak melihat ada seorangpun yang menyambutnya.Bara hanya menghela napas kasar. Ada ekspresi lega yang tergambar di wajahnya, saat mendapati rumahnya dalam kondisi sepi. Yah, setidaknya dia tidak perlu mendengar ocehan dari sang ibu.Namun kegembiraan itu langsung buyar, ketika ia melihat Alfred sedang duduk di sofa. Pria tua yang rambutnya masih hitam karena disemir itu, langsung menaruh jari telunjuknya di bibir untuk memberi Bara sebuah kode agar tidak berisik.Ketika ia berjalan mendekat, barulah ia melihat sosok Evelyn yang sedang tidur sambil bersandar di pundak Alfred.Melihat sang ibu tertidur, Bara baru mengerti kenapa keadaan rumahnya begitu hening. Hal ini seo
Selesai menikmati makan malam dan bercengkrama sejenak, Alfred dan Evelyn pun memutuskan untuk menginap semalam. Bara tentu keberatan pada awalnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain setuju.Bara langsung mengutus Kara untuk membersihkan kamar yang ada di lantai pertama, setelah Evelyn memutuskan bermalam dengan mendadak. Awalnya Eve tidak berencana untuk menginap di rumah Bara, namun entah karena hal apa keinginannya berubah setelah makan malam.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi senyap, lampu-lampu utama pun sudah padam sejak satu jam lalu. Evelyn dan Alfred juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.Bara yang sejak tadi berada di ruang baca setelah mengobrol, tiba-tiba merasa sedikit sesak. Dia pun berjalan menuju rooftop untuk menghirup udara segar. Namun ketika ia membuka pintu rooftop yang terbuat dari kaca, sosok wanita dengan piyama berwarna emerald terlihat duduk di kursi. Suara pintu yang terbuka pun, membuat wanita itu menoleh."Tuan Bar
Sejak perbincangan malam hari itu, mereka berdua menjadi semakin dekat. Tapi meski begitu, keduanya tetap berada dalam batas masing-masing. Kara sendiri masih berbicara dengan sopan ketika berhadapan dengan Bara.Satu minggu berlalu tanpa terasa. Entah mengapa, bagi keduanya, waktu seakan berjalan begitu cepat. Pagi datang dalam beberapa jam, lalu dengan cepatnya berubah menjadi malam.Bara baru saja pulang bekerja, setelah melakukan pekerjaan ekstra yang tiba-tiba jadwalnya dimajukan. Dalam keadaan lelah dan mata sayu yang setengah mengantuk, pria itu berjalan masuk ke dalam rumah sambil melepaskan dasinya.Namun tiba-tiba saja manik mata Bara dikejutkan oleh sosok wanita berpakaian maid yang menyapanya dengan suara lembut. Suara yang terdengar tidak asing di telinga itu, membuat kedua mata Bara membelalak."Selamat malam, Tuan. Apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Kara yang kebetulan berada di lantai pertama, pada saat Bara datang.Entah hal apa yang membuat Bara tiba-tiba kehilanga
Mentari perlahan merangkak keluar dari peradabannya. Sinarnya yang menerangi setengah bagian dari bumi disambut oleh kicau merdu burung-burung.Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Bara turun dari lantai 2 menuju meja makan. Hari ini dia bersiap satu jam lebih awal dari biasanya, mungkin karena ia masih harus menyelesaikan proyek."Selamat pagi, Tuan!" sapa dua maid yang sudah rapi, berdiri di dekat meja makan.Bara mengangguk sambil mengedarkan manik mata kecoklatan miliknya ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu. Siapa lagi jika bukan Kara? Namun Bara tidak menanyakan apapun tentang Kara pada para maid. Dia hanya menikmati sarapan seperti biasanya, kemudian berangkat bekerja seperti biasanya. Seakan tidak ada yang terjadi semalam.Hal itu jelas berbeda dengan Kara. Gadis itu rupanya masih menyimpan rasa malu, ketika teringat bagaimana cara dia memberikan service pada sang majikan. Sehingga, ia sengaja menghindar agar tidak bertemu dengan Bara.Beberapa hari berlalu, Bara